Ramai-ramai Parpol Selain PDIP Tolak Sistem Proporsional Tertutup

9 Januari 2023 6:26 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah pimpinan Partai berpose bersama usai memberikan keterangan pers terkait pertemuan delapan Partai Politik di Hotel Darmawangsa, Jakarta pada Minggu (8/1/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pimpinan Partai berpose bersama usai memberikan keterangan pers terkait pertemuan delapan Partai Politik di Hotel Darmawangsa, Jakarta pada Minggu (8/1/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Delapan Partai Politik yang berada di Parlemen menolak sistem pemilu proporsional tertutup yang kini sedang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Hanya PDI Perjuangan--partai di parlemen--yang mendukung sistem tersebut.
ADVERTISEMENT
Penolakan tersebut disampaikan delapan parpol pada Minggu (8/1) kemarin. Pantauan kumparan, tampak hadir Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PAN Zulkifli Hasan, Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Presiden PKS Ahmad Syaikhu. Juga ada Waketum NasDem Ahmad Ali, Sekjen Jhonny G Plate, Waketum Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Waketum PAN Viva Yoga, Waketum PPP Amir Uskara, dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar.
Pembacaan sikap bersama disampaikan Ketum Golkar Airlangga Hartarto.
“Pertama, kami menolak proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi, sistem pemilu proporsional tertutup merupakan kemunduran bagi demokrasi kita,” ujar Airlangga di Kawasan Jakarta Selatan.
Kedua, lanjut Airlangga, sistem pemilu dengan proporsional terbuka merupakan pilihan yang tepat.
ADVERTISEMENT
“Dan telah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada tanggal 23 Desember 2008 yang sudah dijalankan dalam tiga kali pemilu dan gugatan terhadap yurisprudensi akan menjadi preseden yang buruk bagi hukum kita dan tidak sejalan dengan asas demokrasi,” tutur Airlangga.
Sejumlah pimpinan Partai berpose bersama usai memberikan keterangan pers terkait pertemuan delapan Partai Politik di Hotel Darmawangsa, Jakarta pada Minggu (8/1/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Minta KPU Netral

Dalam poin ketiga, delapan parpol meminta agar KPU menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu dengan netralitas.
“Menjaga netralitas dan independensinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” imbuh Airlangga.
Sementara poin keempat, delapan parpol mengapresiasi pemerintah yang telah menganggarkan anggaran Pemilu 2024 dan meminta KPU agar tetap menjalankan tahapan-tahapan Pemilu 2024, yang telah disepakati bersama Pemerintah dan DPR.
“Kelima berkomitmen untuk berkompetisi dalam pemilu 2024 secara sehat dan damai dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tetap memelihara stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi,” kata dia Airlangga.
Presiden Jokowi mengumumkan pencabutan PPKM di Istana, Jumat (30/12/2022). Foto: Dok. YouTube Setpres

Jokowi Tak Tahu soal Pertemuan 8 Parpol

Wakil Ketua Umum Partai NasDem Ahmad Ali menyebut, pertemuan itu urusan internal Partai.
ADVERTISEMENT
“Enggak ada hubungannya (lapor Pak Jokowi),” ujar Ali di Hotel Dharmawangsa Jaksel, Minggu (8/1)
Partai-partai, menurut Ali, memiliki kedaulatan masing-masing untuk menentukan sikap.
“Kita kan masing-masing partai memiliki kedaulatan itu. Pak Jokowi pastinya memahami semua pertemuan partai hari ini menyangkut kepentingan parpol itu sendiri,” tutur Ali.
Lebih jauh, ia membeberkan, pertemuan tersebut salah satunya membahas soal polemik sistem proporsional terbuka yang kini sedang digugat di MK.
“Salah satu yang ingin dibicarakan, satu soal masalahnya pernyataan ketua KPU tentang proporsional terbuka. Itu menjadi point yang akan kita diskusikan supaya ada pemahaman yang sama,” beber Ali.
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di University Hotel, Sleman, Kamis (15/12). Foto: Arfiansyah Panji/kumparan

