Ramai soal Anak Usia 15 Tahun, Ada Apa dengan Mereka?

12 April 2023 19:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
AG tiba di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (10/3).  Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
AG tiba di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (10/3). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
AG yang masih berusia 15 tahun dinyatakan bersalah usai terbukti turut serta melakukan penganiayaan terhadap David Ozora. Ia dihukum pidana penjara selama 3,5 tahun di Lembaga Perlindungan Khusus Anak (LPKA).
ADVERTISEMENT
"Mengadili, menyatakan anak AGH terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan penganiayaan berat dengan rencana terlebih dahulu," kata Hakim Sri Wahyuni Batubara, di Ruang Sidang Anak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (10/4).
"[Menjatuhkan] pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan di LPKA," imbuh hakim.
Di Lubuklinggau ada pula remaja berinisial AN dengan usia sebaya AG yang nekat menganiaya dan hendak memperkosa istri orang. Berdasarkan hasil pemeriksaan, perbuatan itu nekat dilakukan AN karena dalam pengaruh mabuk lem.
Lantas, ada apa dengan anak usia 15 tahun?
Rekonstruksi kasus penganiyaan David Ozora oleh Mario Dandy Satriyo di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, pada Jumat (10/3/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Psikolog anak Vivi Safitri menyebut usia 15 tahun anak-anak memasuki usia remaja. Perkembangan anak pada fase ini sudah berkembang tetapi belum dapat dikatakan dewasa. Otak bagian depan atau bagian frontal belum matang sempurna.
ADVERTISEMENT
Akibatnya pada usia ini remaja mampu membuat masalah tetapi untuk menyelesaikannya masih belum efektif. Remaja cenderung menyesaikan permasalahan yang dia hadapi dengan trial and error.
"Masalahnya matang otaknya belum matang sempurna. Karena kemampuan otak untuk matang sempurna itu bagian frontal. Buat planning, strategic, itu masih work on progres. (otak) itu baru matang usia 25 tahunan," ujar Vivi kepada kumparan, Rabu (12/4) sore.
"Mereka mampu membuat masalah, mencari alternatif penyelesaian masalah tapi belum efektif. Karena otaknya belum matang sempurna jadi butuh pendampingan orang tua," tambah Vivi.
Vivi juga menyebut pendampingan orang tua dalam menanamkan nilai dan norma pada anak jadi kian penting. Terlebih di masa banyaknya informasi yang bisa anak dapatkan dari media sosial.
Ilustrasi remaja rebel. Foto: Shutter Stock
Tanggapan ini sejalan dengan pendapat Dian Wisnuwardhani, psikolog dari Universitas Indonesia. Dian menyebut pada usia 15 tahun orang tua jadi orang yang paling dicontoh oleh anak dalam berlaku.
ADVERTISEMENT
"Pada dasarnya usia 15 tahun ini adalah usia remaja, nah usia reaja ini masih sangat membutuhkan bantuan dari pada orang tua sebagai contoh orang yang dianggap sebagai bisa memberikan contoh perilaku yang istilahnya membantu mereka berkembang jadi manusia yang dikatakan punya moral berpendidikan dan tentunya tahu cara bergaul di kehidupan sosial kemudian juga punya stabilisasi emosi," ujar Dian kepada kumparan, Rabu (12/4) sore.
Dian menyebut cerminan perilaku anak ini tidak hanya dibentuk oleh orang tua tapi juga pihak lain yang hadir di kehidupan sosial anak. Mulai dari teman-teman, tetangga, lingkungan sekolah, hingga media sosial yang mereka konsumsi.
Pada usia ini anak seharusnya dibekali bukan hanya kecerdasan intelektual tetapi juga kecerdasan emosional. Dian menyebutkan contoh mahasiswa termuda di UGM yang berusia 15 tahun. Menurutnya meski sang anak terlihat matang secara intelektual tetapi tak ada yang menjamin dia pandai secara emosional.
ADVERTISEMENT
"Secara intelektual dia memang pandai tapi belum tentu dia secara emosional dia cukup mumpuni stabil secara emosi menangani masalah yang ada di sekitarnya atau bergejolak dalam dirinya," jelas Dian.
Sementara itu Wakil Ketua KPAI Jasra Putra, menyebut seringkali peristiwa anak-anak melakukan perbuatan hukum diluar nalar disebabkan oleh luka batinnya yang tidak tertangani dengan baik dan sesuai intervensinya.
"Kemarahan yang tersimpan atas kekecewaan itu tersimpan dan tidak tertangani. Di alam bawah sadarnya, saat ada pemicunya sedikit saja, akan menjadi kekerasan yang tidak pernah terbayangkan. Sehingga meledak begitu saja, menjadi kecerdasan emosi yang lemah dan menghantui sepanjang hidupnya," ujar Jasra melalui keterangan tertulis, Rabu (12/4) sore.
Jasra juga menyebut emosi anak yang dominan muncul dalam proses perkembangannya adalah kepanikan, ketakutan, bahkan ada anak gembira bisa salah tingkah istilah mereka dengan salting. Jika anak lepas pengawasan dan pendampingan sedikit saja, maka akan berdampak kepada pertumbuhannya.
ADVERTISEMENT