Ramai soal Ivermectin, Ini Beda Obat hingga Terapi untuk COVID-19

22 Juni 2021 17:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas kesehatan mengambil vaksin corona AstraZeneca sebelum disuntikkan di Sentra Vaksinasi Central Park dan Neo Soho Mall, Jakarta Barat, Sabtu (8/5/2021). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas kesehatan mengambil vaksin corona AstraZeneca sebelum disuntikkan di Sentra Vaksinasi Central Park dan Neo Soho Mall, Jakarta Barat, Sabtu (8/5/2021). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Pemerintah tengah melakukan berbagai upaya untuk menghentikan pandemi COVID-19 yang masih terus berlangsung sejak masuk ke Indonesia pada Maret 2021. Mulai dari mengembangkan vaksin, obat, hingga terapi untuk atasi virus corona.
ADVERTISEMENT
Terbaru adalah obat yang sudah diproduksi BUMN farmasi PT Indofarma (Persero) Tbk, Ivermectine, yang disebut efektif untuk mengatasi COVID-19 dan sudah mendapat izin dari BPOM. Efektivitas Ivermectin untuk mengatasi COVID-19 diungkapkan Menteri BUMN Erick Thohir saat mengunjungi PT Indofarma (Persero) Tbk, Senin (21/6).
“Tentu ini kita juga sedang lakukan uji stabilitas. Karena itu obat Ivermectin yang diproduksi Indofarma ini pada saat ini kita sudah mulai produksi. Dan insyaallah dengan kapasitas 4 juta sebulan ini bisa menjadi solusi juga untuk bagaimana COVID-19 ini bisa kita tekan secara menyeluruh,” ujar Erick Thohir secara virtual usai berkunjung ke Indofarma, Senin (21/6).
Tetapi penggunaan Ivermectine untuk atasi COVID-19 dinilai kontroversial oleh sejumlah pihak. Ahli Wabah UI Pandu Riono menegaskan Ivermectin belum memiliki izin penggunaan bagi terapi kesembuhan COVID-19. Obat ini baru diakui BPOM untuk mengatasi parasit seperti cacing.
Ilustrasi IVERMECTIN, obat cacingan yang disebut-sebut efektif mengatasi COVID-19. Foto: Shutterstock
"Enggak pernah disetujui Badan POM itu obat terapi COVID. Enggak pernah. Kata siapa? Itu berita hoaks. Enggak apa-apa, itu obat lama, obat untuk obat cacing, obat rabies. Siapa bilang yang setuju [untuk COVID-19]? Erick Thohir bohong. Menteri, kok, bohong. BPOM itu cek lagi izin edarnya, hanya untuk antiparasit. Enggak pernah untuk atasi COVID," jelas Pandu kepada kumparan, Selasa (22/6).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Erick menekankan Ivermectin bukan merupakan obat COVID-19, melainkan obat 'terapi COVID-19'. Obat ini akan digunakan sebagai salah satu terapi.
“Tapi diingatkan ini hanya terapi, bukan obat COVID-19. Ini bagian salah satu terapi, seperti juga pavirafir atau oseltamivir, itu untuk antiviral tapi dalam kondisi yang memang sudah menuju berat,” tambahnya.
Lantas sebenarnya apa beda vaksin, obat, dan terapi untuk COVID-19? Berikut yang kumparan rangkum:

Vaksin COVID-19

Vaksinator menyiapkan vaksin COVID-19 Sinovac dosis kedua sebelum disuntikan ke tenaga kesehatan saat Gebyar Vaksin COVID-19 di ITB, Bandung. Foto: M Agung Rajasa/ANTARA FOTO
Saat masih menjabat, eks Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro pernah menjelaskan perbedaan tiga hal tersebut.
“Untuk mengatasi COVID-19, yang sifatnya menular dibutuhkan obat, terapi, atau vaksin,” terang Bambang kepada kumparan, Jumat (8/5/2020).
Ia mengatakan vaksin digunakan untuk mencegah infeksi virus corona. Vaksin bisa diberikan untuk orang-orang yang sehat atau tidak pernah terjangkit virus corona. Tujuannya agar mereka bisa kebal terhadap virus SARS-CoV-2.
ADVERTISEMENT
Vaksin COVID-19 yang saat ini tengah dipakai Indonesia yakni vaksin Sinovac, AstraZeneca dan Sinopharm. Sementara sejumlah vaksin buatan lokal yang disebut vaksin Merah Putih tengah dikembangkan 7 institusi di Indonesia.

Obat COVID-19

Ilustrasi obat-obatan yang harus dibawa ketika traveling. Foto: Shutter Stock
Lain halnya dengan vaksin, obat dan terapi dibutuhkan oleh orang yang menderita sakit dengan tujuan penyembuhan. Meski sama-sama dibutuhkan dalam upaya kuratif, Bambang menjelaskan ada sedikit perbedaan antara obat dan terapi COVID-19.
Bambang mengatakan metode pemberian obat yang kerap kita jumpai, misalnya, dengan diminum atau melalui infus. Pengujian obat yang tepat untuk menyembuhkan COVID-19 juga perlu dilakukan.
Selain itu, pengobatan untuk pasien yang terjangkit virus corona membutuhkan clinical trial di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
ADVERTISEMENT
Hal ini untuk memastikan apakah obat tersebut tepat diberikan untuk pasien di Indonesia atau tidak. Proses karakterisasi virus atau whole genome sequencing sangat penting dalam tahap ini.
“Ini bisa membantu apakah obat yang cocok untuk kategori G, misalnya, juga cocok untuk kategori di luar G termasuk yang others (lainnya) seperti yang didapatkan dari sequencing pertama di Indonesia,” kata Bambang.
Sejumlah obat seperti Dexamethasone, antivirus, hingga antibiotik saat ini digunakan untuk meringankan gejala pasien COVID-19. Namun, belum ada obat yang diklaim dapat menyembuhkan seseorang dari paparan virus SARS-CoV-2.
Bila merujuk pernyataan Bambang, Ivermectine yang disebut Erick adalah obat karena berbentuk tablet yang diminum.

Terapi COVID-19

Ilustrasi terapi FUS di Kaikoukai Jepang Foto: Kaikoukai Jepang
Pengobatan dengan terapi, menurut Bambang, memerlukan mekanisme khusus. Ia mencontohkan beberapa terapi yang digunakan dalam penanganan pasien COVID-19 salah satunya terapi plasma konvalesen, penggunaan serum dan stem cell.
ADVERTISEMENT
Dalam hal terapi, Bambang melihat baik dalam proses riset maupun eksperimen untuk pengobatan dengan cara seperti ini berjalan cukup baik. Di awal pandemi, ia menerangkan terapi plasma konvalesen menunjukkan hasil yang positif.
“Plasma konvalesen dari darah pasien yang sembuh diambil, kemudian plasmanya diberikan kepada orang yang sedang sakit. Paling tidak dari percobaan awal tampaknya ada perbaikan kondisi. Namun tentunya kita harus melihat dalam jumlah yang lebih besar lagi,” paparnya.
Adapun serum anti-COVID-19 yang dikategorikan sebagai terapi untuk menyembuhkan pasien. Tetapi pengembangannya sangat mengandalkan kultur virus sehingga membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Di sisi lain, vaksin Nusantara berbasis sel dendritik besutan eks Menkes Terawan kini tengah dikembangkan. Meski awalnya disebut sebagai vaksin, belakangan vaksin ini dinilai sebagai terapi COVID-19 karena prosesnya sama dengan imunoterapi kanker.
ADVERTISEMENT
Setiap pasien akan diambil darahnya untuk dikultur selama 7 hari hingga menjadi vaksin, kemudian disuntikkan kembali ke pasien.