Rencana Perdamaian Mandek, Myanmar Tidak Dikeluarkan dari ASEAN

27 Oktober 2022 17:25 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Press briefing Kementerian Luar Negeri RI pada Kamis (27/10). Foto: Jemima Shalimar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Press briefing Kementerian Luar Negeri RI pada Kamis (27/10). Foto: Jemima Shalimar/kumparan
ADVERTISEMENT
Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, Sidharto Suryodipuro, menegaskan bahwa Myanmar tidak akan dikeluarkan dari blok regional tersebut.
ADVERTISEMENT
Pernyataan itu disampaikan Sidharto menanggapi mandeknya rencana perdamaiab di Myanmar. Sidharto merujuk kepada Five Point Consensus (5PCs) yang dirancang ASEAN. Konsensus Lima Poin itu menyerukan itu penghentian kekerasan militer terhadap warga sipil. Sehingga, berbagai pihak yang terlibat bisa membangun dialog konstruktif untuk mengakhiri konflik.
Poin-poinnya turut mencakup penunjukan utusan khusus untuk Myanmar, penyaluran bantuan kemanusiaan oleh ASEAN bagi Myanmar, dan kunjungan utusan khusus ASEAN ke Myanmar.
Kepala junta Myanmar, Min Aung Hlaing, menyepakatinya usai memimpin kudeta pada Februari 2021. Kendati demikian, negara itu tetap menyaksikan eskalasi kekerasan. Pertemuan Khusus Menlu ASEAN (SAFMM) lantas digelar pada Kamis (27/10).
Agenda yang berlangsung di Sekretariat ASEAN di Jakarta tersebut ditujukan membahas situasi keamanan yang memburuk di Myanmar. Para menlu negara anggota memberikan rekomendasi untuk dibahas kemudian hari pada KTT ASEAN di Phnom Penh pada November.
ADVERTISEMENT
Penangguhan keanggotaan atau pengeluaran Myanmar dari ASEAN disebut-sebut menjadi salah satu konsekuensi yang akan diterima Myanmar. Namun, Sidharto menegaskan, ASEAN tidak akan mengusir Myanmar.
"Tidak ada pembahasan mengenai expulsion [pengeluaran] Myanmar. Pembahasan selama ini selalu didasarkan atas premis ASEAN itu tetap sepuluh. Myamar tetap bagian dari ASEAN," jelas Sidharto kepada wartawan saat konferensi pers di Kemlu RI pada Kamis (27/10).
"Dalam semua pertemuan, termasuk yang tadi, itu bendera Myanmar ada, mejanya ada, hanya tidak diisi," tambah dia.
Dirjen Kerja Sama ASEAN RI, Sidharto Suryodipuro. Foto: Facebook/Sidharto Suryodipuro
Sidharto menjelaskan, Myanmar tetap menjadi anggota ASEAN. Permasalahannya adalah menentukan pihak mana yang memiliki legitimasi mewakili Myanmar dalam ASEAN. Untuk mengatasi dilema ini, ASEAN mengundang perwakilan non-politik dari Myanmar.
"Karena dalam birokrasi itu tidak ada legitimasi politik. Biasanya yang dimaksud dalam konteks pertemuan Menlu ASEAN atau KTT, yang dimaksud dengan non-political representative [perwakilan non-politik] adalah birokrat tertinggi di Kemlu-nya," terang Sidharto.
ADVERTISEMENT
Menlu RI, Retno Marsudi, mengungkapkan pandangan serupa. Dia mengatakan, Indonesia menekankan pentingnya komunikasi dengan semua pihak yang berkepentingan, termasuk junta Myanmar. Sebab, komunikasi dengan seluruh pihak ini tercantum jelas dalam 5PCs.
Retno menggarisbawahi, komunikasi semacam itu tidak berarti pengakuan atas pemerintahan junta. Tetapi, dia meyakini bahwa komunikasi yang terjalin dapat menghasilkan dialog damai.
"Engagement [komunikasi] dengan militer tidak ada kaitannya dengan masalah recognition [pengakuan]. Kita yakin, hanya dengan engagement dengan all stakeholders [semua pemangku kepentingan], maka ASEAN akan dapat menjalankan fungsinya untuk memfasilitasi berlangsungnya dialog. Dialog nasional inilah yang diharapkan akan dapat membahas masa depan Myanmar," tegas Retno.
"Masalah Myanmar hanya akan dapat diselesaikan oleh rakyat Myanmar sendiri. Oleh karena itu, dialog di antara mereka menjadi sangat penting artinya. Tugas ASEAN adalah memfasilitasi," sambungnya.
Press briefing Kementerian Luar Negeri RI pada Kamis (27/10). Foto: Jemima Shalimar/kumparan
Retno menyebut, pertemuan para menlu ASEAN bukanlah bentuk intervensi terhadap Myanmar. Pihaknya berniat menegaskan komitmen dan kepedulian terhadap salah satu anggota ASEAN. Myanmar telah menjadi anggota organisasi tersebut sejak 1997.
ADVERTISEMENT
ASEAN mengadopsi kebijakan non-intervensi dalam urusan kedaulatan negara anggotanya. Mengingat kekerasan yang menjulang, beberapa negara kemudian mulai menyerukan agar blok regional itu mengambil tindakan yang lebih tegas terhadap junta Myanmar.
Myanmar berada dalam cengkeraman pemerintahan militer secara paksa sejak militer menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi. Setelah kudeta, junta menahan ribuan aktivis lainnya bersama Suu Kyi. Negara itu lantas jatuh dalam siklus kekerasan.
Militer kerap bentrok dengan kelompok pemberontak sipil yang menentang perebutan kekuasaan. Bentrokan-bentrokan yang menyusul telah menewaskan ribuan nyawa. Junta bahkan mengeksekusi empat aktivis dan politikus pro-demokrasi pada Juli.
Eksekusi itu adalah yang pertama di Myanmar sejak 1989, sehingga memicu kecaman keras dari ASEAN. Dalam serangkaian aksi kekerasan baru, militer menyerang sekolah di wilayah Sagaing pada September dan konser musik di Negara Bagian Kachin pada Oktober.
ADVERTISEMENT
Berbagai alternatif untuk mendorong proses perdamaian lantas terlontar. Selain peninjauan kembali 5PCs, para pengamat menilik pentingnya dialog dengan kelompok yang terjebak dalam pengasingan sejak kudeta yaitu Pemerintah Persatuan Nasional (NUG).