Quraish Shihab

Quraish Shihab: Kita yang Memberi Image Buruk ke Ajaran Agama Kita

17 Mei 2019 11:48 WIB
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Quraish Shihab. Foto: Jodi Hermawan
zoom-in-whitePerbesar
Quraish Shihab. Foto: Jodi Hermawan
Geraknya pelan-pelan. Tongkat kayu di tangan kanan membantunya berjalan. Nasywa, anak perempuan ketiganya, pelan memapah di sebelah kiri. Keduanya kabur dari terik Mei dan masuk ke sebuah gedung sejuk di Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan. Di muka gedung tertulis ‘Pusat Studi Al-Quran (PSQ) Yayasan Lentera Hati’.
“Loh, kok ada James Bond di sini?” Quraish Shihab tersenyum. Bingkai tebal kacamatanya kepayahan menyembunyikan mata kanaknya.
Beberapa staf PSQ yang ia temui tertawa. Quraish bercanda, tentu saja. Saat itu, salah satu staf PSQ tengah mengenakan kacamata hitam.
Sambil melontarkan gurau, Quraish mungkin ingat nama Her sonnen-brille, Tuan Berkacamata Hitam, julukannya saat bekerja di sebuah pabrik baja di Allendrof, Jerman. Saat itu, tahun 1962, Quraish dan adiknya, Alwi Shihab, menjadi buruh kasar di tengah-tengah libur kuliah mereka di Al-Azhar.
“Wah, itu agen CIA, Pak!” staf lain menyambar. Tawa pecah sekali lagi.
Quraish lalu menghampiri staf-staf di ruangan sebelah, lantas ke ruangan sebelahnya lagi, dan sebelahnya lagi. Ia tak kikuk menanyakan kabar, bersalaman (ia enggan dicium tangannya), dan menyapa satu per satu staf yang ada di lantai satu. Hangat pribadi Quraish, yang terlihat tak dibuat-buat, menjalar ke seluruh ruangan.
Quraish Shihab dan anaknya, Nasywa Shihab, saat hendak bertolak dari Pusat Studi Al-Quran. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Kamis (9/5), Quraish tak begitu banyak agenda. Acara utamanya hari itu baru dimulai pada sore hari—menghadiri peluncuran platform cariustadz.id di Masjid Cut Meutia, Cikini, Jakarta Pusat. Cari Ustadz punya tujuan memberi kemudahan masyarakat meraih ustaz kompeten yang sudah disaring oleh PSQ.
“Ada penekanan khusus yang kita inginkan. Apa itu? Sekarang kita perlu moderasi. Kita tidak ingin ekstrem ke kiri, tidak ingin ekstrem ke kanan. Kita ingin moderasi,” kata Quraish di tengah acara.
Sebelum acara tersebut, kumparan duduk bersama Quraish selama kurang lebih 30 menit di kantor PSQ. Di situ, Quraish perlahan-lahan meletakkan tongkat kayunya dan duduk santai di kursi kerja.
Lulusan ilmu tafsir Al-Quran Universitas Al-Azhar Kairo itu sempat protes pada penataan buku oleh tim kumparan sebagai dekorasi di mejanya saat wawancara.
“Kok buku saya semua? Ini promosi yang buruk,” katanya setengah tertawa. “Ambil itu buku lain, ada banyak. Yang bahasa Arab itu,” tambah Quraish. Ia juga berpesan, “Jangan rapi-rapi.” Menurutnya, buku yang tertata rapi tak menunjukkan pembaca yang tekun, tapi kebalikannya.
Barulah setelah semua beres, obrolan dimulai. Meski jalannya pelan-pelan, Quraish luar biasa lincah menjawab pertanyaan. Setiap jawaban terdengar punya arti meski tak terasa menggurui. Kami berbincang banyak. Soal roti setrika, ulama, Mo Salah, jihad, tren hijrah, sampai gelar habib.
Tentu saja, juga soal penafsiran Al-Quran yang menjadi bidang keahliannya. Quraish mengatakan, penafsiran berbeda pada Al-Quran adalah sesuatu yang tak bisa dihindari.
