Respons Pemecatan 57 Pegawai KPK: Sindir Jokowi hingga Firli Bahuri

1 Oktober 2021 8:46 WIB
·
waktu baca 18 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penyidik senior KPK Novel Baswedan (kanan) bersama pegawai yang tidak lolos TWK menanggalkan identitas pekerjaannya saat hari terakhir bekerja di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (30/9/2021). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Penyidik senior KPK Novel Baswedan (kanan) bersama pegawai yang tidak lolos TWK menanggalkan identitas pekerjaannya saat hari terakhir bekerja di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (30/9/2021). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berakhir sudah masa bakti dari 57 pegawai KPK yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan atau TWK dalam alih status menjadi ASN. Terhitung per Kamis 30 September 2021, mereka resmi dipecat KPK.
ADVERTISEMENT
Mereka yang masuk daftar dipecat bukan pegawai sembarangan. Dari pejabat struktural hingga penyelidik dan penyidik top KPK yang sedang menangani kasus korupsi besar. Mereka adalah Giri Suprapdiono, Novel Baswedan, Yudi Purnomo, Harun Al Rasyid, dsb.
Meski dipecat KPK, mereka telah mendapat tawaran untuk menjadi ASN di Dittipikor Bareskrim Polri. Namun 57 eks pegawai KPK ini belum menyatakan sikap atas tawaran itu.
Dipecatnya 57 pegawai KPK mendapat resistensi tinggi di masyarakat. Hal ini semakin memperburuk citra KPK di era kepemimpinan Komjen Pol Firli Bahuri Cs.
Banyak masyarakat hingga eks pimpinan KPK tak habis pikir dengan masalah TWK. Kekecewaan semakin menjadi karena Presiden Jokowi tak kunjung menyatakan sikap atau pernyataan terhadap 57 pegawai KPK ini. Padahal, Jokowi sudah mendapat banyak desakan dan masukan dari berbagai elemen masyarakat.
57 Pegawai KPK yang tidak lolos TWK meninggalkan gedung KPK. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan

Tangis Kolega Pecah Iringi Kepergian Novel Baswedan dkk dari KPK

Novel Baswedan dkk tampak berangsur meninggalkan KPK sekitar pukul 13.30 WIB. Mereka mengucapkan perpisahan dengan para rekan kerja yang masih bekerja di KPK. Terlihat, Novel Baswedan, Yudi Purnomo Harahap, Giri Suprapdiono, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Suasana haru terasa ketika mereka keluar meninggalkan Gedung Merah Putih KPK. Sejumlah pegawai KPK berbondong-bondong keluar gedung.
Sembari melambaikan tangan, air mata pun turut menetes sebagai pertanda perpisahan bagi rekan mereka. Sepanjang jalan keluar gedung, sejumlah pegawai KPK lain pun turut memeluk rekan mereka.
57 Pegawai KPK yang tidak lolos TWK saat meninggalkan gedung KPK. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Selesai mengucapkan salam perpisahan dengan rekan kerjanya, mereka beranjak melakukan longmarch dari Gedung Merah Putih KPK menuju gedung KPK lama yang berjarak kurang lebih 500 meter.
Sebelum memulai longmarch, mereka menyempatkan diri untuk berfoto di depan gedung KPK. Secara simbolik, mereka semua pun melepas dan mengumpulkan kartu identitas pegawai mereka saat tengah berfoto.
Seorang pegawai KPK Yudi Purnomo berjalan keluar sambil membawa peralatan pribadi dari meja kerjanya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (16/9/2021). Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO

Yudi Purnomo: Saya Tidak Menyesal Disingkirkan oleh Firli Bahuri Dkk

Sosok Yudi Purnomo Harahap sangat dikenal oleh pegawai-pegawai KPK. Bukan hanya karena dia seorang penyidik dan bagian dari pegawai, tetapi juga merupakan Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK.
ADVERTISEMENT
WP begitu lekat dengan pegawai KPK, sebab wadah inilah yang membantu mengadvokasi masalah kepegawaian di lembaga antirasuah, termasuk menampung aspirasi yang hendak disampaikan kepada pimpinan.
WP KPK dibentuk pada 2006. Sebelum dipimpin Yudi, Ketua WP pernah dijabat oleh sejumlah sosok mulai dari Johan Budi Sapto Pribowo; M Adlinsyah Nasution; Nanang Farid Syam; Faisal; dan Novel Baswedan.
Tak pelak, dipecatnya Yudi meninggalkan kesan kesedihan bagi rekan-rekannya di KPK. Yudi merupakan salah satu dari 56 pegawai KPK yang dipecat per 30 September 2021 oleh Firli Bahuri dkk karena tak lulus TWK yang dinilai banyak pihak bermasalah.
Selain itu, penyidik KPK ini dikenal banyak menangani perkara di lembaga antirasuah. Beberapa di antaranya seperti kasus korupsi pengadaan KTP elektronik, kasus izin ekspor benih lobster, serta kasus suap permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
ADVERTISEMENT
Kemudian kasus yang menjerat mantan Bos Lippo Group Eddy Sindoro, kasus suap lelang jabatan di Pemerintah Kota Tanjungbalai, hingga kasus korupsi di DPRD Sumatera Utara.
Seorang pegawai KPK Yudi Purnomo berjalan keluar sambil membawa peralatan pribadi dari meja kerjanya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (16/9/2021). Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO
kumparan sempat berbincang dengan Yudi di H-2 sebelum pemecatannya. Dia bicara sejumlah hal. Termasuk soal 'penyesalannya' atas sejumlah tugas yang belum rampung setelah 14 tahun mengabdi di KPK.
Ada persiapan menjelang tanggal 30 September?
Ya paling persiapannya tadi membereskan dokumen berkas, kasus-kasus yang kita tangani serah terima kepada anggota satgas yang lain gitu kan, kemudian membersihkan file-file yang ada di laptop, kemudian mengembalikan laptop kita ke kantor beserta dengan id card, begitu.
Ada transfer kasus?
Ya kita namanya nyerahin, bukan transfer kasus, jadi dokumen-dokumen yang masih ada pada kita itu kita serahkan kepada teman begitu kan.
ADVERTISEMENT
Sudah mencari atau ada tawaran kerja di tempat lain?
Sampai saat ini saya belum kepikiran untuk bekerja di mana dan melakukan apa, karena saya masih menunggu tanggal 30 September. Itu pertama. Kedua, saya masih terhitung pegawai KPK jadi tentu masih ada integritas yang harus saya jaga.
Kalau misalnya ketemu orang dan sebagainya itu saya takutkan dia pernah berhubungan dengan kasus di KPK, atau bagaimana gitu, kan selama ini saya menjaga bahwa saya tidak berhubungan dengan orang-orang selain pekerjaan gitu kan, jadi nantilah saya melakukan apa pun itu ketika bukan sebagai pegawai KPK.
Namun yang jelas yang pasti saya akan tetap di jalan pemberantasan korupsi. Di mana pun nanti.
14 tahun bekerja, ada penyesalan bergabung dengan KPK bila akhirnya dipecat seperti ini?
ADVERTISEMENT
Saya merasa akhirnya ini risiko perjuangan ya. Ketika yang menyingkirkan kami adalah Firli Bahuri dkk ya yang saya pikir saya tidak menyesal disingkirkan oleh pimpinan seperti ini. Justru saya menyesal ketika disingkirkan oleh pimpinan-pimpinan sebelumnya misalkan.
Pimpinan sebelumnya kan sudah pasti enggak akan menyingkirkan kami ya. Jadi saya pikir tidak ada rasa penyesalan lah.
Yang mungkin dan pasti saya akan berpisah dengan teman-teman rekan kerja seluruh KPK, sebagai rekan kerja. Kemudian ya apalagi saya ketua WP KPK yang artinya saya tentu memahami pegawai, ya saya yakin kita kehilangan mereka juga teman-teman kehilangan kita.
Kalau misalkan bicara jangka panjang, 1-2 tahun kemudian ada perubahan dan diminta gabung KPK lagi, bersedia?
Yang jelas, tadi bahwa, ketika nanti KPK membutuhkan kita, Indonesia membutuhkan kita, ya kita pasti siap. Sekarang aja kita siap, apalagi nanti. Kalau misalnya KPK berganti pimpinan gitu kan, kami akan tetap akan apa namanya, akan mau menerima panggilan itu, karena kami dulu namanya Indonesia memanggil kan.
ADVERTISEMENT
(Yudi Purnomo bergabung dengan KPK melalu jalur Indonesia Memanggil 2 pada 2007. Perekrutan ini dibuka secara nasional dan hanya segelintir orang saja yang bisa lulus sebagai pegawai KPK).
Mantan pegawai KPK, Rieswin Rachwell. Foto: Dok. Pribadi

