Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Indonesia Corruption Watch (ICW) menggelar aksi teatrikal dengan bertajuk 'Rapor Merah untuk Delapan Belas Tahun KPK '. Kegiatan ini dilakukan untuk merespons hari ulang tahun KPK yang diperingati pada tanggal 29 Desember 2021 yang lalu.
ADVERTISEMENT
Aksi tersebut dilatarbelakangi kemunduran yang dialami oleh KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, dalam rapor tersebut, berisi sejumlah permasalahan yang tak kunjung bisa dituntaskan oleh pimpinan KPK.
Kurnia membeberkan poin-poinnya. Pertama, pemberhentian paksa pegawai berintegritas.
"Sebagai konsekuensi perubahan regulasi yang menempatkan KPK masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif, seluruh pegawai KPK pun harus ikut beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara. Momentum ini dimanfaatkan oleh Pimpinan KPK untuk menyingkirkan puluhan pegawai KPK melalui alas hukum Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 yang di dalamnya memuat tentang Tes Wawasan Kebangsaan," kata Kurnia, Kamis (30/12).
Kurnia menyebut, di dalam pelaksanaannya, proses TWK ditemukan banyak persoalan. Hal ini setidaknya dinyatakan oleh dua lembaga negara, yakni Ombudsman RI terkait malaadministrasi dan Komnas HAM yang menyoal pelanggaran hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
"Bahkan, pernyataan Presiden Joko Widodo dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait alih status pegawai KPK pun diabaikan begitu saja oleh Pimpinan KPK," ucap dia.
Kedua, adanya pelanggaran kode etik pimpinan KPK. Pada periode pimpinan KPK jilid V ini, terdapat dua pimpinan yang dinyatakan melanggar kode etik, yakni Firli Bahuri dan Lili Pintauli Siregar.
"Sayangnya, meski telah diputus melanggar etik, kedua pimpinan tersebut justru hanya diberikan sanksi ringan. Hal ini menandakan bahwa keberadaan Dewan Pengawas KPK tidak berfungsi efektif untuk mengawasi, mengevaluasi, dan memberikan efek jera jika ada Insan KPK yang melanggar kode etik," ucap Kurnia.
Ketiga, anjloknya kinerja penindakan. Penindakan KPK dinilai memasuki fase yang paling buruk sepanjang lembaga antirasuah itu berdiri. Metode pengusutan perkara dengan melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pun menurun drastis sejak dua tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Padahal, ucap Kurnia, selama ini OTT kerap kali menjadi andalan untuk membongkar praktik korupsi yang banyak melibatkan pejabat publik. Berdasarkan data yang ICW himpun, sepanjang tahun 2021 KPK tercatat hanya melakukan enam kali OTT.
Jumlah ini terbilang sedikit jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya, tahun 2016 (17 OTT), 2017 (19 OTT), 2018 (30 OTT), 2019 (21 OTT), dan 2020 (7 OTT).
"Dengan data ini bisa ditarik satu kesimpulan bahwa KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri tidak menaruh perhatian lebih terhadap upaya penindakan," ucap Kurnia.
Keempat, kinerja Pimpinan KPK dipenuhi dengan gimik politik. Kurnia menyebut, pada awal tahun 2020 lalu, di saat KPK sedang disorot oleh masyarakat perihal kegagalan meringkus Harun Masiku, Firli justru menunjukkan kebolehannya memasak nasi goreng.
ADVERTISEMENT
Tak lepas dari itu, saat pembagian bantuan sosial oleh Menteri Sosial, ia juga turut serta dalam kegiatan itu. Semestinya sebagai aparat penegak hukum, Pimpinan KPK dinilai dapat menghindari seremonial-seremonial semacam itu.
Kelima, kegagalan meringkus buronan. Kurnia mengatakan, saat ini, pimpinan KPK masih memiliki tanggungan untuk meringkus sejumlah pelaku korupsi yang melarikan diri, di antaranya, Kirana Kotama (2017), Izil Azhar (2018), Surya Darmadi (2019), dan Harun Masiku (2020).
"Dari buronan-buronan itu, praktis nama Harun Masiku selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Bagaimana tidak, sejak awal penanganan perkara suap pergantian antar waktu anggota DPR RI itu, KPK sudah menunjukkan keinginan untuk tidak memproses hukum penyuap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, tersebut," ucap Kurnia.
ADVERTISEMENT
"Indikasi terhadap kesimpulan itu bisa ditarik dari sejumlah kejadian, misalnya, minimnya perlindungan Pimpinan KPK terhadap pegawai yang diduga disekap di PTIK, kegagalan penyegelan kantor DPP PDIP, pengembalian paksa Penyidik KPK ke instansi Polri, dan pemberhentian pegawai yang ditugaskan mencari Harun Masiku melalui proses TWK," pungkas dia.
Aksi teatrikal sendiri dilakukan di depan gedung KPK. Terlihat ada rapor besar merah yang berisikan sejumlah permasalahan tersebut yang dibawa oleh ICW.