Namun, bukankah pemaknaan terhadap Al-Quran di setiap masa, pada setiap ruang sosial, dan oleh setiap mufasir bisa berbeda? Lalu yang mana yang harus kita percaya?
“Betul,” jawab Quraish. Buku-buku jari di kedua tangannya terkatup-katup. Ia berpikir, menghela napas, dan kata-kata si mufasir meluncur deras...
Quraish Shihab. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Kami baca cerita zaman Anda nyantri, Anda mempertemukan sepotong roti dan setrika.
(Tertawa) Itu waktu saya di Mesir. Di sana ada roti berbentuk cakram. Itu kalau sudah setengah hari, sudah mengeras. Mau dimakan sudah tidak enak. Maka apa yang digunakan? Itu dibuka rotinya, diisi gula, baru disetrika.
Kan panas lagi; kehangatannya, kepanasannya menembus ke roti itu dan menembus ke gula. Kemudian dimakan, hangat-hangat, dan sudah manis. Itu kerja kita yang nggak punya duit waktu masih sekolah di Mesir. Beasiswa sedikit, digunakan hanya untuk transport.
Anda pergi ke Mesir umur 14 tahun?
Sekitar itu, ya.
Keinginan sendiri?
Saya kira iya. Didorong oleh ayah yang selalu bercerita bahwa dulu ia ingin ke Mesir tapi gagal. Terus ayah mengusahakan, saya ikut ujian, lulus, dan saya senang untuk ke sana. Masih belum banyak pikiran waktu itu.
Ayah jugakah yang mendorong Anda ingin mempelajari Al-Quran dari kecil?
Iya, karena ayah saya guru besar di bidang tafsir Al-Quran. beliau yang selalu mendorong kita untuk belajar, beliau selalu memberi kita nasihat-nasihat menyangkut Al-Quran, menyangkut agama. Jadi memang terdorong untuk belajar.
Quraish Shihab. Foto: Jodi Hermawan
Pemaknaan Al-Quran bisa berbeda antara satu mufasir dengan yang lain. Apakah itu tak membahayakan; misalnya, untuk dimanfaatkan buat tujuan-tujuan tak baik?
Betul. Yang pertama dulu: Al-Quran itu dinamai juga hidangan Tuhan. Kita sebagai manusia, semakin kaya seseorang, semakin beragam hidangannya. Nah, Al-Quran begitu. Dia dapat ditafsirkan dengan aneka penafsiran. Tapi ada kaidah-kaidah penafsiran.
Jadi memang bisa saja berbeda-beda penafsiran. Itu akibat—yang pertama—perbedaan kecenderungan seseorang. Saya beri Anda contoh. Anda seorang dokter. Bisa saja memahami ayat al Quran dari tinjauan kedokteran. Ahli hukum dari tinjauan hukum. Jadi bisa berbeda-beda.
Nah, selama penafsiran itu sesuai, atau tidak bertentangan, dengan kaidah-kaidah penafsiran maka kita harus terima. Memahami suatu ayat, bahkan memahami suatu kasus, tidak bisa lepas dari budaya seseorang, tidak bisa lepas dari perkembangan ilmu. Maka bisa saja penafsiran masa lalu beda dengan penafsiran masa kini.
Misalnya?
Dulu orang menafsirkan tujuh langit itu dengan tujuh planet yang mengitari tata surya. Sekarang tidak lagi, ya kan? Dulu orang menafsirkan firman Allah, bahwa, Allah yang Maha Mengetahui apa yang ada dalam perut seorang ibu. Dia katakan, itu dia ketahui jenis kelaminnya. Sekarang tidak lagi, perkembangan ilmu.
Ini bisa berbeda-beda. Selama makna-makna yang ditarik dari Al-Quran itu tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah penafsiran, maka silakan.
Bahwa dia bisa beragam, itu justru rahmat dari Tuhan. Bahkan bisa jadi, bisa jadi, kita berkata 'memang Tuhan mau kita berbeda dalam menafsirkan Al-Quran.’ Karena semakin banyak hidangan semakin baik kan? Kalau orang miskin cuma satu hidangannya, nggak ada pilihan. Tuhan memberi kita pilihan.
