Rektorat UGM: Kami Kritisi Permen Pemberian Gelar Profesor Kehormatan ke Pejabat

15 Februari 2023 20:08 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
 Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat UGM Arie Sujito di UGM, Rabu (14/12/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat UGM Arie Sujito di UGM, Rabu (14/12/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wakil Rektor Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sujito, angkat bicara soal dra surat penolakan para dosen UGM terkait pemberian Honorary Professor atau Guru Besar Kehormatan kepada individu yang berasal dari sektor non-akademik dan pejabat publik.
ADVERTISEMENT
Menurut Arie, UGM juga tengah mengkritisi Peraturan Menteri (Permen) yang mengatur soal pemberian gelar profesor kehormatan tersebut, yaitu Peraturan Mendikbud Ristek No 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi.
"UGM lagi mengkritisi peraturan menteri itu, lalu memberi input ke menteri," kata Arie melalui pesan singkat, Rabu (15/2).
Arie mengatakan UGM tidak menerapkan Permen tersebut untuk mengangkat pejabat publik menjadi Guru Besar Kehormatan di kampusnya.
"Lah, itu kan Peraturan Menteri, UGM enggak menerapkan kok, dan tidak memproses, kok," katanya.
Justru, UGM membentuk tim untuk mengkaji dan mengkritisi Peraturan Menteri.

Mensesneg Prof Pratikno Juga Menolak

Guru Besar Fisipol UGM, Prof Dr Pratikno. Foto: ugm.ac.id
Draf surat penolakan para dosen UGM terkait pemberian gelar Honorary Professor atau Guru Besar Kehormatan kepada individu yang berasal dari sektor nonakademik beredar luas di media sosial.
ADVERTISEMENT
Di bawah pernyataan itu, turut disertakan nama-nama dosen dari berbagai fakultas. Misal saja Prof Purwo Santoso hingga Prof Dr Pratikno (Menteri Sekretariat Negara Indonesia) dari Fisipol.
Lalu, ada Prof Sigit Riyanto hingga Zainal Arifin Mochtar dari Fakultas Hukum. Ada pula nama Prof Koentjoro dari Fakultas Psikologi. Selain itu ada nama Prof Kuwat Triyana dari Fakultas MIPA, dan lain sebagainya.

Diskriminatif

Prof Sigit Riyanto, Guru Besar Fakultas Hukum UGM menjelaskan, pengangkatan profesor kehormatan yang memuat kepentingan pragmatis individu maupun kelompok, bisa dianggap diskriminatif. Mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan tentu mengkhianati pengorbanan para dosen untuk menggapai guru besar.
Dekan Fakultas Hukum UGM, Profesor Sigit Riyanto. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
"Para dosen di perguruan tinggi harus berjuang keras puluhan tahun untuk mencapai posisi profesor dengan berbagai beban kinerja, belitan regulasi dan birokrasi. Kebijakan semacam itu, dikhawatirkan akan menimbulkan demoralisasi bagi para dosen dan akademisi yang ada di perguruan tinggi," kata Sigit.
ADVERTISEMENT
Sigit menilai, apabila otoritas perguruan tinggi memihak pada kepentingan pragmatis maka kebenaran dan akal sehat akan tergadaikan. Tentu juga merendahkan martabat perguruan tinggi dan sivitas yang ada.
Sigit menjelaskan ada dua jalur untuk mendapat profesor kehormatan. Pertama jalur akademik yang merujuk Permendikbud No 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen di mana seorang professor berprofesi sebagai dosen.
Lalu, jalur non-akademik yaitu tertuang di Peraturan Mendikbud Ristek No 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Sebelumnya, pengangkatan profesor tidak tetap itu merujuk Permendikbud No. 88 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tidak Tetap dalam Jabatan Akademik Pada Perguruan Tinggi Negeri.
Di dalam Peraturan Mendikbud Ristek No 38 Tahun 2021 dijelaskan kriteria sebagai profesor yaitu:
ADVERTISEMENT