COVER LIPSUS SETAN GUNDUL

Retak Koalisi Prabowo-SBY

13 Mei 2019 12:15 WIB
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prabowo dan SBY. Foto: Fanny Kusumawardhani & Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo dan SBY. Foto: Fanny Kusumawardhani & Indra Fauzi/kumparan
Prabowo Subianto gelisah. Komunikasinya dengan Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mendadak berjarak. Sang capres tak tahu apa yang terjadi di balik pertemuan putra mahkota SBY, Agus Harimurti Yudhoyono, dengan Presiden Jokowi di Istana Negara, Kamis (2/5). Demokrat pun tak kunjung memberi penjelasan meski berada dalam koalisinya.
Jangankan penjelasan soal hasil pertemuan, Demokrat juga tak memberi sinyal lebih dulu kepada rekan-rekan koalisinya bahwa bakal ada pertemuan antara AHY dan Jokowi—rival Prabowo pada pemilu presiden itu.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, Riza Patria, rencana kopi darat AHY dan Jokowi tak pernah disinggung sedikit pun oleh Demokrat di lingkaran elite Badan Pemenangan Prabowo-Sandiaga.
“Enggak (dibicarakan). Kami memahami, tapi kan kami (mestinya) komunikasi,” kata Riza ketika ditemui di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/5).
Meski Riza kemudian menampik jika diamnya SBY terhadap Prabowo dianggap mengganggu keharmonisan koalisi, sumber kumparan lain di internal BPN mengungkap hal sebaliknya. Menurut dia, Prabowo menyimpan tanda tanya besar kenapa SBY dan Demokrat diam kepadanya soal pertemuan AHY-Jokowi.
Kegelisahan itu dilontarkan Prabowo kepada beberapa rekan koalisi di kediamannya, Jalan Kertanegara 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Prabowo, menurut sejumlah anggota BPN, bertanya-tanya ada apa gerangan dengan SBY.
Presiden Jokowi bersalaman dengan AHY. Foto: Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden/Rusman
Pertemuan AHY dan Jokowi membuat Prabowo batal terbang ke Singapura untuk menemui SBY. Semula, Gerindra menerima jadwal dari Demokrat bahwa pertemuan SBY-Prabowo diagendakan Kamis (2/5). Namun mendadak Demokrat meminta kunjungan Prabowo diundur ke Sabtu (4/5). Dan ternyata Kamis itu AHY bertemu Jokowi.
Prabowo sontak terkejut ketika informasi penundaan pertemuannya dengan SBY didahului kabar pertemuan AHY dan Jokowi. Berita itu terasa menyakitkan bagi kubu Prabowo.
Elite koalisi Prabowo, menurut dua sumber kumparan di BPN, lantas mendesak capres 02 itu agar menunjukkan sikap terhadap “ulah” SBY dengan membatalkan sekalian agenda pertemuan di Singapura.
Prabowo pun batal terbang ke Singapura menemui SBY, dan malah melawat ke Aceh.
Agus Harimurti Yudhoyono usai bertemu Jokowi di Istana Merdeka. Foto: ANTARA/Wahyu Putro A
Demokrat membantah telah menomorduakan Prabowo dan mendahulukan pertemuan AHY dan Jokowi. Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan, AHY semata-mata memenuhi undangan seorang presiden, bukannya mendekat ke Jokowi bersama Demokrat.
“Tidak ada perencanaan dari Partai Demokrat. Itu orisinil inisiatif Presiden Jokowi, mengundang AHY sebagai warga negara,” ujar Hinca, Sabtu (11/5).
Walau begitu, sumber kumparan menyebut inisiatif pertemuan bukan datang dari Jokowi. Menurut sumber itu, Jokowi mendapat informasi AHY ingin bertemu, sehingga sang Presiden menerimanya.
Ucapan itu diiyakan sumber lain di lingkungan Istana. Menurutnya, AHY bertemu Jokowi lewat perantara yang membawa pesan SBY. Perantara yang tak ia sebut namanya ini menemui Menko Maritim Luhut Panjaitan usai pencoblosan untuk berkomunikasi.