Rieswin: Saya Tidak Menyesal Jadi Penyelidik KPK Meski Akhirnya Disingkirkan

ADVERTISEMENT
Menjadi penyelidik KPK mungkin tidak pernah terpikir sebelumnya oleh Rieswin Rachwell. Latar belakang pendidikannya pun tidak berkorelasi dengan tugasnya sebagai investigator.
Rieswin merupakan lulusan Teknik Sipil Universitas Tarumanegara. Ia bergabung KPK pada 5 Maret 2017 melalui jalur Indonesia Memanggil (IM) 12.
Mengikuti proses seleksi sejak September 2016, Rieswin berhasil menyisihkan sekitar 83 ribu orang yang mendaftar melalui proses seleksi itu. Ia menjadi bagian dari 270 orang yang dinyatakan lolos dari tes tersebut, 60 orang di antaranya ditempatkan sebagai Penyelidik KPK.
ADVERTISEMENT
Kini, ia menjadi bagian dari 57 pegawai KPK yang dipecat per 30 September 2021. Ia dinilai tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
"Kalau aku sih life must go on ya, jadi tentu saja aku akan tetap berkarya sebagai profesional. Di samping itu advokasi pasti akan terus berjalan dan aku akan terus bergerak bersama teman-teman 57 pegawai KPK dan masyarakat sipil antikorupsi," ungkap Rieswin kepada kumparan.
Mantan pegawai KPK, Rieswin Rachwell. Foto: Dok. Pribadi
Meski kini sudah resmi dipecat, Rieswin mengaku masih akan tetap berjuang bersama kawan-kawan pegawai yang diberhentikan KPK. Ia pun sedikit menyesalkan Presiden Jokowi yang tidak mengambil sikap apa-apa dalam polemik TWK ini.
"Menurutku seharusnya presiden bersikap ya, apa pun itu. Bagaimanapun presiden Joko Widodo merestui dan menyetujui revisi UU KPK yang membuat KPK berada di rumpun kekuasaan eksekutif di mana presiden adalah pimpinan tertingginya. Bukan langit-langit atau lampu seperti dikatakan Pak Nurul Ghufron," papar dia.
ADVERTISEMENT
Terlebih, kata Rieswin, ada temuan Ombudsman dan Komnas HAM yang sudah diserahkan pada Presiden untuk ditindaklanjuti.
Rieswin mungkin merupakan anomali di KPK. Ia berasal dari keluarga Tionghoa dengan agama Buddha.
Namun, hal itu tidak menjadi penghambat baginya. Lingkungan kerja di KPK pun tidak membeda-bedakan hal tersebut. Bahkan, ia disebut-sebut merupakan anak didik langsung sang Raja OTT KPK, Harun Al Rasyid.
Hampir lima tahun bekerja di KPK, ia pernah terlibat dalam sejumlah OTT. Salah satunya ialah rangkaian OTT mantan Ketum PPP Romahurmuziy.
Rieswin mengaku sebenarnya masih banyak pekerjaan di KPK yang belum sempat diselesaikannya. Meski tidak menyebut perkaranya, menurutnya kasus tersebut rumit dan cukup besar melibatkan pejabat negara.
Kendati telah disingkirkan dengan cara yang tak lumrah, Rieswin mengaku tidak ada penyesalan sedikit pun dengan keputusannya bergabung dengan KPK. Ia bahkan siap bergabung kembali dengan KPK bila memang ada panggilan untuk itu.
Kondisi meja pegawai KPK, Ita Khoiriyah, yang akan dipecat per 30 September 2021. Foto: twitter.com/tatakhoiriyah

