Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Referendum Krimea: Ketika Rusia Pertama Kali Aneksasi Wilayah Ukraina
29 September 2022 14:40 WIB
·
waktu baca 8 menitADVERTISEMENT
Proses referendum Rusia di empat provinsi Ukraina yang berlangsung selama empat hari resmi berakhir pada Selasa (27/9).
ADVERTISEMENT
Hasil awal menyimpulkan, keempat provinsi yang memisahkan diri, yakni Donetsk, Luhansk, Kherson, dan Zaporizhzhia sepakat menjadi negara independen dan bergabung ke Rusia sebagai subjek federal.
Diberitakan TASS, perhitungan awal dari referendum di Republik Rakyat Donetsk (DPR), Republik Rakyat Luhansk (LPR), Kherson, dan Zaporizhzhia menunjukkan, sebanyak lebih dari 90 persen menyetujui referendum aneksasi tersebut.
-Aksesi DPR ke Rusia didukung oleh 98,35 persen setelah lebih dari 22,48 persen surat suara diproses.
-Aksesi LPR ke Rusia didukung oleh 97,83 persen dari 21,11 persen surat suara
-Aksesi Zaporizhzhia ke Rusia didukung oleh 97,79 persen dari 29 persen surat suara
-Dan 97,05 persen pemilih, sesuai dengan hasil pemrosesan 28 persen surat suara, mendukung aksesi Kherson ke Rusia.
Ketua Majelis Tinggi Parlemen Rusia, Valentina Matviyenko, mengatakan jika hasil perhitungan pemungutan suara ini berjalan lancar, pihaknya dapat mempertimbangkan penggabungan empat provinsi tersebut pada 4 Oktober, tiga hari sebelum Presiden Rusia Vladimir Putin merayakan ulang tahunnya ke-70.
ADVERTISEMENT
Dan apabila Rusia berhasil menggabungkan keempat provinsi tersebut, maka pemerintah Moskow telah menguasai setidaknya 15 persen dari teritorial keseluruhan Ukraina, termasuk Krimea yang telah dicaplok sebelumnya pada 2014 lalu melalui referendum serupa.
Lantas, bagaimana aneksasi Krimea bermula sehingga referendum ini kembali terulang di masa sekarang?
Krisis Identitas dan Kekuasaan di Ukraina
Ukraina merupakan salah satu dari 15 negara pecahan Uni Soviet yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1991. Negara muda penganut sistem demokrasi ini memiliki sistem perekonomian yang sangat lemah dan kebijakan luar negeri yang bergejolak antara pro-Rusia dan pro-Eropa.
Krisis politik besar-besaran di Ukraina bermula pada November 2013, ketika mantan presiden pro-Rusia Viktor Yanukovych menolak perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
Tindakan tersebut memicu protes massa yang berusaha dipadamkan dengan kekerasan oleh aparat di bawah pemerintah Yanukovych. Terkait hal itu, Rusia mendukung pihak Yanukovych, sementara Amerika Serikat dan Barat mendukung para demonstran yang melawan pemerintah.
Pada Februari 2014, gelombang kerusuhan yang berawal di ibu kota Kiev telah menyebar ke kota-kota dan wilayah lainnya di negara itu. Pihak berwenang Republik Otonomi Krimea yang bermayoritas penduduk berbahasa Rusia enggan untuk mendukung pro-Uni Eropa dan justru mendukung keputusan Yanukovych.
Pada tanggal 4 Februari 2014, Presidium Dewan Tertinggi memprakarsai diadakannya referendum mengenai status semenanjung Krimea — apakah wilayah itu ingin memisahkan diri dari Ukraina atau tidak.
Kemudian, pada 22 Februari 2014, terjadilah kudeta pemerintahan di Ukraina yang dikenal luas sebagai krisis Euromaidan. Kerusuhan antara demonstran pro-Rusia dan pro-Uni Eropa terjadi secara besar-besaran dan mendesak adanya reformasi.
Hasilnya, Yanukovych digulingkan dan dipaksa meninggalkan Ukraina. Sejak itu pula, parlemen Ukraina perlahan mulai menyingkirkan segala hal yang berkaitan dengan Rusia dari kehidupan masyarakat sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Contohnya, seperti membatalkan undang-undang tentang penetapan Bahasa Rusia sebagai bahasa daerah di beberapa wilayah Ukraina. Meskipun tidak berlaku, keputusan tersebut memicu protes massal oleh penutur bahasa Rusia yang tinggal di Ukraina, terutama di tenggara Ukraina, dan juga di Krimea.
Protes Mulai Pecah di Krimea
Amarah penutur Bahasa Rusia yang tinggal di Semenanjung Krimea tidak berhenti sampai di situ.
Pada 23 Februari 2014, penduduk pro-Rusia di Krimea yang enggan mengakui otoritas baru Ukraina, mulai melakukan aksi protes terbuka di depan badan legislatif otonomi. Mereka menuntut pemisahan Krimea dari wilayah Ukraina.
Menurut laporan berbagai media, tindakan ini juga didorong akibat penutur Bahasa Rusia di Semenanjung Krimea kerap mengalami penindasan dari penduduk Ukraina yang pro-Uni Eropa.
Pada 26 Februari, para pendukung otoritas baru Ukraina dan penduduk pro-Rusia yang menuntut pemisahan diri dari Ukraina berkumpul di alun-alun salah satu kota terbesar di Semenanjung Krimea, Simferopol.
ADVERTISEMENT
Kerusuhan pun pecah dan demonstran mengambil alih gedung parlemen Krimea. Bentrokan menewaskan dua orang dan melukai 30 lainnya.
Pada tanggal 27 Februari, setelah gedung parlemen direbut kembali oleh pihak berwenang, para legislator memecat pemerintah lama dan menunjuk pemimpin gerakan lokal Persatuan Rusia, Sergey Aksyonov, sebagai perdana menteri baru Krimea.
Referendum Semenanjung Krimea
Di tengah kerusuhan yang terus berlanjut, badan legislatif setempat menetapkan tanggal untuk mengadakan referendum tentang status Krimea.
Pada 1 Maret 2014, Aksyonov meminta bantuan Putin untuk menjaga perdamaian dan ketertiban di semenanjung itu selama proses pemungutan suara berlangsung.
Pada hari yang sama, majelis tinggi parlemen Rusia yakni Dewan Federasi, memberi wewenang kepada Putin untuk mengerahkan pasukannya di wilayah Ukraina hingga situasi sosial dan politik di negara itu kembali normal.
Di hari yang sama pula, para anggota legislatif di kota terbesar di Semananjung Krimea, Sevastopol, memberikan suara untuk menolak mematuhi otoritas Kiev dan mendukung referendum Krimea untuk memperluas status otonominya.
ADVERTISEMENT
Pada 6 Maret, parlemen Krimea meminta Putin untuk mengakui republik tersebut sebagai wilayah konstituen Federasi Rusia dan menetapkan 16 Maret sebagai tanggal referendum.
Di saat bersamaan, Dewan Kota Sevastopol mengadopsi resolusi yang mendukung partisipasi dalam referendum Krimea. Parlemen Krimea membentuk kementerian pemerintah republik sendiri, dan juga kantor kejaksaan, dinas keamanan, bea cukai, dan badan-badan lain yang independen dari otoritas Kiev.
Pada 11 Maret 2014, badan legislatif Krimea dan Sevastopol sepakat memberikan suara bulat untuk mendeklarasikan kemerdekaannya sebagai Republik Otonomi Krimea dan Kota Sevastopol melalui penyelenggaraan referendum.
Proses pemungutan suara pun digelar pada 16 Maret 2014. Penduduk di Semenanjung Krimea diberi surat suara di mana di dalamnya tercantum dua pernyataan, yakni:
ADVERTISEMENT
1. Apakah Anda mendukung penyatuan kembali Krimea dengan Rusia sebagai wilayah konstituen Federasi Rusia?
2. Apakah Anda mendukung pemulihan Konstitusi Krimea tahun 1992 dan status Krimea sebagai wilayah Ukraina?
Surat suara tersebut dicetak dalam Bahasa Rusia, Ukraina, dan Tatar-Krimea. Pada akhirnya, sejumlah 96,77 persen pemilih di Krimea dan 95,6 persen pemilih di Sevastopol mendukung reunifikasi dengan Rusia.
Antusias penduduk untuk mengikuti referendum pun cukup tinggi. Di Krimea, jumlah pemilih mencapai 83,1 persen dan di Sevastopol sebanyak 89,5 persen.
Sama dengan proses referendum di empat provinsi Ukraina pada bulan ini, referendum di Semenanjung Krimea melibatkan pemantau dari negara asing untuk memastikan prosesnya berjalan dengan baik dan objektif. Referendum Semenanjung Krimea dipantau oleh 50 pengamat dari 21 negara, termasuk Israel, Prancis, dan Italia.
ADVERTISEMENT
Deklarasi Kemerdekaan Krimea
ADVERTISEMENT
Proses pemungutan suara, pemerolehan hasil referendum, hingga deklarasi pemisahan diri Krimea dari Ukraina dan menjadi negara independen berlangsung cukup cepat.
Keesokan harinya, pada 17 Maret parlemen Krimea mengadopsi resolusi untuk mendeklarasikan Krimea sebagai negara berdaulat.
Sebuah seruan pun ditujukan kepada Putin untuk mengakui Krimea ke Federasi Rusia sebagai wilayah konstituen baru berstatus republik.
Di hari yang sama pula, badan legislatif Krimea dan Sevastopol diberikan nama baru dan mulai mengadopsi pemerintahan baru di luar dari pemerintahan Kiev.
Dewan Negara Krimea menyatakan aset Ukraina yang terletak di semenanjung sebagai properti republik dan memutuskan bahwa setiap UU yang diadopsi oleh pemerintah Ukraina setelah 21 Februari 2014 sudah tidak berlaku lagi di Krimea.
ADVERTISEMENT
Dewan Kota Sevastopol dengan suara bulat memilih aksesi kota tersebut ke Rusia sebagai anggota terpisah dari federasi, yakni disebut sebagai kota federal. Pada 17 Maret, Putin menandatangani dekrit untuk mengakui Krimea sebagai negara berdaulat dan merdeka.
Reunifikasi Krimea dengan Rusia
18 Maret 2014 adalah hari bersejarah bagi Krimea, Ukraina, dan Rusia.
Begitu pula dengan situasi geopolitik Eropa Timur di mata Barat yang merupakan sasaran terbarunya untuk didominasi. Di tengah kecaman Barat, Krimea berhasil memperjuangkan haknya dan menjadi negara republik baru.
Di hari itu, Putin bersama Perdana Menteri Krimea Sergey Aksyonov, Ketua Dewan Negara Krimea Vladimir Konstantinov, dan Ketua Dewan Koordinasi untuk Direktorat Pendukung Kehidupan Sevastopol Aleksey Chaly membubuhkan tanda tangan mereka pada perjanjian tentang penggabungan entitas teritorial baru ke Federasi Rusia.
Tentunya, Ukraina, Amerika Serikat, dan Uni Eropa menolak untuk mengakui kemerdekaan Krimea dan reunifikasi dengan Rusia.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada 21 Maret, Putin menandatangani undang-undang ratifikasi perjanjian dan hukum konstitusional tentang aksesi Krimea dan Sevastopol ke Rusia sebagai anggota federasi.
Pada hari yang sama, Putin menandatangani dekrit untuk membentuk Distrik Federal Krimea yang terdiri dari Republik Krimea dan kota federal Sevastopol. Namun, pada 28 Juli 2016, Distrik Federal Krimea dihapuskan sehingga Republik Krimea dan Kota Sevastopol dijadikan bagian dari Distrik Federal Selatan Rusia.
Pada 11 April 2014, Konstitusi Republik Krimea diadopsi. Konstitusi ini menetapkan tiga bahasa resmi Krimea di mana Bahasa Ukraina masih diakui. Ketiga bahasa itu yakni Bahasa Rusia, Ukraina, dan Tatar-Krimea.
Sejak itu pula, perkembangan infrastruktur di Krimea semakin meningkat dan akses Rusia-Krimea dipermudah dengan dibangunnya jembatan terpanjang yang menghubungkan kedua negara.
ADVERTISEMENT
Bertepatan empat tahun sejak reunifikasi Rusia-Krimea, pada 18 Maret 2018 lalu Putin memberikan pidato dan berterima kasih kepada semua pihak yang membantu terwujudnya referendum di Semenanjung Krimea.
Mengutip kata-kata anggota komite pemilihan Sevastopol, Putin mengatakan penduduk setempat tidak akan pernah melupakan hari referendum reunifikasi dengan Rusia.
“Kami juga tidak akan pernah lupa dan seluruh Rusia tidak akan pernah lupa,” ujar Putin. “Saya yakin bahwa di masa depan, ketika tahun-tahun berlalu, orang-orang masih akan mengingat siapa yang melakukan ini dan siapa yang mengorganisir ini,” imbuhnya.
Situasi berulang yang terjadi empat tahun kemudian sejak aneksasi Krimea ini, bermuara pada sejarah Ukraina berabad-abad lalu yang sudah didominasi oleh Rusia.
Kondisi internal Ukraina telah terbagi menjadi dua kubu sejak Uni Soviet pecah dan Ukraina menjadi negara muda baru yang belum memiliki kematangan pada arah pemerintahannya.
ADVERTISEMENT
Terdapat kubu yang melihat Ukraina sebagai bagian dari Eropa dan terdapat pula mereka yang melihat Ukraina sebagai bagian dari Rusia. Mereka terbagi ke dalam jumlah yang hampir setara. Krisis politik internal dan krisis identitas itu tidak dapat terhindari.