Regulasi yang Sulitkan Rakyat Dianggap Malah Muncul di Era Jokowi

17 Agustus 2019 6:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo memberi hormat sebelum menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo memberi hormat sebelum menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
ADVERTISEMENT
Saat menyampaikan pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Jumat (16/8) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung soal undang-undang yang menyulitkan rakyat. Jokowi menilai regulasi itu harus dibongkar.
ADVERTISEMENT
Namun, beberapa pihak malah melihat regulasi yang menyulitkan rakyat justru muncul saat Jokowi memerintah. Salah satunya dalam menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan yang dianggap melegitimasi upah murah untuk buruh.
"Belum lagi kini akan disahkan RUU yang justru berisiko melanggar hak-hak rakyat seperti RUU Pertanahan, RUU Sumber Daya Air, RKUHP yang semakin berkarakter kolonial," kata Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, Jumat (16/8).
"Bahkan muncul kebijakan Tim Asistensi Kemenkopolhukam yang mengancam hak berpikir dan berpendapat rakyat yang memilih sebagai oposisi bagi pemerintah. Ini baru bicara pembentukan hukum, belum bagaimana praktik impunitas terus terjadi, khususnya untuk pelanggar HAM," sambung Arif.
Arif juga menganggap Jokowi membiarkan aturan yang dianggap bermasalah. Misalnya, sikap pemerintah terkait UU ITE dan aturan pinjaman online.
ADVERTISEMENT
"UU ITE yang acap kali bungkam suara kritis masyarakat tetap eksis dan terus makan korban, atau aturan Peraturan OJK soal pinjaman online yang tidak melindungi masyarakat dibiarkan," kata Arif.
Haris Azhar. Foto: M. Fadli Rizal/kumparan
Senada dengan Arif, Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, menilai pernyataan Jokowi terlampau kabur karena tidak mengungkap aturan yang dimaksud. "Dia tidak sebut yang mana UU yang sulitkan rakyat. Tidak jelas. Yang ada justru UU yang menjamin hak rakyat malah tidak diterapkan dan malah mau direvisi," kata Haris.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, memandang pidato Jokowi akan regulasi hanya sekadar basa-basi. Pasalnya, Jokowi punya kewenangan untuk mengubah regulasi yang bermasalah.
Dosen FH Universitas Tri Sakti, Abdul Fickar Hadjar diwawancarai usai Diskusi bertajuk ‘Rombongan Koruptor Mengajukan PK’ di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (13/3). Foto: Ajo Darisman/kumparan
"Presiden yang mempunyai kekuasaan untuk memperbaiki yang tumpang tindih atau membongkar, seharusnya langsung saja lakukan aksi melalui program pelaksanaannya. Ironis karena tampak pernyataan ini menjadi sebuah pernyataan politis saja," kata Fickar.
ADVERTISEMENT
Jokowi sebelumnya mengapresiasi sinergitas pemerintah dengan DPR yang telah menyelesaikan 15 Rancangan Undang-Undang sepanjang Agustus 2018 - Juli 2019. RUU tersebut antara lain di bidang perjanjian kerja sama internasional, penyelenggaraan haji, kesehatan, hingga pengetahuan dan teknologi.
Di sisi lain, ia berharap ada dukungan dari DPR untuk mereformasi perundang-undangan. Yakni dengan menyatukan undang-undang yang saling bertabrakan.
"Undang-undang yang bertabrakan satu dengan yang lain harus kita selaraskan. Undang-undang yang menyulitkan rakyat harus kita bongkar. Undang-undang yang menghambat lompatan kemajuan harus kita ubah," kata Jokowi.