Penjajakan tersebut disambut baik, kemudian ditindaklanjuti oleh Mensesneg Pratikno yang mengatur pertemuan AHY dan Jokowi. Benar saja, usai pertemuan di Istana, AHY mengaku dikontak Pratikno tiga hari sebelum bertemu Jokowi.
“Saya bisa memenuhi undangan Bapak Presiden Jokowi untuk berbincang-bincang di Istana Merdeka atas bantuan Pak Pratik juga melalui kami. Tiga hari yang lalu (beliau) menanyakan apakah saya berada di Jakarta pada Kamis ini, dan insyaallah saya ada di Jakarta,” jelas AHY.
Terlepas dari itu, Wasekjen Demokrat Renanda Bachtar menegaskan partainya tak mengubah jadwal pertemuan SBY dan Prabowo di Singapura. Sejak awal, lawatan Prabowo ke Singapura memang dijadwalkan hari Sabtu atau dua hari setelah pertemuan AHY dan Jokowi. Namun, menurut Renanda, orang-orang di sekeliling Prabowo terlanjur bias terhadap Demokrat.
Ia lalu membandingkan sikap koalisi Prabowo yang tidak menegur Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang juga telah berbicara dengan Jokowi, terlepas dari jabatan Zulkifli selaku Ketua MPR.
Jokowi berbincang dengan Zulkifli Hasan saat buka puasa bersama pimpinan lembaga tinggi negara. Foto: ANTARA/Wahyu Putro A
“Pak Zul dua kali ketemu (Jokowi) di Istana kenapa nggak dipermasalahkan? Sama PAN nggak ada masalah, kenapa Demokrat yang selalu disorot?” kata Renanda, Minggu (12/5).
Demokrat, menurut Hinca, masih teguh pada komitmen berada di barisan pendukung Prabowo sampai rekapitulasi KPU berakhir 22 Mei nanti. Senada, Ketua Divisi Komunikasi Publik Demokrat yang ditugasi menjadi Juru Bicara BPN, Imelda Sari, juga mengatakan kader partainya masih terus bekerja keras bersama koalisi Prabowo.
“Saya masih membantu BPN dan berkomunikasi dengan teman-teman koalisi. Pak Sekjen (Demokrat) masih bolak-balik berkomunikasi dengan para sekjen koalisi. Beberapa teman seperti Ferdinand Hutahaean juga ikut mengawal penghitungan KPU,” kata Imelda di Media Center Prabowo-Sandi yang terletak dekat kediaman Prabowo.
Apa boleh buat, komunikasi berjarak antara Demokrat dan Prabowo tak dapat menangkal prasangka dari kedua kubu. Mereka saling ngrasani.
Sementara Demokrat menganggap kubu Prabowo pilih kasih dengan hanya menyorotinya namun tak menyoal manuver PAN, koalisi Prabowo merasa Demokrat tak menjalankan komitmen sebagai partai pendukung karena justru “mengirim” AHY bertemu Jokowi saat mereka tengah sibuk mengawal penghitungan suara.
SBY saat mengajak Jokowi tur di Istana pada awal masa kepemimpinan Jokowi, 19 Oktober 2014. Foto: REUTERS/Adi Weda/Pool
Saking tersinggungnya, seorang petinggi BPN memandang SBY sedang “shopping” alias melihat-lihat situasi, dan terkesan menyepelekan kawan koalisi.
Politisi Gerindra yang juga salah satu Jubir BPN, Andre Rosiade, menuding Demokrat mengumbar sikap berlebihan. Mestinya, kata dia, Demokrat tak perlu melempar sinyal yang bisa ditafsirkan macam-macam. Apalagi di tengah hiruk pikuk penghitungan suara.
“Saya rasa tidak elok kayak gitu, karena apa-apa bisa dibicarakan di dalam (koalisi),” kata Andre, Kamis (9/5).
Apa Mau Demokrat? Infografik: Basith Subastian/kumparan
Ketakakuran hubungan Demokrat dengan koalisi Prabowo bukan rahasia lagi. SBY, misalnya, menegur BPN terkait kampanye akbar Prabowo di Gelora Bung Karno Jakarta pada Minggu (7/4) yang dianggapnya tak lazim dan kental dengan nuansa politik identitas.
“Menurut saya, apa yang akan dilakukan dalam kampanye akbar di GBK tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif,” pesan SBY.
Sehari sebelumnya, ketika disodori jadwal acara kampanye akbar oleh BPN, SBY telah memberi saran agar kampanye merangkul semua golongan. Namun menurut sumber Demokrat, partainya merasa elite-elite BPN tak mengindahkan saran SBY.
Selanjutnya, dalam debat kelima Pilpres, Demokrat dibuat tersinggung oleh pernyataan Prabowo yang terkesan menyindir SBY. Prabowo ketika itu menyebut salah orientasi pembangunan Indonesia sebagai kesalahan presiden sebelum Jokowi.
“Saya tidak menyalahkan Bapak. Ini kesalahan besar. Kesalahan besar presiden-presiden sebelum Bapak,” kata Prabowo kepada Jokowi dalam debat itu, Minggu (13/4).
Tak pelak, politisi Demokrat menjadi panas karena Prabowo secara tak langsung jadi menyinggung SBY sebagai presiden yang menjabat persis sebelum Jokowi, alih-alih menyerang Jokowi sebagai lawan debat.
Prabowo Subianto menyapa para pendukungnya di kediamannya, Jl. Kertanegara, Jakarta Selatan. Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Demokrat kembali menunjukkan ketaksepahaman ketika Prabowo merespons hasil hitung cepat Pilpres 2019. Saat itu Prabowo mengumumkan kemenangan dengan mengutip survei internal pada angka 62 persen versi exit poll. Kemenangan itu lantas disambut riuh oleh pendukung Prabowo, yang sebagian di antaranya kemudian mewacanakan gerakan people power untuk mengawal penghitungan pilpres.
Namun, SBY kala itu meminta seluruh kader Demokrat untuk mundur dulu dari BPN karena menganggap situasi menjurus ke arah krisis.
“Arahan Ketum, untuk sementara waktu, seluruh pimpinan partai maupun kader PD yang ‘berdinas’ di BPN agar sekarang juga kembali ke WP41 untuk konsolidasi. Demikian untuk dilaksanakan,” tulis SBY dalam surat internal untuk partainya. WP41 ialah kependekan dari Wisma Proklamasi Nomor 41 yang merupakan sebutan untuk Kantor DPP Partai Demokrat.
Kritik atas langkah Prabowo berlanjut kala politisi Demokrat Andi Arief, via cuitannya di Twitter, menuduh terdapat sekelompok orang yang membisikkan informasi sesat kepada Prabowo sehingga ia mendeklarasikan kemenangan secara prematur. Andi mengibaratkan para pembisik itu dengan perumpamaan cukup kasar: Setan Gundul.
Demokrat menolak disebut hendak menelikung Prabowo. Lingkaran SBY menekankan, Demokrat konsekuen dengan keputusan politiknya. Mereka justru menuding Prabowo adalah pihak yang ingkar janji.
Seorang sumber Demokrat lantas mengungkit batalnya AHY sebagai cawapres Prabowo yang menyisakan sakit hati di kubunya. Padahal ketika itu, ujarnya, Prabowo sendiri yang berusaha meyakinkan SBY untuk merestui AHY menjadi wakilnya. Namun pada menit akhir, justru Sandiaga yang dipilih Prabowo meski namanya tak pernah masuk dalam perbincangan koalisi.
Prabowo dan AHY di Kertanegara, Kamis (14/3). Foto: Dok. Bintang Radityo
Batalnya paket Prabowo-AHY di Pilpres 2019 pun sesungguhnya hanya catatan kecil dari relasi politik antara Prabowo dan SBY yang kawan seangkatan di Akabri 1970.
