Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
13 Ramadhan 1446 HKamis, 13 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Redup Semangat Ramadan di Tepi Barat, Warga Hadapi Krisis dan Ketakutan
13 Maret 2025 14:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Kota Jenin dan Tulkarm di Tepi Barat biasanya menyambut Ramadan dengan cahaya lentera, suara tawa anak-anak, dan aroma masakan yang memenuhi jalan-jalan.
ADVERTISEMENT
Tahun ini, yang tersisa hanya keheningan dan kepulan debu dari rumah-rumah yang hancur.
Sejak Januari, operasi militer Israel telah mengusir puluhan ribu warga Palestina. Mereka yang selamat dari serangan kini tersebar di tempat penampungan darurat, masjid, dan rumah kerabat.
Ramadan yang dulu dirayakan dengan kebersamaan, kini dijalani dalam pengungsian dan kehilangan.
Seorang ayah dari empat anak, Mahmoud Sukkar, harus meninggalkan rumahnya di Jenin di hari ketiga operasi militer.
Ia hanya membawa pakaian di badan, tanpa kenangan, tanpa dekorasi Ramadan yang biasa ia pasang bersama keluarganya.
“Dulu Ramadan merupakan momen yang bersinar,” kata Sukkar kepada The New York Times.
Ia dan putranya yang berusia 9 tahun tinggal di rumah seorang teman, sementara istrinya, ibu mertuanya, dan tiga anak lainnya berpindah ke rumah kerabat.
Menjelang Ramadan, mereka berusaha berkumpul kembali.
ADVERTISEMENT
“Kami tidak bisa berpisah. Ramadan berarti kami harus bersama. Dan kami tidak ingin terus menjadi beban bagi orang lain,” ujar Sukkar.
Sebelum perang di Gaza pecah pada Oktober 2023, Sukkar bekerja di Israel.
Namun sejak itu, ia kehilangan pekerjaan dan terpaksa bergantung pada bantuan. Universitas Arab Amerika di Jenin akhirnya membuka asrama sebagai tempat tinggal sementara bagi keluarganya. Mereka pindah satu hari sebelum Ramadan dimulai.
Kota yang Sepi, Pasar yang Muram
Di pusat kota Jenin, para pedagang berdiri di samping rak-rak jualannya.
Alih-alih melihat pembeli yang bergegas menyiapkan iftar, mereka menyaksikan orang-orang berjalan tanpa semangat, wajah mereka lelah dan cemas.
Dulu, setelah berbuka puasa, keluarga berjalan bersama, mampir ke toko-toko untuk membeli knafeh.
Penjaga malam yang membangunkan orang untuk sahur dengan tabuhan genderang, Musaharati, biasanya berkeliling meminta sumbangan kecil sebagai imbalan atas berkah Ramadan.
ADVERTISEMENT
“Tahun ini, dia tidak akan mengetuk pintu kami,” kata istri Sukkar.
“Kami tidak punya pintu untuk diketuk.”
Seorang pengungsi dari kamp Tulkarm, Intisar Nafe’, mengaku selalu memasak untuk komunitasnya saat Ramadan. Tahun ini, dapurnya hancur bersama rumahnya.
“Tidak ada yang seperti Ramadan tahun ini,” katanya.
“Saya biasa membantu di dapur Ramadan. Sekarang, saya menunggu seseorang memberi saya makan.”
Nafe’ kini tinggal di apartemen sempit bersama saudara perempuannya dan keponakannya, sementara anggota keluarga lain tersebar di berbagai tempat.
Seperti banyak pengungsi lainnya, ia tidak tahu kapan bisa kembali ke rumah—atau apakah rumah itu masih ada.
Cerita lain datang dari Bayan al-Qaraawi, perempuan yang diusir dari kamp Nour Shams bersama 30 kerabatnya.
ADVERTISEMENT
Mereka dipaksa keluar di bawah todongan senjata, tanpa sempat membawa apa pun.
“Kami dulu hidup dengan nyaman, dan saya tidak pernah melihat seorang pun dari keluarga saya meminta makanan. Namun kini, selama Ramadan, para pengungsi menghadapi penghinaan yang belum pernah terjadi sebelumnya,” katanya kepada Middle East Eye.
Rumahnya mungkin sudah rata dengan tanah. Ia terus mengikuti berita dengan harapan bisa kembali, tetapi ketakutan selalu ada.
Anak-anaknya tidak lagi bersekolah. Sudah lebih dari 40 hari mereka tanpa kelas, tanpa tempat bermain, dan tanpa kepastian.