Lalu bagaimana kita menyikapinya? Karena hidangannya terlampau banyak dan tak tahu yang mana yang baik?
Bersikaplah seperti ketika Anda diundang pesta. Anda marah kalau saya pilih teh, dia pilih kopi? Tidak kan? Selama terhidang. Banyak hidangannya. Teh, kopi, air jeruk, macem-macem. Kita tidak perlu bertengkar, karena semua dihidangkan oleh Tuhan.
Kekeliruan kita, kalau kita bertengkar dan berkata, ‘Saya yang benar, kamu harus minum kopi juga, kamu harus minum kopi juga.’ Agama tidak begitu.
Hidangan Tuhan banyak. Asal jangan ambil yang tidak terhidang. Kalau Anda ke rumah orang, di meja dihidangkan sekian banyak hidangan, Anda mau ambil masuk kamarnya ambil ke kulkas, boleh nggak? Itu tidak terhidang. Jangan berkata, 'Oh, di luar sana ada minuman keras, saya mau ambil itu.' Itu tidak terhidang kok. Ambil yang terhidang.
Quraish Shihab menyukai analogi-analogi dalam menjelaskan sesuatu hal. Begitu pula saat dia menjelaskan bagaimana memilih penafsir Al-Quran atau ulama yang baik. Menurut Quraish gampang: bertanya saja pada orang-orang.
“Kenali orangnya, jangan lihat yang populer. Bagaimana akhlaknya, bagaimana pengamalan agamanya. Bagaimana uraian-uraiannya, apakah sejalan dengan ajaran agama atau prinsip-prinsipnya atau tidak. Apa prinsip-prinsipnya? Rendah hati. Akhlak mulia. Tidak sok tahu. Jangan (cuma) lihat penampilan lahiriahnya.”
Quraish Shihab dan istrinya, Fatmawati Assegaf (baju biru), pada peluncuran CariUstadz.id. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Dalam kehidupan berbangsa bernegara, posisi ulama seharusnya seperti apa?
Al-Quran mengatakan, ‘Orang-orang yang dianugerahi kitab suci itu, pewaris-pewaris kitab suci itu, pewaris-pewaris para nabi itu, berfungsi memberi solusi bagi perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam masyarakat.’
Ulama berfungsi mencari titik temu supaya orang tidak berselisih. Ulama bukan sumber perselisihan. Bukan membuat perpecahan. Itu kalau kita baca kitab suci, berkata demikian.
Yang terjadi tak selalu demikian. Bahkan, banyak orang beranggapan agama jadi dagangan politik saja...
Iya, karena dia lihat kenyataannya seperti itu. Banyak juga orang, bukan hanya politik, agama pun begitu. Ada orang yang lari dari agama, karena yang disodorkan kepadanya hal-hal yang tidak sejalan dengan tabiatnya, tidak sejalan dengan jati dirinya.
Umat Islam (terkadang) menutupi keindahan Islam. Islam itu ramah. Tapi ada umat Islam, jadi teror. Itu, di Eropa, orang anggap Islam itu buruk.
Karena ya ini toh, ada yang tidak mau memberi maaf orang yang sudah minta maaf. Islam begitu? Tidak kan. Tidak mau membantu orang yang butuh, menumpuk buat dirinya. Islam begitu? Tidak kan? Padahal ajaran Islam tidak begitu. Jadi kita (yang) memberi image yang buruk terhadap ajaran agama kita.
Lalu harus bagaimana untuk menghindari yang seperti itu?
Kembali ke pertanyaan Anda pertama, carilah orang yang Anda percaya. Carilah orang yang kira-kira.. ‘Ini agama begini..’ Jangan gambarkan Tuhan itu kejam. Tuhan itu maha kasih. Rahmatnya jauh lebih luas dari dosa kita. Gambarkan Tuhan itu kasih. Sehingga waktu Anda tampil, tampilkan kasih. Jangan tampilkan dendam. Jangan tampilkan amarah.
