Krispi- Relaksasi dan ancaman gelombang kedua corona

Relaksasi dan Ancaman Gelombang Kedua Infeksi Corona

17 Mei 2020 10:55 WIB
comment
32
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang warga terjaring razia penindakan pelanggaran aturan PSBB oleh Satpol PP. Ia dihukum membersihkan sampah di Tanah Abang, Jakarta. Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
zoom-in-whitePerbesar
Seorang warga terjaring razia penindakan pelanggaran aturan PSBB oleh Satpol PP. Ia dihukum membersihkan sampah di Tanah Abang, Jakarta. Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Luhut Binsar Panjaitan, seperti sejumlah pejabat lain, kini menjadi juru bicara narasi yang diketengahkan pemerintah: pelonggaran pembatasan wilayah. Kamis lalu (14/5), Menteri Koordinator Maritim dan Investasi itu mengumbar kalimat bernada optimistis.
Menurutnya, tren kasus COVID-19 di Indonesia mulai turun. Dan, pemerintah sudah menyiapkan “tahapan selanjutnya” atas penanganan pandemi virus corona.
“Kami juga sudah mulai merencanakan untuk melonggarkan di beberapa tempat. Mungkin Bali, Manado, Yogyakarta, atau Batam, Bintan, yang kasusnya sangat kecil,” kata Luhut di sela seremoni penyerahan bantuan sebuah perusahaan di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Berdasarkan data Gugus Tugas COVID-19, Bali, Manado, dan Yogyakarta memang termasuk daerah dengan kasus infeksi corona yang rendah. Penularan hariannya juga tampak menurun beberapa hari terakhir. Saking kecilnya, ketiga daerah itu bahkan tidak menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Di luar pernyataan Luhut, wacana relaksasi pembatasan di sejumlah daerah terus berembus sepanjang pekan ini. Beberapa waktu lalu, sempat beredar salinan rancangan rencana Kemenko Perekonomian bertajuk “Road Map Ekonomi-Kesehatan Keluar COVID-19”.
Skenario Ekonomi Exit COVID-19. Foto: Istimewa
Skenario pemulihan kegiatan ekonomi itu juga diikuti rencana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dokumen yang disusun Raden Pardede, anggota Tim Asistensi Menko Perekonomian, memuat lima fase pemulihan ekonomi yang dimulai pada awal kuartal ketiga 2020.
Dalam dokumen tersebut, pemerintah akan membuka secara bertahap aktivitas industri, perdagangan, kebudayaan, hingga pariwisata dalam jangka waktu Juni-Juli 2020. Kini, sejumlah daerah juga mulai menyuarakan rencana relaksasi PSBB.
Selasa (12/5), misalnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan PSBB di lebih dari separuh wilayahnya berpotensi dilonggarkan. Meski tak menyebut daerah mana yang dimaksud, menurut pria yang akrab disapa Emil ini, relaksasi dimungkinkan setelah suatu wilayah nol peningkatan kasus COVID-19.
Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, juga menyinggung rencana relaksasi bertahap di Banten, Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat, dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat, Selasa (12/5). Keempat daerah, menurutnya, mulai menunjukkan tren penurunan penularan COVID-19.
Tapi klaim itu tidak lantas bisa menjadi dasar pemerintah merelaksasi pembatasan mobilitas di daerah. Menurut Hermawan Saputra, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, pelonggaran masih terlalu prematur untuk saat ini.
“Itu (rencana relaksasi) kan motif ekonomi, jadi tidak ada motif yang lain,” kata Hermawan.
Sejumlah epidemiolog mengkhawatirkan pelonggaran malah berpotensi memunculkan gelombang kedua serangan COVID-19. Ancaman itu sebenarnya sudah diinsyafi pemerintah.
Relaksasi dan ancaman gelombang kedua corona. Ilustrasi: Indra Fauzi/kumparan
Awal Mei lalu, Presiden Jokowi sudah menyinggung ancaman gelombang kedua infeksi corona. Kala itu, Jokowi menyoroti sejumlah klaster potensial, yakni klaster repatriasi pekerja migran, klaster jamaah tabligh di Gowa, klaster pemudik, dan klaster kasus di industri.
Di tingkat global, ancaman gelombang kedua juga menjadi kekhawatiran. Singapura disebut tengah menghadapinya setelah terjadi lonjakan kasus baru dari klaster asrama pekerja migran akhir April lalu.
Di Eropa, menurut situs Politico, kemunculan gelombang kedua terjadi setelah pelonggaran karantina wilayah yang dilakukan di sejumlah negara. Jerman, sebagai contoh, langsung mencetak angka kasus positif dengan tingkat penularan virus di atas satu. Artinya, satu orang yang terinfeksi dapat menularkan ke lebih dari satu orang.
Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperingatkan ancaman munculnya gelombang pada musim dingin. Dampaknya diperkirakan lebih parah dibanding serangan COVID-19 gelombang pertama.
