Rencana Perdamaian Dipersoalkan, Induk Usaha 7-Eleven Terancam Pailit

25 Oktober 2017 17:09 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seven Eleven (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Seven Eleven (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
David Tobing selaku kuasa hukum 49 Kreditur yang tergabung dalam Perhimpunan Kreditur Sevel mengajukan surat permohonan penolakan pengesahan perdamaian PT Modern Sevel Indonesia (Dalam PKPU) ke Majelis Hakim Perkara No. 115/Pdt.Sus-PKPU/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dalam suratnya, David menyampaikan beberapa fakta yang tidak wajar dan pelanggaran hukum yang terjadi selama proses PKPU Sementara berlangung.
ADVERTISEMENT
David menyampaikan bahwa Noni Ristawati Gultom, S.H. selaku Pengurus telah melanggar kewajiban hukum yang diatur Pasal 272 dan 276 ayat (1) UU No. 37/2004 yang mewajibkan Pengurus mengumumkan daftar piutang paling lambat 7 hari sebelum rapat pembahasan dan voting rencana perdamian dilaksanakan.
Dalam rapat kreditur yang dilaksanakan pada Senin (23/10), Noni menyampaikan telah mengumumkan daftar tagihan pada Jumat (20/10) atau 3 hari sebelum rapat kreditur dilaksanakan. Namun fakta tersebut berbeda dengan keterangan yang diperoleh Perhimpunan Kreditur dari Kepaniteraan Pengadilan yang menyatakan daftar tagihan baru diumumkan Noni beberapa saat sebelum rapat dilaksanakan.
David pun menduga keras bahwa Debitur melakukan tindakan-tindakan yang tidak jujur dan/atau melakukan persekongkolan dengan satu atau lebih kreditur afiliasi untuk membuat nilai tagihan pihak afiliasi menjadi tidak wajar masuk dalam daftar piutang dengan tujuan agar tercapai nilai tagihan mayoritas.
ADVERTISEMENT
Terjadi lonjakan tagihan pihak afiliasi sebesar kurang lebih Rp 266 miliar dalam jangka waktu 2 (dua) bulan. Tagihan pihak afiliasi tersebut diantara adalah tagihan PT Modern International Tbk sebesar Rp 333,2 miliar dan PT Modern Data Solusi sebesar Rp 25,6 miliar.
Selain itu, David pun menduga keras bahwa Debitur melakukan tindakan-tindakan yang tidak jujur dan/atau melakukan persekongkolan dengan beberapa kreditur untuk mendaftarkan dan/atau menjadikan kreditur-kreditur dengan nilai tagihan sebesar Rp 10 juta dan/atau Rp 15 juta masuk dalam daftar tagihan dengan tujuan untuk memperoleh suara mayoritas dalam pelaksanaan voting rencana perdamamaian.
Dari daftar piutang yang diumumkan, David memperoleh fakta bahwa jumlah kreditur dengan tagihan sebesar Rp 15 juta sebanyak 38 kreditur (31 perorangan dan 7 badan hukum), sementara jumlah kreditur dengan nilai tagihan sebesar Rp 10 juta sebanyak 12 kreditur (10 perorangan dan 2 badan hukum).
ADVERTISEMENT
Merujuk fakta-fakta tersebut, David menilai bahwa pelaksanaan PKPU Sementara PT Modern Sevel Indonesia (Dalam PKPU) telah memenuhi unsur untuk ditolak pengesahannya sebagaimana diatur Pasal 285 ayat (2) huruf c UU No. 37/2004, dimana pasal tersebut melarang terjadinya persekongkolan dan atau tindakan-tindakan tidak jujur dalam pembahasan dan voting rencana perdamaian.
David memohon kepada Majelis Hakim perkara menolak rancana perdamaian PT Modern Sevel Indonesia (Dalam PKPU).
Pasal 285 ayat (2) huruf c menyatakan, “Pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian, apabila: perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih Kreditur, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini.”
ADVERTISEMENT
Kemudian, dengan merujuk pada Pasal 285 ayat (3) UU No. 37/2004, dalam hal penolakan rencana perdamaian dikabulkan, David memohon kepada Majelis Hakim perkara untuk menyatakan PT Modern Sevel Indonesia dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya. Di akhir permohonannya, dalam hal permohonan pernyataan pailit dikabulkan, David memohon agar Majelis Hakim mengangkat kurator dalam proses pailit PT Modern Sevel Indonesia yang masing-masing adalah Uli Ingot Hamonangan Simanungkalit, Willing Learned, dan Verry Sitorus.