Lihatlah orang ini. Dia tampilkan amarah atau tidak? ‘Wah kelihatannya bukan begini ajaran Islam.’ Dia tampilkan kasih sayang nggak? 'Oh iya, dia tampilkan kasih sayang.' Dia asal ngomong atau ada dasarnya atau tidak?
Jangan pernah menilai kebenaran dari orangnya. Nilailah kebenaran dari ucapannya. Lihat substansinya.
Quraish Shihab di Masjid Cut Meutia, Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Soal Islam yang penuh kasih sayang. Sekarang marak macam-macam jihad. Sebetulnya, jihad itu apa?
(Menghela napas panjang) Jihad itu adalah upaya sungguh-sungguh untuk meraih yang baik dengan cara yang baik. Sesuatu yang paling berharga dalam konteks manusia adalah nyawa. Jangan gampang-gampang mengorbankan nyawa. Jangan gampang-gampang bom bunuh diri, apalagi jika bom itu tidak mengenai musuh Anda tapi mengenai orang-orang yang tidak berdosa. Bom bunuh diri sekarang begitu nggak? Ha. Tidak benar bom bunuh diri.
Kalau di tengah musuh, perang, boleh jadi bisa dibenarkan. Itu pun kalau terpaksa. Kenapa harus melakukan bom bunuh diri itu di tengah masyarakat yang tidak berdosa? Itu jihad? Bukan jihad.
Lalu belakangan ada pula jihad menolak pembangunan rumah ibadah agama lain...
Ah, itu nggak benar. Karena Al-Quran menyatakan, “Diizinkan buat mereka—yang teraniaya—untuk membalas penganiayaan. 'Kenapa ya Alloh?' Supaya tidak runtuh biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge.”
Karena itu nabi ada perjanjiannya dengan orang-orang Kristen Najran. Mereka datang, diskusi dengan nabi, mereka ingin mempertahankan agamanya, agama Kristen, nabi memberi janji, 'Saya akan bela kalian sebagaimana saya akan bela keluarga saya.'
Baru janji, 'Tidak boleh diganggu tempat-tempat ibadah mereka sampai hari kiamat. Kalau tempat-tempat ibadah mereka ingin direnovasi, bantu mereka bukan utangi mereka. Beri mereka. Itu yang diajarkan agama. Kenapa itu tidak kita tonjolkan? Untuk menarik orang-orang, 'Oh memang Islam begitu.' Itu pemahaman saya tentang ajaran agama.
Quraish Shihab dan putri keduanya, Najwa Shihab. Foto: Jodi Hermawan
Belakangan ini tengah marak tren hijrah. Artis-artis sampai orang umum semangat mendeklarasikan diri berhijrah. Apa yang Anda lihat dari tren itu?
Hijrah? Bagus. Hijrah bagus. Tapi... Ha. Dulu ada kesalahan yang kita lakukan, ada pelanggaran yang kita lakukan, hijrah itu meninggalkan yang buruk menuju yang baik. Itu hijrah. Bagus atau tidak itu? Bagus.
Nah, sekarang setiap orang harus hijrah. Sebelum dia hijrah, dia lihat dulu, apa yang paling buruk yang perlu dia tinggalkan. Jangan Anda, katakanlah, keburukannya mencuri, terus Anda berkata mau hijrah, mau pakai pakaian sopan. Yang mana yang lebih bagus?
Berhenti mencuri.
Iya kan? Yang mana lebih baik, memakai parfum tanpa mandi, atau mandi tanpa parfum?
Mandi.
Ha~ Bersihkan diri dulu. Tinggalkan yang kotor-kotor dulu, jangan, 'Oh ya saya mau salat tahajud, saya mau ini..' Masih ada yang buruk, itu hijrah, nah. Pakai kerudung tertutup dan sebagainya, tapi masih dansa dansi? Yang mana lebih bagus? Ya kan?
Jadi, hijrah bagus. Tetapi, setiap orang harus melakukan introspeksi, ini yang lebih dulu yang saya harus lakukan. Jangan lantas cuma yang tampak yang lahir aja. Bagus tuh orang pakai jilbab, saya senang orang pakai jilbab. Tapi sesuaikan. Jangan sampai penampilan Anda memberi image buruk terhadap Islam.
Anda, kalau pakaian jilbab lantas melakukan keburukan, itu lebih buruk daripada Anda pakaian biasa melakukan keburukan. Karena apa? Karena Anda ketika memakai pakaian muslimah, atau seseorang pakai pakaian serban dan sebagainya tetapi dia melakukan kejahatan, dia punya dosa dua kali. Dosa karena dia menampilkan dirinya sebagai muslim yang baik tetapi berdosa.
Quraish Shihab di Masjid Cut Meutia, Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Sering ditanyakan orang-orang, Anda sebetulnya bisa memakai gelar habib? Kenapa tidak?
(Tertawa) Udah banyak kan habib. Semakin sedikit sesuatu semakin mahal, kan ya? Gini, habib itu artinya yang mencintai dan dicintai. Kalau anda cuma mencintai tapi tidak dicintai, bertepuk sebelah tangan, berarti buruk.
Habib itu suatu gelar kehormatan menurut tradisinya. Itu bertingkat-tingkat itu seseorang dalam kehormatan. Salah satu tingkatnya itu habib. Karena itu kedudukan yang baik, tentu menuntut tanggung jawab.
Kiai pun saya tidak mau, digelari kiai. Kiai itu orang yang dalam ilmunya, yang akhlaknya baik. Saya? Ilmu saya belum dalam, akhlak saya belum sesuai dengan yang diajarkan agama. Jadi tidak usah panggil saya habib. Biar saya berjuang dulu. Mudah-mudahan nanti ketika saya meninggal orang lihat, ‘Oh, itu habib.’ Kalau sekarang tidak.
Anda bilang habib sudah banyak. Dulu tidak sebanyak itu?
Nah, itulah, sekarang kan dunia berubah. Sebenarnya banyak habib-habib yang baik. Hanya, boleh jadi suaranya tidak lantang. Banyak habib yang baik, banyak. Atau boleh jadi dia tidak menonjolkan kehabibannya. Yang kita dengar itu yang suaranya lantang, sehingga, bisa jadi, sebagian memperoleh kesan buruk karena lantangnya suaranya.
Jadi itu sebenarnya gelar kehormatan?
Iya, tidak semua orang bisa dipanggil habib.
Ada tingkatannya?
Iya, ada tingkatan-tingkatanya. Manusia, betapapun manusia ada tingkatannya. Di sini saja manusia ada tingkatannya, apalagi di sisi Tuhan.
Karena habib itu gelar kehormatan, jadi banyak prinsip yang harus dipegang?
Iya. Yang pertama harus menampakkan akhlak yang luhur. Kedua, harus mempunyai ilmu yang memadai. Kalau ilmu tidak memadai, akhlaknya tidak luhur, dia tidak mencerminkan akhlak rasul, maka tidak wajar dong dipanggil habib.
Buku karya Quraish Shihab. Foto: Ryan Deshana/kumparan
Anda banyak menulis buku, sudah puluhan. Dalam waktu dekat ini ada rencana menerbitkan buku lagi?
Akan ada buku saya, sudah selesai saya koreksi dan sebagainya, saya lupa sudah di penerbit belum. Namanya ‘Jawabannya Adalah Cinta'. Hidup ini cinta. Apapun problema Anda jawablah dengan cinta. Planet ini beredar di sumbunya karena cinta. Manusia diciptakan Tuhan karena cinta.
Cinta bermacam-macam. Ada cinta kepada Allah, cinta kepada manusia, cinta alam, ada cinta pasangan, ada cinta harta, ada cinta anak, ada cinta tanah air. Apapun, kalau anda ingin menjawab suatu pertanyaan, itu jawabannya adalah cinta. Itu buku baru, buat promosi juga (tertawa).
Quraish Shihab dan salah satu putrinya, Nasywa Shiha. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Ngomong-ngomong, nama anak Anda semua diawali Na. Ada alasan khusus?
Iya, di dalam Al-Quran itu Allah bersumpah, atau memulai suratnya dengan huruf nun. Huruf nun itu, dalam Bahasa Arab, banyak sekali yang menggambarkan hal-hal positif.
