Rafael Alun dan Andhi Pramono Dijerat Gratifikasi, Bagaimana Nasib Pejabat Kaya?

16 Mei 2023 17:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penyidik KPK menunjukkan barang bukti dari tersangka kasus gratifikasi Rafael Alun Trisambodo saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (3/4/2023).  Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Penyidik KPK menunjukkan barang bukti dari tersangka kasus gratifikasi Rafael Alun Trisambodo saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (3/4/2023). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Rafael Alun dan Andhi Pramono jadi tersangka di KPK. Bermula dari masalah flexing, keduanya dijerat pidana gratifikasi.
ADVERTISEMENT
Muncul pertanyaan mengapa dijerat dengan urusan gratifikasi?
Praktisi hukum Febri Diansyah yang pernah menjadi jubir KPK mencoba menganalisis. Kata Febri, coba mundur dahulu ke kasus Gayus Tambunan yang dipidana Bareskrim.
"Kasus Gayus Tambunan yang dahulu ditangani Bareskrim Polri adalah salah satu titik penting penerapan pasal gratifikasi seperti yang diterapkan KPK sekarang," beber Febri, Selasa (16/5) seperti dicuit di akun twitternya @febridiansyah. kumparan sudah mendapat izin mengutipnya.
Febri menerangkan, dahulu ada perdebatan yang kuat dalam penerapan pasal gratifikasi di KPK.
Dari kasus Gayus, dengan berbagai catatan terhadap penanganannya, beberapa terobosan terjadi.
"Ternyata UU Pencucian Uang yang katanya bisa memiskinkan koruptor sebenarnya enggak sebegitu kuat dibanding atau tanpa pasal gratifikasi ini. Kunci dari delik gratifikasi adalah “huruf a” di Pasal 12B ayat (1): pembuktian terbalik. Beban pembuktian digeser dari beban JPU jadi kewajiban terdakwa," ujar Febri.
Kepala Bea dan Cukai Makassar Andhi Pramono (kanan) tiba untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (14/3/2023). Foto: Indrianto Eko Suwarso/Antara Foto
Febri menerangkan, istilah hukumnya, pembalikan beban pembuktian atau pergeseran beban pembuktian (shifting burden of proof). Dalam delik ini, beban pembuktian menjadi ada di tangan tersangka/terdakwa.
ADVERTISEMENT
Kemudian, lanjut Febri, muncul pertanyaan, "Lalu apa maksud gratifikasi yang di atas Rp 10 juta beban pembuktian ada pada terdakwa? Apakah harus dibuktikan satu persatu penerimaan gratifikasinya? Tidak. Bahkan dalam penerapan pasal gratifikasi ini tidak perlu dibuktikan secara rinci siapa pihak pemberi," ujar dia.
"Bedakan dengan suap, ada pemberi ada penerima. Karena pemberi dan penerima terdapat meeting of mind atau pertemuan kehendak atau transaksional. Potensi abuse dong? Ya, kata ahli pidana saat itu," lanjut Febri memaparkan soal sempat adanya perdebatan mengenai penerapan pasal itu.
Kemudian, penerimaan demi penerimaan gratifikasi yang tidak bisa dibuktikan lagi siapa pemberinya, menumpuk. Ada yang dalam bentuk uang, jadi aset, modal usaha hingga masuk sistem keuangan.
ADVERTISEMENT
"Gratifikasi yang sudah numpuk itulah yang disasar penegak hukum yang jika dibandingkan dengan penghasilan sah tidak masuk akal," ungkap Febri.
Pengacara Putri Candrawati, Febri Diansyah memberikan keterangan kepada wartawan di Jakarta, Rabu (28/9/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Febri menguraikan, dalam kasus Gayus, aset-aset yang wah dibandingkan dengan penghasilan resmi sebagai pegawai Pajak atau penghasilan lain.
Saat itu hakim berpandangan aset tersebut tidak wajah dibanding penghasilan yang sah.
"Tapi jangan salah, penyidik enggak bisa tiba-tiba masuk ke aset-aset yang enggak wajar. Misal, tiba-tiba lihat pejabat kaya terus disidik. Ada semacam kesepahaman di penegak hukum, sebelum masuk pembuktian terbalik gratifikasi, setidaknya penyidik harus punya bukti kuat adanya penerimaan yang sempurna pada minimal 1 transaksi. Inilah pintu masuk untuk kekayaan lainnya. Tampaknya, di KPK hal ini yang agak lama dicari," urai Febri.
ADVERTISEMENT
Dan bila kasus Rafael juga Andhi masuk ke pengadilan, nanti salah satu pembuktiannya transaksi yang sempurna itu.
"Harus benar-benar bisa dibuktikan kapan, berapa, dari siapa, terkait dengan kewenangan yang mana dan lain-lain. Sisanya pertarungan pembuktian terbalik asal usul kekayaan. Akan jadi menarik jk kekayaan berasal dari bisnis misalnya," urai dia.
Menurut Febri juga, dengan pola yang sama, seharusnya KPK juga konsisten terhadap pejabat-pejabat lain.
"LHKPN adalah modal yang kuat bagi KPK melangkah tanpa menunggu viral duluan. Saya secara pribadi hargai KPK gunakan pasal gratifikasi plus LHKPN di 2 kasus ini. Tapi ini sekaligus ujian untuk KPK, apakah akan konsisten menerapkan kombinasi ini atau hanya musiman karena viral? Tanpa UU Perampasan Aset, sebenarnya pasal ini bisa kuat mengejar kekayaan pejabat yang tidak wajar," ujar Febri.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa semua pejabat flexing bisa kena gratifikasi juga?
"Jawabannya Ya atau Tidak. Karena intinya bukan pada flexing, tapi apakah ada penerimaan-penerimaan yang berhubungan dengan jabatan, tidak peduli apakah yang ngasih “nitip” untuk lakukan sesuatu atau tidak. Karena seringnya yang ngasih gratifikasi hanya “tanam budi” saja," tutup Febri.