Rektor Unud Dituntut 6 Tahun Penjara di Kasus Korupsi Sumbangan Mahasiswa

23 Januari 2024 14:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rektor Universitas Udayana I Nyoman Gde Antara saat menjalani persidangan dengan agenda tuntutan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (23/1/2024). Foto: Denita BR Matondang/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rektor Universitas Udayana I Nyoman Gde Antara saat menjalani persidangan dengan agenda tuntutan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (23/1/2024). Foto: Denita BR Matondang/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rektor non aktif Universitas Udayana I Nyoman Gde Antara dituntut enam tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsidair tiga bulan kurungan dalam kasus korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa jalur mandiri tahun akademik tahun 2018-2022.
ADVERTISEMENT
JPU menilai Antara secara sah dan terbukti menyalahgunakan kekuasaannya sebagai Ketua Penerimaan Mahasiswa Baru dan Rektor Unud untuk memungut SPI demi keuntungan dirinya.
Hal ini sesuai Pasal 12 huruf e Jo Pasal 18 huruf a dan b UU Tipikor jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Menjatuhkan pidana terhadap I Nyoman Gde enam tahun penjara," kata JPU Agus Eko Purnomo saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Selasa (23/1).
Antara melakukan pungutan senilai Rp 274.570.092.691 dari 7.874 mahasiswa dan merugikan negara atau perekonomian negara Rp 274.570.092.691.
Dalam dakwaan JPU, kasus ini bermula saat Rektor Unud A. A Raka Sudewi membentuk Tim Penyusun Tarif SPI Mahasiwa Baru Jalur Seleksi Mandiri Tahun Akademik 2018/2019. Antara kemudian menetapkan dirinya sebagai Ketua Penerimaan Mahasiwa Baru Jalur Seleksi Mandiri Akademik 2018-2023.
Rektor Universitas Udayana I Nyoman Gde Antara saat menjalani persidangan dengan agenda tuntutan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (23/1/2024). Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Tim penerimaan memutuskan dana SPI dimanfaatkan untuk pengembangan sarana dan prasarana serta menghindari pungutan pihak lain yang tidak bisa diawasi.
ADVERTISEMENT
Para calon mahasiswa tidak bisa melanjutkan pendaftaran tanpa mengisi besaran SPI melalui aplikasi pendaftaran. Calon mahasiwa wajib membayar SPI setelah dinyatakan lulus seleksi meskipun belum ditetapkan sebagai mahasiswa baru.
JPU menilai Penetapan SPI bertentangan dengan Pasal 10 Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Termasuk, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Umum Universitas Udayana pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam PMK tersebut tidak memuat ketentuan SPI sebagai tarif layanan.
Dalam dakwaan JPU, terungkap bahwa para terdakwa selama ini sesuka hati menetapkan besaran nilai SPI dalam laman pendaftaran.
Besaran SPI berdasarkan surat keputusan rektor mulai dari Rp 0 sampai Rp 150 juta pada tahun ajaran 2018/2019. Besaran nilai SPI bahkan dipatok mulai dari Rp 0 sampai Rp 1,2 miliar pada tahun akademik 2022/2023.
ADVERTISEMENT
Demikian juga dalam menentukan program studi. Terdakwa menetapkan program studi di luar surat keputusan rektor dan ketentuan Kemendikbud masuk dalam pungutan SPI.
Modus yang sama dilakukan para terdakwa hingga jabatan A.A. Raka Dewi sebagai rektor berakhir dan digantikan oleh Nyoman Antara pada tahun akademik 2021/2022.
Pada tahun ajaran akademik 2020-2021, Antara bahkan memasukkan sejumlah mahasiswa titipan dari DPD, senat hingga lingkup pergaulan melalui jalur mandiri. Antara memerintahkan anak buahnya memprioritaskan mahasiswa titipan, mengubah nilai dan mengubah nasib mahasiwa dari yang awalnya tidak lulus menjadi lulus seleksi.
"Tanggal 2 September 2020 jam 18:19:48 Wita Terdakwa I Nyoman Gde Antara, M.Eng.IPU., mengirimkan pesan kepada saksi Nyoman Putra Sastra, S.T., M.T. yang isinya “Mang tlg luluskan 3 orang ini yg sebelumnya tdk lulus” “1 arsitek dan 2 manajemen” “asah udeg sj”- yang dalam bahasa Indonesia berarti siap habis habisan," kata JPU.
ADVERTISEMENT
JPU menuturkan, Unud menampung hasil pungutan SPI dengan mencampur keuangan penerimaan badan layanan umum sehingga pungutan tersebut seolah-olah sah. Menurut JPU, tindakan ini mengaburkan asal usul dan pemanfaatan uang menjadi kabur.
Dalam kasus ini, Antara melakukan pungli demi memperkaya diri sendiri dan sejumlah bank. Hasil pungli diendapkan di beberapa bank seperti BTN, BRI, Bank Mandiri, dan BPD Bali sehingga memperoleh predikat nasabah premium dan memperoleh fasilitas VVIP dari bank-bank tersebut.
Padahal, berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Udayana Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pedoman Optimalisasi Kas Badan Layanan Umum Universitas Udayana, uang itu semestinya dicairkan dalam jangka waktu 12 bulan.
Sementara itu, Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 176/UN14/HK/2018 tanggal 17 Januari 2018, uang hasil SPI dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana kampus.
ADVERTISEMENT
Pada kenyataannya, Antara dan pejabat kampus lainnya memperoleh 16 unit mobil Toyota Avanza dan 1 mobil Toyota Alphard sebagai nasabah VVIP. Antara bahkan menggunakan mobil Alphard untuk kepentingan pribadi bukan kampus.
"Dari pengendapan dana tersebut terdakwa juga mendapatkan fasilitas dari Bank BNI salah satunya berupa mobil Toyota Alphard yang dipergunakan untuk keperluan keluarga terdakwa," kata JPU.
Dalam kasus ini, Kejati Bali menetapkan Kepala Unit Sumber Daya Informasi Nyoman Putra Sastra (51), Kepala Bagian Akademik I Made Yusnantara (51) dan Anggota Bagian Akademik I Ketut Budiartawan (45) sebagai terdakwa. Mereka saat ini sedang mengikuti sidang agenda tuntutan.