Ita Khoiriyah: Kerja di KPK Bukan Sekadar Penghasilan, Ini Warisan Gus Dur

Masih ada sedikit penyesalan bagi Ita Khoiriyah lantaran tidak bisa ia lakukan selama bekerja di KPK. Penyesalan itu ialah ia belum sempat masuk menjadi pengurus Wadah Pegawai KPK.
ADVERTISEMENT
Namun, penyesalan itu harus tetap disimpannya. Tata --sapaan Ita-- harus rela diberhentikan dari KPK pada 30 September 2021. Ia termasuk dalam 57 pegawai KPK yang tidak lulus TWK.
"Penyesalan saya satu-satunya adalah tidak sempat menjadi pengurus Wadah Pegawai KPK," kata Ita kepada kumparan.
Pada 2018 lalu, kepengurusan WP membuka keanggotaan yang belakangan memilih Yudi Purnomo sebagai ketua. Ketika itu, Tata tidak ikut mendaftar.
Namun kini, WP KPK menjadi dihapus karena adanya perubahan UU KPK. Hal itulah yang sangat disesalkan Tata.
"Saya belum ikutan. Tanpa alasan saja. Ternyata tahun 2019 UU KPK direvisi, di mana pegawai KPK menjadi ASN. Karena revisi tersebut lah, fungsi wadah pegawai KPK yang sebelumnya tercantum dalam PP 63 Tahun 2005, tidak ada lagi. Satu-satunya organisasi kepegawaian ASN tinggal Korpri," ungkap Tata.
Kondisi meja pegawai KPK, Ita Khoiriyah, yang akan dipecat per 30 September 2021. Foto: twitter.com/tatakhoiriyah
Ita menjadi bagian dari 57 pegawai KPK yang berjuang memprotes TWK. Berbagai jalur ditempuhnya, salah satunya menggugat keterbukaan hasil TWK ke Komisi Informasi Pusat.
ADVERTISEMENT
"Kalau masalah ganjalan, masih sama pertanyaan kenapa kami TMS belum ada jawabannya sampai sekarang. Karena itu jelas mengganggu akal sehat kami. Harapannya, ada tindakan korektif yang dilakukan atas insiden TWK ini. Karena sudah menjadi perhatian publik, semoga tidak menjadi preseden ke depan terjadinya pembiaran terhadap kebijakan dan hukum yang telah diputuskan," tegas Tata.
Sebab, ia meyakini ada masalah dalam TWK. Hal itu pun ditegaskan dalam temuan Ombudsman dan Komnas HAM.
Ia mengaku kecewa dengan Jokowi yang sama sekali tidak bersikap menyelamatkan para pegawai KPK.
Meski resmi dipecat, hal itu tidak menghentikan perjuangan Tata. Salah satu yang sedang dipertimbangkan ialah menggugat ke PTUN.
"Kami juga berdiskusi dengan beberapa pihak terkait persiapan PTUN," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Perjuangan itu tetap ditempuhnya karena Tata menilai mengabdi di KPK bukan hanya sekadar mencari penghasilan. Sosok mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang membentuk prinsip Tata.
Rina Emilia istri Penyidik KPK Novel Baswedan pada saat aksi Kamisan ke-581 di depan Istana Negara. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan

Istri Novel Baswedan: Saya Menjemput Suami dengan Bangga

Di balik perjuangan 57 pegawai KPK mencari keadilan, ada sosok keluarga yang mendampingi. Tak terkecuali yang dilakukan oleh Rina Emilda, istri dari penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
Rina terlihat setia mendampingi sang suami ketika menghadiri acara perpisahan di gedung KPK. Tak hanya itu, Rina pun terus terlihat di samping Novel saat ia berjalan dari gedung merah putih KPK menuju gedung KPK lama di kawasan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.
Membuka orasi dari 57 pegawai yang dipecat, Rina menekankan bahwa tak ada penyesalan sedikit pun dengan apa yang dialami suaminya. Lebih dari itu, Rina justru menjemput Novel dengan bangga.
ADVERTISEMENT
"Saya di sini bukan untuk menjemput suami saya, saya mendampingi suami saya sejak menjadi polisi hingga ke KPK hingga hari ini 30 September ini. Saya menjemput dengan bangga karena tak ada kode etik yang dilanggar," Rina.
Rina meyakini ada kejanggalan dalam pelaksanaan TWK pegawai KPK. Ia bahkan menganggap TWK sebagai alat untuk menyingkirkan suaminya dan pegawai KPK lainnya.
"TWK yang sudah jelas dilanggar dan ada kesengajaan untuk menyingkirkan suami saya. Dan saya akan terus mendukung perjuangan di luar gedung KPK ini," kata Rina.
Penyidik KPK, Harun Al Rasyid. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Raja OTT Turun Takhta Usai 16 Tahun di KPK: Tak Ada Penyesalan, Ini Kebanggaan