Hermawan Saputra menjelaskan, gelombang kedua biasanya disebabkan tidak serentaknya kejadian COVID-19 di setiap daerah. Alhasil, ada daerah yang kasusnya sudah mulai turun, tapi ada yang justru baru naik.
“Bisa antarprovinsi atau antardaerah. Jadi ketidaksamaan waktu itu menyebabkan yang satu sudah selesai, yang satu baru dimulai,” katanya kepada kumparan.
Skenario Pemulihan Ekonomi RI. Ilustrasi: Nadia Wijaya/kumparan
Faktor utama kemunculan gelombang kedua, lanjutnya, adalah pergerakan orang. Itu sebabnya, Hermawan khawatir bila PSBB dilonggarkan.
Bukan tidak mungkin, relaksasi akan menyebabkan orang yang membawa penyakit bisa masuk ke daerah yang kasusnya sudah mulai turun. Bila muncul klaster baru, angka kasus di daerah yang mulai turun akan kembali meningkat.
“Itu memang yang menjadi tantangan, dari awal saya bahkan sering bicara agar pemerintah lebih disiplin dan serentak dalam penegakan PSBB,” ucap Hermawan.
Jokowi sudah menekankan relaksasi pembatasan harus dilakukan secara berhati-hati. “Jangan sampai kita keliru memutuskan,” kata dia.
Masalahnya, tingkat keterandalan data pemerintah untuk mengevaluasi penularan COVID-19 belum memadai. Hal ini tak lepas dari rendahnya jumlah tes berbasis polymerase chain reaction (PCR) dan tes cepat molekuler (TCM) di Indonesia.
Sebagai pembanding, di Malaysia jumlah tes mencapai 7:1000 orang. Korea Selatan punya perbandingan tes 12:1000 orang. Sementara di Indonesia, rasionya bahkan tidak mencapai 1:1000 orang.
Jumlah tes di Indonesia, berdasarkan data Gugus Tugas COVID-19 per Sabtu (16/5), mencapai 182.818. Angka tersebut dihitung sejak 1 April, setelah Presiden Jokowi memerintahkan jumlah tes diumumkan secara terbuka ke publik.
Bila data tersebut dirata-rata, bisa disimpulkan kapasitas laboratorium di Indonesia hanya mampu melakukan 3.900-an uji spesimen per hari. Padahal, Jokowi meminta pemeriksaan digenjot menjadi 10 ribu per hari.
Rendahnya jumlah tes sudah lama menjadi sorotan. Menurut Iqbal Ridzi Fahdri Elyazar, epidemiolog kolaborator dari Koalisi Laporcovid, semakin banyak tes dilakukan, maka data yang tersedia untuk mengukur kondisi penularan di lapangan akan semakin akurat.
“Kalau Korea Selatan mengklaim bahwa tidak ada lagi kasus baru, saya lebih yakin, karena dia sudah memeriksa lebih banyak orang,” kata lulusan program doktoral Universitas Oxford ini.
Jumlah tes yang perlu dilakukan di Indonesia, kata Iqbal, harus mempertimbangkan dua variabel: asumsi jumlah orang yang terinfeksi dan perkiraan prevalensi COVID-19 dalam suatu populasi.
Angka-angka itu kemudian dimasukkan dalam persamaan statistika. Hasilnya akan menentukan berapa jumlah tes minimal yang perlu dilakukan untuk mendapat data yang benar-benar mencerminkan situasi di lapangan.
Bila diasumsikan 100 ribu orang terinfeksi dengan prevalensi COVID-19 sebesar 1 persen, hitung-hitungan Iqbal, perlu tes minimal kepada 10.051.839 orang.
“Semakin besar perkiraan ini, semakin banyak kita harus periksa,” ujarnya. Begitu pula sebaliknya.
Petugas medis mengambil sampel lendir dari seorang penumpang KRL di Stasiun Bojong Gede, Bogor. Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Tes perlu diperbanyak untuk mengidentifikasi orang yang terinfeksi. Penemuan kasus baru akan memudahkan isolasi pasien untuk menekan penyebaran virus pada populasi.
Terlebih, sekarang ada ancaman penularan dari orang tanpa gejala (OTG). Pelonggaran PSBB dengan jumlah tes yang minim berpeluang memperbesar kemungkinan penularan dari OTG.
“Kita enggak tahu (siapa yang positif). Kalau enggak dites, kita (tak sadar) membawa virus atau tidak. Sehingga tetap terjadi penularan,” kata Pandu Riono, ahli kesehatan Masyarakat UI.
Relaksasi, ia berujar, akan menjelma menjadi gelombang kedua bila keputusan pemerintah tidak menggunakan indikator-indikator kesehatan masyarakat dan epidemiologi. “Indikatornya itu harus diterapkan secara konservatif,” tegas Pandu.
****
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk mengatasi dampak wabah corona.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten