Refly Harun: Jika Tak Boleh Bahas Pemecatan Presiden, Buat Apa Pasal Pemakzulan

1 Juni 2020 16:43 WIB
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Refly Harun pada acara Focus Group Discussion (FGD) Konstitusi di Hotel Ashley, Jakarta, Rabu (13/2). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Refly Harun pada acara Focus Group Discussion (FGD) Konstitusi di Hotel Ashley, Jakarta, Rabu (13/2). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, turut berkomentar mengenai diskusi pemecatan presiden di UGM yang terpaksa dibatalkan usai adanya ancaman teror kepada pembicara dan panitia.
ADVERTISEMENT
Refly berpendapat, diskusi yang digelar komunitas mahasiswa hukum tata negara FH UGM, Constitutional Law Society (CLS), tidak ada yang aneh. Sebab, diskusi tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap cara pemerintah dalam menangani corona bisa menjadi alasan untuk memberhentikan presiden.
Ia pun menyayangkan ada pihak-pihak, termasuk dari salah satu dosen di UGM, yang menganggap diskusi tersebut sebagai gerakan makar.
"Apa yang dilakukan mahasiswa dalam koridor akademik, kalau dikatakan gerakan makar sangat keterlaluan. Saya miris karena ini mimbar akademik. Tidak sepantasnya di era reformasi ada larangan mengadakan mimbar akademik. Kampus harus tetap kritis, tidak boleh tumpul. Apalagi temanya sebenarnya masih dalam konstitusi," ujar Refly dalam kanal YouTubenya yang diunggah pada Senin (1/6). Refly mempersilakan kumparan mengutipnya.
Poster diskusi komunitas di FH UGM saat belum diganti judul. Foto: Dok. Istimewa
Menurut Refly, jika pembahasan mengenai pemecatan presiden dilarang karena kerap dituding sebagai gerakan makar, seharusnya tak perlu ada aturan pemakzulan sebagaimana Pasal 7A UUD 1945.
ADVERTISEMENT
"Kalau tidak boleh bicara pemberhentian atau impeachment presiden, tidak perlu ada ayat-ayat konstitusi yang bicara pemberhentian presiden," ucapnya.
Ia pun meminta seluruh pihak, khususnya pemerintah, tak perlu paranoid terhadap diskusi semacam itu. Sebab, syarat-syarat pemberhentian presiden tidak mudah.
"Sehingga meminta presiden mundur sah-sah saja dan konstitusional, yang tidak boleh memaksa presiden untuk mundur," kata Refly.
Untuk itu, lanjut Refly, jangan sampai kejadian teror terhadap diskusi dengan tema pemberhentian presiden kembali terulang. Ia pun meminta polisi mengusut tuntas adanya ancaman dan teror kepada narasumber dan peserta diskusi tersebut.
Refly Harun di FGD Kemah Konstitusi di Hotel Ashley, Jakarta, Rabu (13/2). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
"Yang perlu dijaga jangan sampai warga negara melanggar hukum, tapi berpikir kritis dan ilmu pengetahuan, tahu hal-hal substantif termasuk pemberhentian presiden tidak perlu dikhawatirkan," kata Refly.
ADVERTISEMENT
"Kita ingin republik ini cerdas, warga negaranya cerdas. Bukan republik yang membungkam warga negaranya, membodohi warga negaranya dan yang membuat sempit ruang akademik dan kebebasan berekspresi," tutupnya.
Constitutional Law Society (CLS) FH UGM sebelumnya berencana menggelar diskusi bertajuk 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' pada Jumat (29/5) secara virtual. Namun karena menuai polemik, judul diskusi diubah menjadi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'. Pada akhirnya, diskusi tersebut dibatalkan usai narasumber dan panitia diskusi menerima ancaman teror, bahkan pembunuhan.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.