Demokrat, menurut sumber yang sama, telah lama kecewa dengan Prabowo ketika Gerindra memutuskan untuk membatalkan dukungan untuk Fauzi Bowo di Pilgub DKI Jakarta 2012. Saat itu Gerindra memilih berkoalisi dengan PDIP untuk mengusung Jokowi, dan menyodorkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok—kadernya yang kemudian membelot—guna mendampingi Jokowi.
Lima tahun kemudian pada Pilgub DKI Jakarta 2017, Demokrat dan Gerindra kembali berpisah jalan setelah—lagi-lagi—nyaris bekerja sama. Gerindra mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno, sedangkan Demokrat memajukan AHY-Sylviana Murni.
Maka, meski SBY dan Prabowo memiliki kedekatan sebagai sesama militer, realitas politik nyatanya justru menjadi jurang di antara keduanya.
“Kerja sama politik Pak Prabowo dan Pak SBY diwarnai berbagai dinamika dan cerita,” ujar Renanda.
Terlebih belakangan, usai pencoblosan 17 April, interaksi Demokrat dengan kubu Jokowi malah tampak makin harmonis. Pasca-pemilu, elite politik koalisi Jokowi deras berkunjung ke Singapura untuk menjenguk Ani Yudhoyono—dan otomatis bertemu SBY.
Sebut saja Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum NasDem Surya Paloh, dan Ketua Umum PKPI Diaz Hendropriyono. Mereka bergantian menemui SBY sambil membesuk Ani Yudhoyono. Pun begitu, belum satu pun pimpinan BPN sempat ke sana.
Presiden Jokowi didampingi Ibu Negara Iriana saat menjenguk Ani Yudhoyono di Singapura. Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden
Menurut politisi Demokrat Andi Mallarangeng, kedatangan para elite kubu Jokowi bukan upaya untuk mendekati Demokrat. “Hanya bicara isu kenegaraan,” kata Andi yang ikut menemani SBY bertemu Airlangga, ketika dihubungi kumparan.
Semantara soal kunjungan Surya Paloh yang terkesan diam-diam, menurut Renanda “Aneh juga kalau nggak jenguk. Apakah membicarakan situasi terkini, (ya) sangat mungkin, dengan versi masing-masing.”
Meski demikian, lancarnya komunikasi antara SBY dan kubu Jokowi tak menjamin langkah SBY menyeberang ke Istana bisa berjalan mulus. Sebab, dulu pun Demokrat nyaris bergabung dengan Jokowi andai tak kandas karena problem relasi antara SBY dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Jokowi dan Habibie di antara SBY dan Megawati. Foto: ANTARA/Puspa Perwitasari
Kerenggangan Mega dan SBY pula yang membuat Gerindra yakin SBY akan tetap seirama dengan Prabowo, bahkan setelah hasil Pemilu 2019 ditetapkan KPU. “Justru Demokrat tuh cocoknya sama Prabowo,” kata Riza Patria.
Demokrat sendiri enggan berspekulasi. Ia meminta pengertian dari koalisi Prabowo agar diberi independensi dalam memutuskan masa depan politiknya usai rangkaian pemilu usai per 22 Mei 2019.
Partai pimpinan SBY itu yakin punya daya tawar ke mana pun mereka akan melangkah. Dengan jumlah kursi di DPR yang mereka perkirakan sekitar 57-59, opsi menjadi oposisi murni rupanya tak masuk kamus Demokrat.
“Apakah Demokrat akan menjadi partai yang berkontribusi di pemerintahan mendatang? Kalau tidak, di tengah sebagai penyeimbang yang kritis terhadap pemerintah. Itu nanti kami pertimbangkan setelah 22 Mei,” kata Renanda.
Ke mana Demokrat akan berlabuh amat mungkin ditentukan dari hasil diskusi berhari-hari di Singapura sekarang hingga nanti.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten