Referendum Turki: Jalan Panjang Dominasi Politik Erdogan

17 April 2017 7:30 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Erdogan dan sang istri usai referendum Turki. (Foto: REUTERS/Murad Sezer)
zoom-in-whitePerbesar
Erdogan dan sang istri usai referendum Turki. (Foto: REUTERS/Murad Sezer)
Erdogan menang. Referendum hari lalu memastikan hal itu. Hasil pemungutan suara yang dilakukan di seluruh Turki (dan di beberapa negara lain untuk diaspora) tersebut melanggengkan proposisi yang diajukan ia dan partainya di badan legislasi: evet untuk amandemen konstitusi, evet untuk Erdogan.
ADVERTISEMENT
Penghitungan suara menunjukkan kemenangan bagi kubu evet, kubu yang mendukung mosi amandemen konsitusi usulan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Sebanyak 99 persen suara sudah dihitung, dan suara yang mendukung untuk adanya amandemen konsitusi (evet, yang berarti “Ya”) mencapai 51,36 persen, dibanding suara menolak (hayir, berarti “Tidak”) yang hanya 48,64 persen.
Malam (16/4) tadi, Erdogan sendiri mengumumkan kemenangan dengan suara mayoritas. Merayakan kemenangan referendum tersebut di Istanbul, Erdogan meminta rakyat terus mendukungnya dalam melanjutkan program dari kemenangan referendum tersebut.
Ia juga coba mengecilkan anggapan yang menilai keadaan negara tengah terpecah belah akibat situasi politik beberapa tahun belakangan.
Erdogan usai Referendum Turki (Foto: Yasin Bulbul/Presidential Palace/Handout via REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Erdogan usai Referendum Turki (Foto: Yasin Bulbul/Presidential Palace/Handout via REUTERS)
“Kita selalu berada di jalan kita, dan kita akan bergerak lebih maju lagi bersama sistem baru ini,” ucap Erdogan seperti dilansir Al Jazeera. Erdogan juga tak lupa memunculkan retorika pemerintahannya sebagai korban, dan Barat sebagai pencoleng perdamaian. “Anda semua lihat bagaimana Barat terus menyerang kita. Kita sendiri tidak pernah terbagi-bagi.”
ADVERTISEMENT
Kemenangan Erdogan merupakan puncak dari gunung es transformasi politik yang ia kumandangkan sejak bertahun-tahun lalu. Walaupun baru menjadi presiden Turki sejak 2014, sebelumnya ia telah 11 tahun berada di pos perdana menteri, yaitu sejak tahun 2003 hingga 2014.
Di masa-masa awal menjadi presiden, ia sudah lantang mengatakan bahwa ia tak akan netral dalam menjalankan kepemimpinannya. Ia juga terang-terangan mengusulkan agar sistem politik Turki diubah menjadi presidensial, salah satunya dengan menghapus posisi Perdana Menteri. Keadaan inilah yang ia raih dengan kemenangan di referendum 16 April kemarin.
Massa pro Erdogan (Foto: REUTERS/Murad Sezer)
zoom-in-whitePerbesar
Massa pro Erdogan (Foto: REUTERS/Murad Sezer)
Di bawah kepemimpinannya, Turki mengalami keberhasilan. Di bidang ekonomi, Turki mampu dibawanya dari negara yang nilai tukar mata uangnya mencapai 1,5 juta per dolar, hingga menjadi negara dengan perkembangan ekonomi tercepat di antara negara G-20 pada tahun 2011.
ADVERTISEMENT
Tak hanya di bidang ekonomi, Erdogan menjadi populer karena mengambil kebijakan yang mengakomodir kepentingan umat Islam di Turki, salah satunya dengan menghapus kebijakan-kebijakan sekuler seperti larangan pemakaian jilbab di institusi umum. Hal ini, tentu saja, semakin melambungkan namanya.
Meski begitu, bukan berarti tak ada hujatan bagi nama Erdogan. Kebijakan-kebijakan Erdogan yang condong ke kelompok islam nasionalis mau tidak mau menimbulkan protes dari pendukung prinsip sekuler Mustafa Kemal Ataturk, bapak bangsa Republik Turki.
Beberapa keputusan Erdogan memperparah hal tersebut. Tercatat ada beberapa kasus besar yang membuat Erdogan berseberangan dengan berbagai kelompok masyarakat. Insiden Taman Gezi di 2013, misalnya, membuat Erdogan harus berseberangan dengan kelompok pemerhati lingkungan, kelompok sayap kiri, kelompok Kurdi, bahkan berbagai kalangan pendukung sepak bola yang simpati pada kasus tersebut.
Penolakan hasil referendum Turki. (Foto: REUTERS/Stringer)
zoom-in-whitePerbesar
Penolakan hasil referendum Turki. (Foto: REUTERS/Stringer)
Berawal dari masalah ruang hijau yang hendak diubah Erdogan menjadi sebuah pusat perbelanjaan, insiden tersebut kemudian menjadi protes massa terparah dalam lanskap politik Turki beberapa tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Tak hanya protes massa, pemerintahan Turki juga diserang oleh berbagai serangan teroris. Dengan aktivitas ISIS yang terus meningkat di perbatasan, militan Kurdis PKK juga terus menggetolkan kegiatannya. Ada 11 serangan besar yang terjadi dari tahun 2015 hingga tahun 2017, yang merenggut korban hingga lebih dari 400 orang tewas.
Masalahnya, ini dihadapi Erdogan dengan keras. Tak hanya operasi militer yang terus digencarkan, Erdogan juga kerap menghantam media-media yang coba memberitakan dari sudut pandang kedua belah pihak. Lebih dari 150 wartawan ditahan olehnya karena berbagai tuduhan, dari pengkhianat, perampok, atau bahkan komunis.
Protes hasil referendum Turki. (Foto: REUTERS/Stringer)
zoom-in-whitePerbesar
Protes hasil referendum Turki. (Foto: REUTERS/Stringer)
“Tidak ada bedanya antara teroris yang memegang senjata dan bom dan orang-orang yang menggunakan penanya untuk melanggengkan tujuan politiknya,” ucap Erdogan pada 2015, seperti dilansir dari BBC.
ADVERTISEMENT
Titik didih dari karut marut politik Turki tercapai ketika percobaan kudeta pada 16 Juli 2016 gagal. Erdogan yang telah tahu sebelumnya berhasil melarikan diri. Dari titik itulah ia semakin mantap mengajukan pengubahan sistem politik Turki via referendum.
Menurutnya, sistem pemerintahan parlementer kerap menjadikan pemerintahan terbagi dalam koalisi-koalisi yang lemah dan membuat pemerintah sulit mengambil keputusan penting secara cepat. Ia berjanji bahwa sistem baru akan membuat pemerintah Turki semakin kuat dan semakin baik dalam memertahankan negara dari ancaman, baik dalam dan luar negeri.
Mevlut Mert Altintas mengarahkan pistolnya ke arah pengunjung beberapa saat setelah menembak mati Duta Besar Rusia untuk Turki. (Foto: Hasim Kilic/Hurriyet - REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Mevlut Mert Altintas mengarahkan pistolnya ke arah pengunjung beberapa saat setelah menembak mati Duta Besar Rusia untuk Turki. (Foto: Hasim Kilic/Hurriyet - REUTERS)
Evet menjadi juaranya. Rakyat Turki bersiap untuk lebih lama lagi bersama Presiden Recep Tayyip Erdogan. Ia berpeluang untuk memimpin Turki paling tidak 10 tahun lagi.
Namun referendum sehari lalu bukan hanya soal itu.
ADVERTISEMENT
Referendum ini menjadi perubahan konstitusional terbesar sejak Turki menjadi republik hampir 100 tahun yang lalu.
Nantinya, pos perdana menteri akan dihapus. Bersamaan dengan itu, posisi wakil presiden akan ditambahkan. Apabila saat ini kepala pemerintahan dibagi antara perdana menteri dan presiden, nantinya Erdogan akan mengambil alih kuasa pimpinan pemerintahan dan negara.
Ia juga diperkenankan untuk tetap menjabat di partai politik. Presiden juga diperbolehkan menunjuk jajaran kabinetnya, mengeluarkan peraturan pemerintah, memilih hakim agung, dan membubarkan parlemen.
Selain itu, referendum kemarin juga melarang parlemen menggoyang posisi kementerian, karena itu menjadi hak prerogatif presiden. Itu masih ditambah lagi dengan pembatasan wewenang badan legislasi untuk memeriksa ataupun memakzulkan presiden.
Erdogan, yang telah menjadi perdana menteri dan presiden selama 14 tahun berturut-turut, juga masih punya kemungkinan maju ke dua pemilihan presiden lagi. Dengan dukungan dari kelompok Islam yang kuat, bukan tidak mungkin kita masih akan mengenal Erdogan sebagai presiden Turki sampai 2029 nanti.
Massa pro Erdogan (Foto: REUTERS/Murad Sezer)
zoom-in-whitePerbesar
Massa pro Erdogan (Foto: REUTERS/Murad Sezer)
ADVERTISEMENT