Nur, (artinya) cahaya. Najah, sukses. Najat, keselamatan. Najwa, bisikan hati. Nasywa, puncak kebahagiaan, Nahla, sumber ilmu. Ee, siapa lagi anak saya satu lagi—Najeela, orang yang wawasannya terbuka. Cucu-cucu saya yang perempuan juga semuanya N. Nisri: kembang yang harum. Nihla: Anugerah. Ada Nazihah, anak yang suci. Nuha, yang berakal.
Jadi semua N. N itu dalam Bahasa Arab banyak sekali yang positif. Allah bersumpah dengan huruf Nun. Maka saya ingin mengambil kesan dari huruf nun itu, maka anak-anak saya, cucu-cucu saya yang perempuan semua namanya dimulai dengan huruf N. Ini kesan. Orang boleh setuju atau tidak.
Di umur 75 tahun, kegiatan Anda masih sangat padat. Sudah ada buku baru lagi, dan masih berceramah...
Oh saya, hidup saya di tengah buku, menulis. Bangun tidur saya sudah di depan komputer, nulis, kembali istirahat sebentar nulis. Sore nulis, malam, itu hidup saya. Hobi.
Tidak capai?
Anda kalau hobi capek nggak? Saya masih menulis, saya kira tidak kurang lima jam sehari.
Di Ramadan juga begitu?
Iya, walau di Ramadan agak berkurang karena saya kecanduan teh. Jadi kalau tidak minum teh sulit nulis. Ada orang kecanduan rokok. Kalau saya teh, harus ada teh, makanya ada ini (ia menunjuk dispenser dan teko) saya buat sendiri, dari pada minta yang lain bikinkan teh, saya bikin sendiri.
Anda rajin berolahraga, ya?
Olahraga, iya. Di rumah, saya berenang. Saya ada sakit lutut. Kata dokter obat terapinya berenang.
Quraish Shihab. Foto: Basith Subastian/kumparan
Ramadan begini ada kegiatan khusus? Ada yang berbeda?
Ramadan yang berbeda? Tidak makan tidak minum (tertawa). Lainnya tidak ada yang berbeda saya rasa.
Bangun tidur, habis salat subuh buat teh, duduk. Sekarang masih, kecuali buat teh dan mungkin bangunnya agak lambat. Abis subuh tidur lagi, bangun jam enam.
Apalagi kalau nonton bola, tadi malam nonton bola, berapa malam yang lalu nonton bola.
Wah, masih nonton bola juga?
Oh, iya, saya bangun malam untuk nonton bola.
Apa klubnya?
Klub saya Real Madrid. Di Inggris klub saya Liverpool
Wah, tahun lalu bingung dong final Liga Champions (Real Madrid bertemu Liverpool. Liverpool kalah).
Iya, tapi terus terang saya ingin Liverpool menang karena Salah ada di Liverpool (tertawa). Mudah mudahan tahun ini.
Quraish Shihab berbincang tamu-tamunya. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Apa yang masih Anda ingin capai sekarang ini?
Tidak ada manusia yang meninggal tanpa membawa cita-cita yang tidak terkabulkan. Semua mati masih membawa harapan yang tidak terkabulkan. Banyak.
Orang tua yang anaknya belum kawin, ingin meninggal anaknya sudah kawin. Yang sudah kawin, ingin dia lihat cucunya dapet gelar. Kita semua punya harapan, saya juga punya banyak masih harapan.
Ada yang disesali?
Tidak ada, alhamdulillah. Saya termasuk orang yang tidak ambisius, boleh jadi karena sudah banyak saya dikasih Tuhan.
Karena tidak ambisius, saya tidak minta banyak. Diberi, saya terima. Dan saya terima banyak sekali. Banyak sekali. Penghasilan cukup, kesehatan. Walau pake tongkat ini tapi masih bisa jalan. Rumah ada, anak semua alhamdulillah sukses, semua ada kerjaan. Kalau saya berangkat saya tenang. Kan hidup ini yang paling diharapkan ketenangan, bukan kekayaan.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten