Ramai Protes soal Penilaian Angka Kredit Dosen hingga 15 April, Disebut Tak Adil

11 April 2023 11:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi dosen. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dosen. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kebijakan Penyelesaian Penilaian Angka Kredit (PAK) bagi dosen-dosen di seluruh Indonesia dengan batas waktu (deadline) 15 April 2023 diprotes oleh para dosen. Mereka menilai kebijakan tersebut tidak masuk akal dan membebani para dosen.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini lahir setelah adanya Permen PANRB No 1/ 2023 tentang Jabatan Fungsional yang mengharuskan dosen untuk mengeklaim kinerja yang telah diperolehnya selama ini.
Dalam rilis yang diterima kumparan, kebijakan ini dianggap tidak adil bagi dosen. Tujuan dari PAK ini adalah untuk menghitung angka kredit dosen yang dibutuhkan untuk kenaikan pangkat, tunjangan jabatan dan lain-lain.
"Beban administratif yang menimpa dosen Indonesia semakin tidak masuk akal. Jika dibiarkan, mutu dosen dan pendidikan tinggi akan merosot," ujar mereka.
"Ditjen Dikti Ristek baru-baru ini mengedarkan Sosialisasi Kebijakan Penyelesaian Penilaian Angka Kredit (PAK) bagi dosen-dosen di seluruh Indonesia. Kebijakan ini akan membebani dosen dengan kewajiban menginput ulang data tridarma yang sangat banyak ke dalam sistem baru, dalam waktu yang sangat sempit, dan dengan sanksi yang sangat berat, yaitu hangusnya semua data yang selama ini telah diinput ke sistem sebelumnya. Kebijakan ini tidak masuk akal dan tidak adil," beber mereka.
ADVERTISEMENT
Mereka menyebutkan, ada banyak persoalan dalam penerapan kebijakan PAK ini serta peraturan-peraturan yang menjadi dasarnya.
Misalnya, alih-alih menarik data dari sistem aplikasi Sister (Sistem Informasi Sumberdaya Terintegrasi) yang selama ini telah diisi oleh dosen, Ditjen Dikti Ristek justru menambah aplikasi baru dan membebani dosen dengan kewajiban menginput data secara manual atas kegiatan beberapa tahun belakangan ini.
Aplikasi ini disebut juga tidak terintegrasi dengan sistem sebelumnya dan berbeda dari wilayah ke wilayah. Misalnya, untuk Lembaga Layanan Dikti wilayah 3 (Jakarta) digunakan aplikasi Sijali dan untuk wilayah 6 (Jawa Tengah) digunakan Sijago.
"Kelemahan sistem yang tidak terintegrasi ini yang seharusnya diatasi pemerintah, justru dibebankan kepada para dosen, yang hanya diberi waktu sampai dengan 15 April 2023 untuk menginput data," tulis rilis tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain soal batas waktu, sanksi yang dibebankan juga sangat keras, yakni data yang selama ini telah diinput ke sistem sebelumnya dianggap hangus.

Tidak Tepat Sasaran

Masalah lainnya adalah kebijakan ini dianggap tidak tepat sasaran. PAK ini didasari oleh Permen PAN-RB No 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional. Peraturan menteri ini hendak melaksanakan mandat peraturan lain, yaitu Permen Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Dalam aturan ini, yang dianggap memiliki Jabatan Fungsional adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). Tetapi, Ditjen Dikti Riset malah memperluas definisi ini untuk semua dosen, baik yang berstatus ASN maupun yang bekerja di perguruan tinggi swasta.
"Sehingga, peraturan yang ditujukan untuk ASN diberlakukan untuk semua dosen, termasuk dosen perguruan tinggi swasta," ucapnya.
ADVERTISEMENT

Kecacatan Administratif

Masalah selanjutnya adalah adanya kecacatan administratif. Seharusnya, berdasarkan konsep hierarki perundang-undangan, surat edaran dibuat setelah terbit peraturan-peraturan yang mendasarinya.
Dalam kasus ini, surat edaran lebih dulu ada sebelum peraturan yang mendasarinya. Yaitu, Surat Edaran (SE) 638/E.E4/KP/2020 tertanggal 23 Juni 2020, yang terbit di tahun lebih awal (2020) dari Permen PANRB No. 1 tahun 2023 dan Surat Dirjen Diktiristek No 0403/E.E4/KK.00/2022 tertanggal 25 Mei 2022.
"Dengan demikian, terdapat cacat administratif," katanya.

Tuntutan Para Dosen

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, para dosen yang tergabung dalam petisi ini menyerukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk:
ADVERTISEMENT
Berikut daftar dosen-dosen yang namanya dicantumkan dalam petisi tersebut:
1. Prof. Dr. Sigit Riyanto, SH, MH (UGM)
2. Dr. Rikardo Simarmata, SH, MH (UGM)
3. Dr (Cand) Syukron Salam, SH, MH (UNNES)
4. Dr. Richo Wibowo, SH, MHum (UGM)
5.Prof.Dr. Sulistyowati Irianto (UI)
6.Dr. Herlambang P. Wiratraman, SH.MA (UGM)
7. Benny D Setianto, SH, LLM, MIL, Ph.D (Unika SOEGIJAPRANATA)
8. Dr. W. Riawan Tjandra, S.H.,M.Hum.,Adv.,CCMs.( Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
9. Donny Danardono, SH, Mag.Hum (Unika SOEGIJAPRANATA)
10. Dr. Budhy Munawar-Rachman (STF Driyarkara)
11. Prof.Dr. Damayanti Buchori, (IPB).
12. Prof. Dr. F. Budi Hardiman (UPH Tangerang).
13. Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ, (STF Driyarkara, Jakarta.)
14. Dr. Fitzerald K. Sitorus (UPH Tangerang).
ADVERTISEMENT
15. Prof. Dr. Justinus Sudarminta SJ (STF Driyarkara).
16. Sevindrajuta, Ir.MP.

Guru Besar UGM Membenarkan

Prof Sigit Riyanto. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Guru Besar Fakultas Hukum UGM Prof Dr Sigit Riyanto yang namanya tercantum dalam petisi itu, membenarkan hal tersebut. Sigit meminta agar aturan tersebut dibatalkan.
"Dibatalkan saja," kata Prof Sigit dalam pesan singkat yang diterima kumparan, Selasa (11/4).