Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ramai Bikin Surat Sakit Online Hanya 15 Menit, Indonesia Belum Punya Aturannya
24 Desember 2022 14:04 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Iklan yang menawarkan pembuatan surat keterangan sakit secara online hanya dalam waktu 15 menit muncul di dalam gerbong KRL Commuter Line.
ADVERTISEMENT
Iklan ini kemudian mengundang polemik di media sosial Twitter. Berbagai pihak mempertanyakan potensi pelanggaran kode etik hingga ancaman pidana bila menyediakan atau mencari layanan ini. Sebab, selain prosedurnya yang meragukan, legalitas surat sakit tersebut pun dipertanyakan.
Nyatanya, Indonesia disebut memang belum memiliki aturan yang menguraikan permasalahan ini. Satu-satunya aturan yang terkait ialah tertuang dalam Permenkes No. 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pun dasar hukum itu bukan tentang layanan telemedicine dari dokter ke pasien, melainkan antar fasilitas kesehatan atau telekonsultasi.
Permenkes tidak menjelaskan prosedur untuk mengeluarkan surat keterangan sakit, surat keterangan sehat, hingga surat keterangan kematian. Bahkan pembuatan resep dokter elektronik tidak diatur dalam Permenkes.
ADVERTISEMENT
"Memang pengaturan terkait dengan pelayanan pasien melalui media sistem informasi, dalam hal ini telemedicine, saat ini kan hanya berdasarkan peraturan menteri kesehatan yang mengatur telemedicine di era pandemi," jelas Wakil Ketua Umum II Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Mahesa Paranadipa Maikel, kepada kumparan, Sabtu (24/12).
"Di dalam peraturan tersebut, memang masih banyak hal yang belum diatur. Seperti tentang resep elektronik, kemudian surat-surat keterangan elektronik itu belum diatur," lanjut dia.
Jadi kalau ada informasi soal surat sehat, surat sakit secara elektronik, itu belum diatur selama ini.
Tidak adanya standar untuk layanan medis online seperti ini lantas mengantarkan segudang permasalahan lainnya. IDI mengkhawatirkan profesionalisme dalam penegakkan diagnosis. Sebab, banyak jenis penyakit harus melalui pemeriksaan secara langsung.
ADVERTISEMENT
"Terbatas sekali penyakit yang bisa ditegakkan melalui telemedicine kecuali ada lagi yang penyakit-penyakit yang kontrol. Jadi dia sudah berobat ke rumah sakit misalnya, terus selang tujuh hari dia kontrol. Kontrolnya itu cukup dengan telemedicine," papar Mahesa.
Keterbatasan ini turut mengekang pembuatan resep dokter melalui telemedicine. Terlebih, banyak dokter tidak pernah menerima edukasi untuk menegakkan diagnosis secara online.
"Satu lagi yang harus diingat itu tidak semua dokter terlatih untuk menegakkan diagnosis melalui telemedicine. Waktu di fakultas kedokteran enggak diajarin itu," tegas Mahesa.
"Betul karena situasi khusus jadi dokternya harus dilatih, harus diajarin, beradaptasi jangan sampai dokternya salah," sambung dia.
Baik untuk keperluan resep dokter atau surat keterangan sakit, banyak konsultasi online hanya mengandalkan komunikasi melalui pesan teks. Walau pasien bisa mengungkapkan keluhan mereka melalui telepon pun, akurasinya masih dipertanyakan.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, keselamatan pasien dapat menjadi terancam.
"Jangan dia bilang demam. Gimana tuh tahunya pasien beneran demam coba? Emang handphone-nya ada termometer? Misalnya pakai termometer misalnya, benar enggak itu termometer ditempel ke dia. Gimana kalau ditempel ke orang lain?" tanya Mahesa.
"Yang diajarin di fakultas kedokteran itu dokternya berhadapan langsung dengan pasien," imbuhnya.
Menurut dia, profesionalisme dokter dalam mendiagnosis pasien sangat penting. Hal itu pula yang menjadi salah satu sorotan IDI. Terlebih ketentuan surat sehat atau surat sakit belum ada aturannya.
"Jangan sampai kita dengan alasan mempermudah pelayanan, akhirnya diagnosis yang ditegakkan pun enggak profesional. Akhirnya apa? Keselamatan pasien jadi terancam. Itu yang menjadi concern kita. Jadi kalau ada informasi soal surat sehat, surat sakit secara elektronik, itu belum diatur selama ini," ujar Mahesa.
Konsekuensi hukum turut membayangi penyedia dan penerima layanan telemedicine semacam ini. Bila ada kerugian pada pasien baik itu menyebabkan kecacatan ataupun kematian, dokter yang memberikan resep elektronik dapat terancam pidana.
ADVERTISEMENT
Ada pula ancaman pidana terkait surat keterangan. Dokter yang mengeluarkan surat keterangan sakit tanpa melakukan pemeriksaan terhadap diri pasien secara langsung dapat menghadapi empat tahun penjara. Begitu pun dengan pengguna surat keterangan palsu.
Pasal 263 KUHP turut memuat ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara. Dokter bahkan berpotensi mendapatkan sanksi pula bila melanggar Kode Etik Kedokteran.
"Ada pasal lain dalam KUHP terkait dengan surat keterangan palsu. Surat keterangan palsu itu diberikan kalau tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya," ungkap Mahesa.
"Tapi dalam telemedicine bisa jadi dokternya enggak tahu keterangannya bener atau enggak. Itu yang jadi masalah," lanjutnya.
Tanpa adanya edukasi untuk pasien dan dokter, Mahesa menduga sejumlah platform telemedicine bisa saja sengaja memanfaatkan dokter. Dia lantas menyerukan perlindungan hukum.
ADVERTISEMENT
"Atau jangan-jangan dimanfaatin oleh platform-platform telemedicine yang mau mencari keuntungan," cetus Mahesa.
"Platform yang hanya memanfaatkan jumlah dokter yang gabung di platform-nya tanpa ada perlindungan di situ terhadap pasien maupun terhadap dokter," tambah dia.
Mahesa meyakini, RI harus merujuk kepada telemedicine yang sudah bagus di beberapa negara. Dia menyinggung negara seperti Taiwan dan India. Taiwan dapat mengirimkan perawat home care (layanan dari rumah) untuk memeriksa tensi hingga suhu seorang pasien.
Alhasil, data yang diterima dokter memang akurat. Sementara itu, India mendirikan bilik-bilik telemedicine yang menyediakan alat seperti tensi elektronik dan pengukur suhu elektronik.
Melalui panggilan video, dokter akan mengarahkan pasien untuk menggunakan alat-alat telemedicine tersebut. Datanya kemudian terkirim kepada dokter secara langsung.
ADVERTISEMENT
"Jadi menurut saya pemerintah harusnya jangan cuma memfasilitasi telemedicine dalam layanan smartphone. Harusnya didukung peralatan-peralatan telemedicine. Jangan cuma smartphone aja. Kalau smartphone bermasalah suaranya kan jadi beda atau misalnya kameranya cuma 2 megapixel," kata Mahesa.
Mahesa secara aktif terlibat dalam pembahasan di Kemenkes. Sekarang, pihaknya tengah menyusun peraturan terkait.
Mahesa berharap dasar hukum ini dapat segera diterapkan sebelum Permenkes tidak berlaku lagi sejak pencabutan pandemi COVID-19.
"Kalau bisa sih secepatnya karena bisa jadi nanti pandemi dicabut oleh presiden dalam waktu dekat melihat kasus yang makin menurun dan lain-lain," tutur dia.
"Teknologi ini kita enggak hambat. Mau enggak mau teknologi berkembang pesat banget, tapi jangan sampai merugikan pemberi layanan, dalam hal ini dokter, perawat, bidan, rumah sakit. Dan jangan sampai merugikan pasien terutama. Karena keselamatan pasien itu lebih utama dari yang lain," tegasnya.
Mahesa menyebutkan sejumlah hal yang harus menjadi sorotan dalam aturan telemedicine mendatang.
ADVERTISEMENT
Dia menyinggung standardisasi penerbitan surat keterangan, penjaminan keselamatan pasien, serta perlindungan hukum dokter.
"Kan harus jelas. Pada prinsipnya adalah jangan sampai pasien dirugikan dan tidak ada perlindungan hukum buat dokternya. Jangan sampai dokternya enggak paham, dia main-main keluarin," kata dia.
"Nanti ternyata suatu waktu ada permasalahan nanti dia enggak terlindungi si dokternya. Si pembuat aplikasi mah gini aja dia 'oh ya kan kita sudah dapat izin kementerian' padahal dokternya enggak terlindungi. Siapa yang melindungi dokternya?" tanyanya.
Kontroversi seputar layanan online untuk pembuatan surat keterangan sakit ini bermula dari iklan yang ditawarkan PT Cepat Sehat Indonesia melalui situs SuratSakit.com. Pihaknya mengklarifikasi, iklan mereka hanyalah gimmick marketing.
CEO PT Cepat Sehat Indonesia, Eka S. Oktalianto, mengeklaim pihaknya memberlakukan prosedur yang meliputi kuesioner dan konsultasi dengan dokter. Menurutnya, layanan yang mereka tawarkan tersebut sah dalam dunia medis.
ADVERTISEMENT
"Kami juga tergabung dalam Asosiasi Telemedicine Indonesia (Atensi). Sehingga tindak tanduk kami diawasi. Dari sisi legalitas resmi diatur. Hal-hal yang mengundang kontroversi itu lebih ke gimmick marketing," ujar Eka.