Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
ADVERTISEMENT
Rencana pemerintah memungut pajak pertambahan nilai (PPN ) pada jasa pendidikan atau sekolah dan sembako menuai protes. Rencana tersebut hendak ditempuh melalui revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, menolak keras wacana pungutan PPN di bidang pendidikan. Dia menyebut layanan pendidikan merupakan salah satu HAM yang harus dipenuhi.
“Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) dan bagian dari tujuan penyelenggaraan negara yang dijamin di konstitusi kita. Jika Jasa Pendidikan dikenakan pajak, hal ini akan bertentangan dengan cita-cita dasar kita untuk mencerdaskan bangsa berdasarkan keadilan sosial," kata Hetifah.
Menurut dia, saat ini banyak sekolah yang kesulitan dalam menyelenggarakan kegiatan operasional, seperti dana BOS yang belum mencukupi hingga guru honorer yang belum mendapatkan upah layak. Dengan adanya PPN pendidikan ini, ia khawatir kondisi sekolah semakin parah.
"Di banyak sekolah, dana BOS masih belum mencukupi untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang berkualitas. Guru honor banyak yang belum mendapat upah yang layak. Tak jarang, pungutan pun dibebankan pada orang tua siswa," ujarnya.
PP Muhammadiyah turut menolak PPN di bidang pendidikan. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah.
ADVERTISEMENT
Selain itu ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, Kristen, Katolik dan lainnya selama ini juga turut membantu pemerintah.
"Semestinya diberi reward atau penghargaan, bukan malah ditindak dan dibebani pajak yang pasti memberatkan. Kebijakan PPN bidang pendidikan jelas bertentangan dengan konstitusi dan tidak boleh diteruskan," kata Haedar dalam keterangannya.
Haedar menilai PPN bidang pendidikan bertentangan dengan jiwa konstitusi UUD 1945 Pasal 31 Pendidikan dan Kebudayaan. Di sana disebut bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Kemudian, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Dalam UUD 1945, juga disebutkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah, termasuk Kemenkeu, dan DPR mestinya mendukung dan memberi kemudahan bagi organisasi kemasyarakatan yang menyelenggarakan pendidikan secara sukarela dan berdasarkan semangat pengabdian untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," ucap dia.
Jika kebijakan PPN diterapkan, hanya akan menguntungkan para pemilik modal.
"Justru para pemilik modal yang akan berkibar dan mendominasi, sehingga pendidikan akan semakin mahal, elitis, dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan,” ucapnya.
Sementara Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menolak wacana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako dan sekolah atau jasa pendidikan.
HNW mengatakan, kebijakan tersebut berdampak negatif kepada masyarakat kelas menengah ke bawah yang tengah dihantam pandemi COVID-19. Selain itu, kebijakan ini tidak mencerminkan pelaksanaan sila kedua dari Pancasila.
ADVERTISEMENT
"Mereka, masyarakat menengah ke bawah, mayoritas rakyat Indonesia yang terhubung dengan sekolah dan sembako justru dikenakan pertambahan pajak," kata HNW di acara Halal Bi Halal Nasional Ikatan Dai Indonesia (IKADI) di Jakarta.
"Sedangkan para orang kaya/konglomerat diberikan kebijakan tax amnesty, juga pajak 0% untuk PPnBM. Kebijakan seperti itu jelas sangat tidak adil dan tidak manusiawi, tidak sesuai dengan Pancasila pada sila ke 2 dan ke 5," sambungnya.
HNW mengatakan, pemerintah seharusnya bukan hanya terpaku pada pemenuhan pajak di era pandemi, tetapi berinovasi agar dapat melakukan kewajibannya melindungi, memakmurkan dan mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia.
"Karena pandemi COVID-19 mengakibatkan daya beli dan daya bayar rakyat menurun drastis. Mestinya pemerintah membantu rakyat, jangan malah membebani dengan pajak-pajak yang tidak adil itu," lanjutnya.
Adapun Ketua Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM Prof Dr Catur Sugiyanto menolak rencana pengenaan PPN bagi sembako. Menurutnya, kebijakan tersebut akan semakin memberatkan rakyat terlebih di masa pandemi corona ini.
ADVERTISEMENT
"Sebaiknya sembako tidak diberi PPN sampai kapan pun, carilah sumber pajak yang lain," kata Catur.
Catur mengatakan, di negara maju tidak ada pajak untuk kebutuhan pokok seperti sembako. Sebab sembako merupakan kebutuhan dasar bagi orang untuk memenuhi sumber pangan.
"Negara maju tidak memberlakukan seperti itu. Kita itu hidup dari sembako, jika dipajaki itu rasanya kurang pas," ucapnya.
Sedangkan Gubenur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengkritik wacana pemerintah pusat mengenakan PPN bagi sembako.
"Itu belum jelas ya. Tapi menurut saya kebangetan (keterlaluan) lah kalau itu dilakukan," ujar Ganjar.
Menurut Ganjar, penarikan pajak sembako hanya hanya akan membuat beban hidup masyarakat bertambah berat.
"Kalau tidak salah masih draft undang-undang kan ya? Kalau undang-undang masih lama. Tapi apakah seteknis itu? Saya kok tidak yakin. Jangan kebangetan lah kalau itu," tegas dia.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan RUU KUP, pemerintah juga berencana untuk menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12 persen. Namun di saat yang sama juga akan mengenakan multitarif, yakni paling rendah 5 persen untuk kelompok menengah bawah dan paling tinggi 25 persen untuk kelompok barang sangat mewah.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan pemerintah terlalu banyak memberikan pengecualian PPN. Padahal, sembako yang dikecualikan dari PPN juga banyak dikonsumsi kalangan atas.
"Terlalu banyak pengecualian saat ini. Ilustrasinya jika saya konsumsi telur omega, dan Pak Anthony telur ayam kampung di pasar, sama sama enggak kena PPN saat ini," ujar Yustinus.
Contoh lainnya adalah beras premium maupun beras dari Bulog, yang saat ini sama-sama tidak dikenakan PPN. Begitu juga dengan daging biasa dengan daging wagyu, atau daging ayam yang semuanya tidak dikenakan PPN.
ADVERTISEMENT
"Menurut hemat kami ini tidak adil dan tidak fair, sehingga kita kehilangan kesempatan memungut pajak dari kelompok kaya untuk diredistribusi ke orang miskin. Saya sepakat bahwa kita harus selektif, target hanya instrumen yang berbeda," paparnya.
Yustinus juga memastikan rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sembako hingga sekolah tak akan dilakukan tahun ini. Sebab, saat ini pemerintah masih fokus untuk memulihkan ekonomi nasional akibat pandemi COVID-19.
"Jadi tidak benar akan ada pajak sembako , pajak pendidikan, pajak kesehatan dalam dalam waktu dekat, besok, atau bulan depan, tahun ini dipajaki, tidak," ujar Yustinus.