Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mariana terdesak. Mahasiswi asal Semarang itu harus mencari uang untuk biaya kuliah adiknya. Ia juga butuh modal untuk bisnis pakaian. Mariana pun membuka Google Play Store dan mengetikkan kata “pinjaman online ”. Itu awal dari petaka yang menimpanya kemudian.
Maret 2021, Mariana mendapat ancaman. “Jangan sampai foto muka Anda yang munafik ini saya tempelkan di sekitar rumah Anda, biar semua orang tahu Anda komplotan maling/buronan. Malu kau nanti sekeluarga. Suruh bayar utang penipu ini, paham!”
Mariana kalut. Ia bukan penipu. Ia justru kena tipu. Semua gara-gara pinjol bernama “Pinjaman Nasional” yang ia klik di Play Store. Belakangan, ia baru tahu pinjol itu ilegal. Namun, semua sudah terlambat. Ia kadung memberi izin apps Pinjaman Nasional—yang kini bernama Lautan Dana—untuk mengakses nomor-nomor kontak dan galeri foto yang tersimpan di ponselnya.
Banyak kreditur dengan nama-nama aneh di Pinjaman Nasional, misalnya Bank Orang Utan dan Bank Komodo. Ketika itu, Mariana belum tahu bahwa Pinjaman Nasional adalah wadah dari sejumlah pinjol ilegal.
Para kreditur di aplikasi tersebut menawarkan pinjaman dengan bunga 2% per bulan, dengan pilihan tenor (jangka waktu penyelesaian cicilan) 30 hari, 92 hari, dan 120 hari. Mariana saat itu meminjam Rp 4 juta dengan tenor 92 hari. Ia tak sadar masuk perangkap.
“Waktu diklik, yang masuk rekening enggak sampai Rp 4 juta, cuma Rp 3,6 juta. Lalu jangka waktunya berubah jadi satu minggu saja. Di pilihan bank-bank binatang (kreditur) itu memang tulisannya 30 hari, 92 hari, 120 hari, tapi itu semua fake. Semua berubah jadi satu minggu,” kata Mariana kepada kumparan, Kamis (21/10). Ia meminta namanya disamarkan.
Dua hari sebelum jatuh tempo, Mariana dikejar-kejar debt collector lewat pesan singkat dan telepon. Ia bingung. Bagaimana mengembalikan pinjaman Rp 4,2 juta dalam waktu seminggu?
Tanpa pikir panjang, Mariana kembali meminjam ke kreditur lain di Pinjaman Nasional. Ia gali lubang dan tutup lubang sampai satu bulan. Saban hari, ia diteror. Hingga akhirnya ancaman merembet ke keluarganya.
“Setiap hari perkataan (debt collector) makin kasar. Saya sampai ditelepon. Keluarga juga ditelepon. Mereka mengancam, kalau enggak bayar, data saya bakal disebar, dipermalukan,” ujar perempuan 21 tahun itu. Ia panik.
“Saya takut. Saya masih skripsi. Kalau sampai (ancaman) kena ke dosen, kan saya bisa didiskualifikasi.”
Kala itu, ia sudah meminjam ke delapan kreditur di aplikasi Pinjaman Nasional. Total tagihannya mencapai Rp 40 juta. Lebih dari setengahnya berbunga dengan besaran 40% per hari.
Mariana masih beruntung. Salah satu kerabatnya adalah pengacara. Ia menyarankan Mariana untuk melayangkan somasi ke pinjol ilegal. Somasi itu tak dijawab. Mariana bersedia membayar asal hanya utang pokok sebesar Rp 5 juta. Bunga Rp 15 juta di tagihan terakhir tak ia bayar.
Jerat setan rentenir online itu membuat Mariana mengeluarkan dana hingga Rp 25 juta dari pinjaman semula yang hanya Rp 4 juta. Ia pun melaporkan kasusnya ke Polda Jateng.
Ada Mariana, ada pula Tiwi. Seperti Mariana, ia harus membiayai kuliah adiknya dan terjebak pinjol yang sama: Pinjaman Nasional.
Pertengahan Februari, kampus sang adik menyampaikan tagihan Rp 30 juta. Tiwi kelimpungan. Pekerja kreatif asal Yogya itu meminjam ke sana sini dan masih kekurangan uang Rp 13 juta.
Pada saat genting itu, ia melihat iklan-iklan pinjol berseliweran di YouTube, Facebook, dan Instagram. Perempuan 29 tahun itu pun membuka Google Play Store dan memasang aplikasi Pinjaman Nasional.
Tiwi benar-benar kepepet. Tenggat pembayaran biaya kuliah makin dekat. “Kepepetku itu dalam hitungan jam. Aku cuma punya waktu dua jam untuk ngumpulin duit Rp 13 juta.”
Saat melihat-lihat apps Pinjaman Nasional, ia tertarik karena jangka waktu pembayaran bisa sampai 92 hari. Tiwi lalu meminjam Rp 7 juta dari lima kreditur di Pinjaman Nasional, yakni Dana Pos, Aliran Kas, Pitih Maju, Modal Gemilang, dan Modal Fresh. Masing-masing memberikan dana Rp 1–2 juta.
“Ternyata bunganya lebih dari 50%. Tenor 91 hari pun kenyataannya cuma 7 hari, dan hari kelima sudah ditagih,” kata Tiwi kepada kumparan, Selasa (19/10).
Lagi-lagi, seperti Mariana, Tiwi gali lubang tutup lubang. Ia meminjam duit dari pinjol lain hingga bunganya menggunung. Jika ditotal, utang Tiwi ke pinjol mencapai Rp 100 juta.
“Februari sampai April, aku enggak bisa makan. Habis semua harta—laptop dll. Kalau bukan karena bantuan teman-teman, aku bisa mati berdiri,” ujarnya.