PDIP Santai meski Dikeroyok 8 Parpol Terkait Proporsional Tertutup

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto berkomentar soal pertemuan pimpinan 8 parpol di Senayan yang menolak wacana sistem pemilu terbuka diubah menjadi tertutup. Ia mengatakan, PDIP menghormati dan memandang pertemuan tersebut sebagai bagian dari demokrasi.
ADVERTISEMENT
PDIP adalah satu-satunya parpol yang mendukung sistem pemilu tertutup. Namun di luar sikap PDIP yang mendukung pemilu diubah menjadi tertutup, Hasto menerangkan partainya tak ikut datang karena sibuk menyiapkan HUT PDIP ke-50 pada 10 Januari mendatang.
"Ya pertemuan pertemuan itu kan bagus. Sama, kami [juga] bertemu dengan rakyat. Itu hal yang biasa di dalam politik untuk saling bertemu. Bedanya kalau Ibu Ketua Umum bertemu para ketua umum itu tidak dalam pengertian untuk terbuka. Beliau banyak melakukan dialog bangsa dan negara itu justru dalam suasana yang kontemplatif. Itu yang membedakan," kata Hasto usai acara makan bareng warga DKI Jakarta dalam rangka HUT PDIP ke-50 di Johar Baru, Minggu (8/1).
"Tapi pertemuan yang ada di hotel Dharmawangsa ya itu kita hormati sebagai bagian dalam tradisi demokrasi kita.
ADVERTISEMENT
Ya kita [tidak ikut] kan baru mempersiapkan hari ulang tahun PDIP. Semuanya sibuk hari ini aja ada lima agenda dalam rangka HUT partai," jelas dia.
Sementara itu, Hasto menegaskan dorongan PDIP mendukung sistem pemilu proporsional tertutup sudah menjadi hasil keputusan Kongres V PDIP dan didasarkan kajian matang. Lewat sistem pemilu tertutup, PDIP ingin mendorong caleg-caleg yang berasal dari akademisi dan menekan tingginya biaya pemilu.
Sebab menurut partai pimpinan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri itu, sistem terbuka cenderung meloloskan caleg-caleg berdasarkan popularitas. Hasto memandang caleg akhirnya dapat menghabiskan ratusan miliar demi terpilih.
Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (tengah) menyampaikan sambutan saat acara Makan Bareng 10.000 Warga DKI Jakarta di Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat, Minggu (8/1/2023). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
"Idealisme dari PDIP, karena DPR RI itu bertanggung jawab bagi masa depan, maka kami memerlukan para ahli, pakar di bidangnya untuk bisa dicalonkan sebagai anggota dewan. Di Komisi I, kami perlu pakar pakar pertahanan, para pakar diplomasi yang memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia. Di Komisi IV, kami memerlukan pakar pertanian," jelas Hasto.
ADVERTISEMENT
"Proporsional terbuka, ketika kami tawarkan kepada para ahli untuk membangun indonesia melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, banyak yang mengatakan biayanya tidak sanggup. Proporsional terbuka dalam penelitian Pak Pramono Anung, minimum paling tidak ada yang Rp 5 miliar untuk menjadi anggota dewan. Bahkan ada yang sampai Rp 100 miliar," tambah dia.
Tetapi terkait gugatan di Mahkamah Konstitusi terkait sistem pemilu saat ini agar diubah menjadi tertutup, PDIP taat asas dan akan mengikuti keputusan MK.
"Ada syarat yang harus dipenuhi yang ditetapkan MK kami taat. Ketika MK menyatakan bahwa pemilu proporsional terbuka pada pertimbangan pada bulan Desember 2008 kami taat. Judicial review itu memang menjadi ranah dari MK untuk menguji UU terhadap UUD," jelasnya.
ADVERTISEMENT
"Itu yang diuji bukan untuk menguji opini bukan untuk menguji dari pressure grup tapi menguji UU terhadap konstitusi kita. PDIP taat asas. PDIP tidak memiliki legal standing untuk melakukan itu [judicial review]. Kami menghormati apa pun yang akan diputuskan MK," tandas dia.
Gugatan di MK
Terkait gugatan di MK, saat ini tengah diajukan oleh enam orang pemohon, dua di antaranya kader parpol dan tiga warga non-parpol.
Berikut daftarnya:
Dikutip dari laman MK, dalam gugatannya, para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Para pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai