Refly Harun soal Pemerintah Buat Lagi Perpres Kenaikan BPJS: Beri Contoh Buruk

14 Mei 2020 10:54 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Refly Harun Foto: Marcia Audita/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Refly Harun Foto: Marcia Audita/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Presiden Jokowi telah menerbitkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan per Juli 2020. Padalah perpres kenaikan iuran sebelumnya, yakni Nomor 75 tahun 2019 telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) akhir Februari lalu.
ADVERTISEMENT
Salah satu alasan hukum pembatalan kenaikan BPJS Kesehatan oleh MA yakni defisit BPJS tak bisa dibebankan kepada masyarakat. Sebab, MA menilai akar permasalahan BPJS Kesehatan ini adalah manajemen atau tata kelola BPJS secara keseluruhan.
MA dalam putusannya mengutip audit BPKP dalam rapat DPR. Salah satunya adanya defisit keuangan hingga sulit bayar utang ke rumah sakit. Selain itu ada masalah lainnya seperti data peserta yang tak konsisten manajemen dan perhitungan tidak dilakukan dengan baik, hingga menunggaknya peserta dalam membayar iuran.
Menurut hakim, kondisi-kondisi itu disebabkan beberapa hal. Salah satunya ialah adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan.
Hal tersebut kemudian disorot oleh Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun. Menurut dia, secara hukum haruslah diselesaikan dulu permasalahan fraud tersebut sebelum memikirkan besaran iuran yang diberlakukan.
ADVERTISEMENT
"Karena pengadilan itu bukan tata cara pembentukan Perpresnya kan tapi substansi kan, kenaikan tersebut. Dalam konteks seperti ini diberesi fraud itu dulu yang secara moral hukum harus di beresi dulu fraud itu. Bahwa kemudian baru dipikir bagaimana tarif itu masuk akal," kata Refly saat dihubungi, Kamis (14/5).
Ahli Hukum Tata Negara, Refly Haru. Foto: ANTARAFOTO_Indrianto Eko Suwarso
Refly mengatakan, terkait dikeluarkannya lagi perpres oleh Jokowi itu memang kelemahan dari bentuk Judicial Review (JR) aturan di bawah undang-undang. Sebab, bila digagalkan, akan mudah membentuk perpres baru.
"Tidak memerlukan pembahasan lebih lanjut dengan pihak lain kan. Sehingga kalau ada JR untuk membatalkan sebuah Perpres maka dengan mudahnya Presiden bisa bikin lagi Perpres yang baru," kata dia.
Ia mengatakan secara formil memang itu bisa dilakukan. Namun secara materiil, ini merupakan pembangkangan terhadap hukum. Sebab sudah ada putusan MA yang sifatnya final dan mengikat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ia menilai pemerintah memberikan contoh buruk karena mengatasi masalah dengan membuat perpres baru, bukan selesaikan substansi masalahnya.
"Kalau memang terjadinya fraud, itu diaddress secara sisi moral hukumnya loh. Itu diselesaikan baru kemudian dipikirkan dinaikan atau penyesuaian tarif," kata dia.
"Menurut saya Pemerintah berikan contoh buruk gitu loh. Kan ini menunjukkan menurut saya apa ya, disalokasi keuangan sehingga Pemerintah diterkam di sana sini kan. Padahal kalau kita balik ke Konstitusi itu kewajiban konstitusional loh Pemerintah memberikan jaminan kesehatan," pungkas dia.
Petugas melayani pelanggan di Kantor BPJS Kesehatan, Jakarta, Senin (9/3). Foto: ANATRA FOTO/M Risyal Hidayat
Berikut Iuran BPJS Kesehatan versi lama dan terbaru:
Januari - Maret 2020 (Menggunakan Perpres 75 Tahun 2019)
Kelas I Rp 160.000 per bulan
ADVERTISEMENT
Kelas II Rp 110.000 per bulan
Kelas III Rp 42.000 per bulan
April - Juni 2020 (kembali ke Perpres 82 Tahun 2018)
Kelas I Rp 80.000 per bulan
Kelas II Rp 51.000 per bulan
Kelas III Rp 25.500 per bulan
Juli 2020 - seterusnya
Kelas I Rp 150.000 per bulan
Kelas II Rp 100.000 per bulan
Kelas III Rp 42.000*
*Catatan:
Peserta Kelas III pada Juli-Desember 2020 tetap membayar Rp 25.500, pemerintah memberikan subsidi iuran Rp 16.500.
ADVERTISEMENT
Peserta Kelas III mulai Januari 2021 akan membayar Rp 35.000, pemerintah memangkas subsidi iuran menjadi Rp 7.000.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.