Tiwi diteror. “Bapak-ibuku dihina, fotoku disebar-sebar, disuruh menjual ibuku.”
Bahkan, setelah melunasi semua utangnya, Tiwi dan keluarganya tetap diteror. Agustus, ia akhirnya melapor ke Polda DIY.
Meski tercekik rentenir online, Tiwi juga kasihan kepada penagihnya. Pasalnya, debt collector yang menagihnya pernah curhat bahwa ia juga diancam.
Kala itu Tiwi sedang tak bisa membayar utang. Kondisinya rupanya membuat penagihnya jatuh iba. Lantas, alih-alih menagih, debt collector itu bercerita bahwa ia terancam tak digaji kalau tak mencapai target.
Menurut si debt collector, tekanan tersebut datang langsung dari bos besarnya yang warga negara China. Ini sebabnya dia dan rekan-rekannya kerap menagih dengan kasar.
“Dia cerita, di grup DC (debt collector), mereka sampai butuh translator, sebab bos-bos mereka di China enggak bisa ngomong bahasa Inggris. Mereka juga diancam,” kata Tiwi.
Di Tasikmalaya, Hadi, seorang karyawan swasta, meminjam Rp 2 juta dari kreditur yang terhimpun dalam aplikasi pinjol ilegal Bina Kantong Bersama.
Senin (11/10), Hadi iseng meminjam ke pinjol ilegal karena butuh uang untuk keperluan pribadi. Pinjol itu menawarkan bunga 0,05% per hari dalam jangka waktu 91 hari. Ada tiga kreditur sekaligus yang menyetujui pinjaman Hadi.
Dua kreditur, salah satunya bernama Rupiah Hidup, meminjaminya Rp 976 ribu dengan pengembalian Rp 1,6 juta. Sementara satu kreditur lagi memberinya Rp 1,3 juta dengan pengembalian Rp 2 juta. Yang menyebalkan, tenor berubah menjadi hanya 10 hari.
Merasa janggal, Hadi mengembalikan uang kepada dua kreditur dengan cepat. Untungnya dia masih punya dana pribadi. Namun, ia membiarkan pinjaman dari Rupiah Hidup sampai seminggu. Di hari kedelapan atau dua hari sebelum jatuh tempo, Hadi menerima teror. Salah satu debt collector mengancam akan menghubungi semua kontaknya dan memasukkannya ke grup maling.
Hadi akhirnya membayar sehari sebelum jatuh tempo, pada 19 Oktober. Namun, teror tak berhenti. Debt collector terus menagih melalui teman-temannya. Ia bahkan difitnah melarikan uang perusahaan untuk membeli narkoba, miras, dan judi.
“Saya yakin siapa pun yang masuk ke sana (pinjol ilegal) berada dalam bahaya dan susah keluar. Makanya sampai ada kasus bunuh diri, merampok,” kata Hadi.
Jeratan pinjol juga menimpa ibu-ibu yang terdesak kebutuhan rumah tangga. Ini, misalnya, dialami Yanti di Pontianak. Agustus lalu, ia meminjam duit di pinjol sebesar Rp 2 juta. Dana yang cair hanya Rp 1,2 juta dengan tenggat seminggu. Jika telat bayar, ia didenda Rp 500 ribu per hari.
Yanti meminjam dari dua pinjol: Kredit Rupiah dan Tunai Rupiah. Pinjaman pertama membuat Yanti terpaksa meminjam ke pinjol-pinjol lainnya. Total ia sudah meminjam ke 23 pinjol: 18 ilegal dan 5 legal.
“Yang membedakan pinjol legal dengan ilegal itu bunga dan tenggatnya. Yang legal bunganya Rp 200–300 ribu, tenggatnya sebulan. Yang ilegal tenggatnya seminggu, telat sehari langsung didenda,” papar Yanti.
Dari awalnya meminjam Rp 2 juta, Yanti harus mengeluarkan dana sampai Rp 50 juta yang sebagian besar untuk membayar bunga pinjaman. Ia sungguh-sungguh berupaya melunasi seluruh utangnya lantaran para debt collector mengancam menyebarkan fotonya.
“Dia bisa hidupkan kamera depan jadi kaya foto candid. Ini bukan foto yang ada di galeri. Ada juga foto di kamar. Mereka foto tanpa sepengetahuan saya,” ucap Yanti waswas.
Pinjol yang bisa mengakses kamera nasabahnya tentu amat mengerikan, macam hantu di siang bolong.
Ketua Satgas Waspada Investasi OJK, Tongam Lumban Tobing, menyatakan keberadaan pinjol sebenarnya dibutuhkan masyarakat yang tak tersentuh akses perbankan. Sejak 2016, ada 68,4 juta nasabah yang menggunakan pinjol legal dengan perputaran dana mencapai Rp 249 triliun.
Dari tahun 2017 sampai Oktober 2021, SWI OJK sudah menutup sekitar 3.515 pinjol ilegal. Tongam berpendapat, masalah muncul karena masyarakat kurang literasi dan tidak mengecek daftar pinjol legal.
“Masalah bunga, jangka waktu, harus sesuai perjanjian. Kalau tidak ketemu, ya harusnya jangan meminjam. Jadi kalau kita katakan bunganya terlalu tinggi, itu kesepakatan antara peminjam dan pemberi pinjaman yang difasilitasi pinjol,” ujar Tongam.
Namun masalahnya tak sesederhana itu. Pinjol legal pun bisa membawa masalah. Michael, seorang warga Bekasi, membeberkan kisahnya yang terjerat pinjol legal.
Status boleh legal, namun teror tetap dilancarkan tanpa ampun kepada nasabah.