Sang Raja OTT KPK dipaksa turun takhta gara-gara Tes Wawasan Kebangsaan. Pengabdiannya selama 16 tahun di KPK harus berhenti hanya karena alih status menjadi ASN.
ADVERTISEMENT
Namanya ialah Harun Al Rasyid. Predikat Raja OTT tidak sembarangan disandangnya. Pada 2018, KPK memecahkan jumlah terbanyak OTT sepanjang lembaga itu berdiri. Dari 30 OTT pada tahun 2018 itu, 12 di antaranya dilakukan oleh satgas penyelidik yang dipimpin oleh Harun.
Status Raja OTT pun diberikan Firli Bahuri yang kala itu menjabat Deputi Penindakan KPK. Sosok itu pula yang kini memecat Harun dengan dalih TWK.
Menginjak tanggal 30 September 2021, Harun telah resmi 'berpisah' dengan KPK. kumparan sempat mewawancarai Harun pada H-3 pemecatannya.
Ia berbicara soal Pimpinan yang menggebu menyingkirkan pegawai hingga rasa geregetan lantaran banyak OTT yang harusnya masih bisa ia lakukan.
Penyidik KPK, Harun Al Rasyid. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Berikut beberapa penggalan wawancara tersebut:
Menjelang tanggal 30 September, ada persiapan yang anda lakukan?
ADVERTISEMENT
Sebenarnya enggak ada hal khusus ya yang perlu kami persiapkan ya. Karena kan memang itu sudah jauh-jauh hari kita sudah sama kawan-kawan sudah melihat bahwa pimpinan itu sudah pasti bersikeras mendorong kita agar tetap keluar dari KPK.
Nah terkait dengan persiapan-persiapan yang dilakukan oleh kawan-kawan, itu tentu kawan-kawan sudah masing-masing menyiapkan diri. Terutama kan terkait masalah penyelesaian tugas-tugas ya, terus kemudian beberapa barang-barang inventaris kantor itu sudah teman-teman siapkan semua lah.
Artinya kawan-kawan sudah prepare, termasuk saya, sambil beres-beres meja kantor dan sebagainya. Termasuk beberapa kawan-kawan yang kasatgas, itu juga koordinasi dengan teman-teman yang lain yang di bawah satgasnya. Terkait dengan tugas-tugas yang tentu tugas-tugas itu harus diselesaikan dan dijalankan ya oleh kawan-kawan masih ada di KPK gitu.
ADVERTISEMENT
Sampai tanggal 30 September ini, setelah belasan tahun bekerja, meninggalkan KPK apakah ada ganjalan atau harapan yang belum bisa diwujudkan di KPK?
Iya, kalau untuk harapan untuk kami bisa tetap ada di KPK itu sangat besar ya. Karena biar bagaimana pun 16 tahun ya sudah, saya melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Dalam waktu 1 sampai 2 bulan saya sudah merindukan kembali ke sana ya, bisa bergabung dengan kawan-kawan. Apalagi kalau saya mencermati beberapa kasus ya yang kebetulan saya pegang, jadi agak geregetan juga gitu.
(Sebelum diberhentikan pada 30 September, 56 pegawai KPK sudah menerima SK 652 yang berisi penyerahan tugas dan tanggung jawab ke atasannya masing-masing. Sehingga mereka tidak bisa bertugas sebagaimana biasanya)
ADVERTISEMENT
Mengapa geregetan?
Ya karena sebenarnya banyak potensi kasus untuk bisa dilakukan OTT gitu, informan juga masih sering berikan input ya, terkait dengan kasus-kasus yang ada itu, dan temen-temen juga kita masih lakukan zoom kegiatan rapat pembahasan diskusi terkait kasus yang ada.
Saya tentu membayangkan, seandainya saya di dalam KPK gitu loh, bisa enggak mas bayangkan? karena SK pemecatan sudah di depan mata, SK 652 nonaktif juga masih belum dicabut, itu yang membuat kami geregetan gitu, kaya, yah seandainya ada di dalam.
Setelah di KPK, ada rencana kerja di tempat lain?
Saya sudah ada beberapa universitas ya, kembali mengajar. Ada kegiatan bisnis juga, yang sudah meski pun kecil tapi ya cukuplah untuk dapur mengepul. Yang terpenting saya kembali ke pesantren lah.
ADVERTISEMENT
(Harun merupakan pengasuh di sebuah pesantren. Harun pun dikenal aktif menulis. Dia pernah membuat karya berupa buku berjudul 'Fikih Korupsi Analisis Politik Uang di Indonesia dalam Perspektif Maqashid al-Syariah'. Buku itu merupakan hasil disertasi Harun saat menempuh S3 di bidang ilmu syariah di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
Mengajar di universitas apa saja?
Nah itu, saya juga takut diganjal lah. Tapi ada beberapa, saya sedang menimbang mana yang paling ini (tepat) lah, dan waktunya bisa gitu. Karena saya juga sudah diajak oleh kawan untuk gabung di kantor konsultan hukum ya.
Setelah 16 tahun abang gabung KPK, saat ini tahu-tahu dipecat, dipaksakan, ada penyesalan gabung KPK?
Bukan penyesalan ya, 16 tahun itu sebuah kebanggaan ya, bagi saya dan keluarga ya tentu. Kalau lah ada penyesalan ya nyesel aja kenapa pimpinannya kaya gini, perjalannya 2 tahun pimpinan yang sekarang memimpin KPK justru KPK yang sudah kita jaga, dari hal-hal yang kurang baik lah, ternyata pimpinan yang sekarang justru banyak kemudian hal-hal yang merugikan lembaga ya, citra lembaga ya.
ADVERTISEMENT
Kalau ada penyesalan ya itu yang saya sesalkan. Tapi saya sangat yakin ya bahwa Allah itu pasti tetap menjaga. Karena KPK ini lembaga yang suci, lembaga yang kiprahnya ditunggu masyarakat saya yakin tuhan itu menjaga.
Kalau nanti ada perubahan sistematis dan diminta bergabung kembali ke KPK, bersedia?
Meskipun sekarang dalam kondisi seperti ini, berubah, saya diminta kembali ke KPK saya akan terima. Kan itu jadi harapan kita kembali, kalau Presiden bilang semuanya 57 pegawai itu kembali ke KPK, langsung kami terima.
Penyidik nonaktif KPK Novel Baswedan mengikuti aksi anti korupsi di Jakarta, Rabu (15/9/2021). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO

Novel Baswedan dkk Dirikan IM57+ Institute

ADVERTISEMENT
Novel Baswedan dan 56 pegawai KPK yang tak lolos assesment TWK mendeklarasikan pendirian Indonesia Memanggil 57 plus Institute (IM57+ Institute).
Koordinator Pelaksana IM57, M Praswad Nugraha mengatakan pendirian IM57 itu dimaksudkan sebagai wadah bagi para pegawai yang diberhentikan secara melawan hukum oleh KPK melalui proses TWK yang prosesnya dinilai melanggar HAM dan malaadministrasi dalam penyelenggaraannya.
ADVERTISEMENT
Institusi ini diharapkan Praswad juga dapat menjadi sarana bagi 57 alumni KPK itu untuk berkontribusi dalam pemberantasan korupsi melalui kerja-kerja pengawalan, kajian, strategi, dan pendidikan anti korupsi.
"Dengan ini mendirikan IM 57 plus institute yang kemudian ke depannya Kita akan menjadi satu Wadah untuk bersatu berkolaborasi melanjutkan kerja-kerja pemberantasan Korupsi dengan cara kita tentu saja bukan dengan cara para pengkhianat, bukan dengan cara para manipulator kebenaran, bukan juga dengan cara orang-orang menggunakan Pancasila untuk mengkhianati bangsanya sendiri," ujar Praswad.
Penyidik senior KPK Novel Baswedan menanggalkan identitas pekerjaannya saat hari terakhir bekerja di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (30/9/2021). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Menurut Praswad, IM57 akan bergerak bersama koalisi masyarakat sipil dalam melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Hal ini, kata Praswad, dilakukan rekan-rekan KPK sebagai bentuk terima kasih kepada seluruh masyarakat atas dukungan mereka terhadap kerja pemberantasan yang selama ini dilakukan di KPK.
ADVERTISEMENT
"Untuk kemudian selanjutnya Kita akan bersatu dengan teman-teman koalisi masyarakat sipil menggunakan segala resource segala keahlian segala keilmuan yang sudah kami dapatkan. Kami berhutang kepada rakyat Indonesia. Hari ini saya sampaikan bukan rakyat berhutang kepada kami tapi kami yang berhutang kepada rakyat Indonesia untuk mengembalikan seluruh ilmu, seluruh pengetahuan, seluruh skill yang kami dapatkan selama 15 Tahun 20 Tahun di KPK," ucap mantan penyidik kasus bansos ini.
Meski 57 pegawai TWK telah resmi diberhentikan KPK, ia memastikan kerja pemberantasan tak akan pernah berhenti mereka lakukan di luar KPK.
M57 Institute memiliki Executive Board yang terdiri dari Hery Muryanto (eks Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi), Sujanarko (eks Dir PJKAKI), Novel Baswedan, Giri Suprapdiono (eks Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti Korupsi) serta Chandra SR (Eks Kabiro SDM).
ADVERTISEMENT
Selain Executive Board, terdapat Investigation Board (terdiri dari para penyidik dan penyelidik senior), Law and Strategic Research Board (beranggotakan ahli hukum dan peneliti senior), serta Education and Training Board (terdiri atas jajaran ahli pendidikan dan training anti korupsi).
Infografik Terima Kasih Pahlawan Antikorupsi. Foto: kumparan

