Ravio Patra Nilai UU ITE Layak Direvisi: Pengekangan Kebebasan Sipil

3 Maret 2021 10:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tim Kajian UU ITE berdiskusi dengan sejumlah pihak terkait UU ITE. Foto: Dok. Kemenko Polhukam
zoom-in-whitePerbesar
Tim Kajian UU ITE berdiskusi dengan sejumlah pihak terkait UU ITE. Foto: Dok. Kemenko Polhukam
ADVERTISEMENT
Selama 2 hari terakhir, Tim Kajian UU ITE meminta masukan dari kalangan korban dan pelapor untuk mengkaji Pasal-Pasal karet di UU tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari kalangan korban, terdapat nama-nama seperti Baiq Nuril, Saiful Mahdi, Dandhy Dwi Laksono, Ahmad Dhani Prasetyo, Bintang Emon, Singky Soewadi, dan Diananta Putra Sumedi yang diundang secara virtual pada Senin (1/3).
Sementara di hari kedua pada Selasa (2/3), korban UU ITE yang diundang yakni Muhammad Arsyad, Ravio Patra, Prita Mulyasari, Yahdi Basma, dan Teddy Sukardi.
Dalam keterangan dari Kemenko Polhukam, aktivis Legislation Advocacy, Ravio Patra, bercerita dampak penangkapannya atas tudingan melanggar UU ITE.
Ravio Patra. Foto: Facebook/ Ravio Patra
Adapun Ravio pernah ditangkap polisi atas dugaan menyebar pesan WhatsApp ricuh 30 April 2020. Sebelum ditangkap, Ravio telah mengabarkan ke rekan-rekannya bahwa nomor WhatsApp-nya telah diretas seseorang. Peretasan itu telah dilaporkan Ravio ke Polda Metro Jaya usai dibebaskan penyidik.
ADVERTISEMENT
Saat penangkapan itu, Ravio dihujat di media sosial hingga disebut sebagai mata-mata negara asing. Apabila menanggapi hujatan tersebut, Ravio mengaku bisa melaporkan banyak netizen ke polisi atas tudingan pencemaran nama baik.
Namun itu tak dilakukan lantaran Ravio memahami hukum seharusnya menciptakan ketertiban, bukan memunculkan chaos di masyarakat.
Tim Kajian UU ITE berdiskusi dengan Ravio Patra. Foto: Dok. Kemenko Polhukam
"Saya dikata-katain, difitnah dinarasikan sebagai mata-mata asing suatu negara. Kalau saya bereaksi dengan melaporkan banyak orang-orang, ujungnya satu negara dipenjara kan,” ujar Ravio kepada Tim UU ITE.
Ravio pun menceritakan pengalamannya berhadapan dengan pihak kepolisian saat ditangkap terkait UU ITE. Sejak penangkapan itu, Ravio menilai UU ITE perlu direvisi karena bisa mengekang kebebasan sipil.
"Saya sebenarnya secara pribadi saya inginnya dihapus, tapi karena saya juga paham ada kebutuhan, karena saya juga mengakui juga memahami bahwa secara global banyak negara masih belajar mengatur medium internet. Cuma yang terjadi di Indonesia menurut saya terlalu cepat terlalu beringas tidak ada moderasinya, berlebihan responsnya," ucapnya.
ADVERTISEMENT
"Kalau saya tidak punya prinsip bahwa UU ITE ini bentuk mengekang kebebasan sipil, saya bisa laporkan orang-orang yang ketika saya mengalami kriminalisasi tahun lalu misalnya, kalau saya hitung ada ratusan orang yang bisa saya UU ITE kan," tambahnya.
Prita Mulyasari saat diskusi bersama Tim Kajian UU ITE. Foto: Dok. Kemenko Polhukam
Sementara Prita Mulyasari, ibu rumah tangga yang sempat dihukum karena mengkritik pelayanan RS lewat milis hingga tersebar, menilai pentingnya edukasi di media sosial agar tidak terjebak dalam kasus hukum.
“Mungkin kita sebelum masuk ke dalam pembuatan undang-undang ITE ini akan direvisi atau pun dicabut, lebih berpikirnya ke arah edukasinya dulu," ucapnya.
Menurut Prita, edukasi diperlukan, khususnya bagi generasi muda, agar lebih bijak bermedia sosial dan tidak saling menghujat.
"Edukasi kepada generasi anak muda sekarang ini bagaimana tata krama dari media sosial itu seperti apa? karena saya lihat banyak juga kasus-kasus yang masih anak-anak muda dengan tanpa berpikir dua kali langsung memberikan posting di media sosial dan itu mereka tidak banyak berpikir bahwa akan ada akibatnya di undang-undang ITE ini," ucap Prita.
ADVERTISEMENT