Pukat UGM Minta Jokowi Ambil Sikap Tegas soal Nasib Novel Baswedan dkk

Jokowi hingga kini masih belum bersuara terkait pemecatan 57 pegawai KPK tak lolos TWK.
Kendati demikian, jubir Jokowi, Fadjroel Rachman, menekankan, Jokowi sudah beberapa kali mengeluarkan pernyataan akan menghormati kesopanan di dalam ketatanegaraan Indonesia.
"Jadi Beliau menghormati apa yang sudah diputuskan oleh MK dan apa yang diputuskan oleh MA tentang persoalan yang terjadi di KPK. Karena presiden juga mengetahui bahwa KPK itu adalah lembaga independen," kata Fadjroel.
ADVERTISEMENT
Meski KPK berada di dalam rumpun eksekutif, seperti Komnas HAM, KPU, mereka merupakan lembaga otonom dan berhak melaksanakan aktivitas sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh UU.
Selain itu, 57 pegawai KPK ini sudah mendapat tawaran dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menjadi ASN di Dittipikor Bareskrim Polri.
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers usai tanam Mangrove di Bengkalis, Riau, Selasa (28/9). Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden
Menyikapi ini, Pukat UGM mendesak Jokowi segera mengambil langkah tegas.
"Pukat memberikan saran kepada Presiden untuk mengambil sikap yang tegas saja begitu," kata Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman.
Zaenur menjelaskan, sesuai dengan putusan MA nomor 26 tahun 2021, Presiden memiliki kewenangan menindaklanjuti TWK. Bahkan pimpinan KPK tidak punya kewenangan tersebut.
"Artinya Presiden lah yang berwenang menurut putusan MA maupun menurut PP manajemen PNS itu sehingga memang seharusnya Presiden dapat untuk menjalankan kewajiban sesuai Undang-undang yakni melaksanakan rekomendasi Ombudsman dan juga Komnas HAM dengan melanjutkan alih status pegawai KPK menjadi ASN," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Dibanding mengambil sikap yang setengah-setengah, Pukat UGM menyarankan Jokowi tetap mengangkat pegawai tak lulus TWK itu menjadi ASN.
"Setelah itu jika Presiden memandang mereka perlu ditingkatkan wawasan kebangsaannya ya silakan saja begitu," ucap Zaenur.
Presiden Joko Widodo saat melayat ke rumah duka mendiang Sabam Sirait, Jakarta, Kamis (30/9). Foto: Youtube/Sekretariat Presiden
Akan tetapi, jika memang Jokowi setuju dengan perekrutan pegawai yang dipecat KPK menjadi ASN Polri, maka artinya TWK memang bermasalah.
"Presiden artinya juga mengafirmasi, mengkonfirmasi temuan Ombudsman dan Komnas HAM itu. Sehingga lebih baik Presiden mengambil langkah tegas untuk mengalihkanstatuskan pegawai KPK tersebut menjadi ASN KPK," ucap Zaenur.
"Dan ingat bahwa keputusan pemberhentian pegawai KPK oleh pimpinan KPK itu dilakukan tanpa adanya dasar kewenangan karena putusan MA hanya memberikan kewenangan itu kepada Presiden sehingga menurut saya putusan pemberhentian oleh pimpinan KPK itu batal demi hukum ya karena dilakukan tanpa adanya kewenangan," pungkasnya.
Mantan pimpinan KPK Saut Situmorang (kanan) menyampaikan orasi disaksikan penyidik nonaktif KPK Novel Baswedan (kiri) saat mengikuti aksi anti korupsi di Jakarta, Rabu (15/9/2021). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO

Saut Situmorang: Bila Jokowi Bilang TWK Bukan Urusan Saya, Lantas Urusanmu Apa?

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Mantan pimpinan KPK Saut Situmorang menyayangkan sikap acuh Presiden Jokowi terhadap nasib 57 pegawai KPK yang akhirnya resmi diberhentikan karena tak lulus TWK.
Saut menilai ketidakpastian sikap Jokowi terhadap nasib 57 pegawai KPK sebelum pemecatan terjadi, lebih buruk dari segala bentuk ketidakpastian yang saat ini ada. Ia pun menyayangkan Jokowi yang tak kunjung mengambil sikap atas permasalahan itu.
"Sebagaimana ketidakpastian yang ada di luar saat ini. Ada ketidakpastian yang terjadi di Republik ini, tapi sayangnya presidennya hanya diam dan bilang itu bukan urusan saya," ujar Saut.
Padahal, menurut dia, isu korupsi dan penanganan di bidang hukum merupakan salah satu bagian dari kerja seorang presiden. Jika memang hal itu tak dipikirkan Jokowi, Saut pun mempertanyakan apa sebenarnya hal yang jadi prioritasnya saat ini.
ADVERTISEMENT
"Pemberantasan korupsi itu dipegang oleh presiden. Jadi kalau dia bilang ini bukan urusan saya, lantas urusanmu apa? Kan begitu," ucap Saut.
Oleh karena itu, dia mengatakan suatu kebohongan besar jika ada seseorang atau pejabat publik yang mengatakan bahwa KPK saat ini sedang baik-baik saja.