Reynhard Sinaga dan Stigma terhadap Laki-laki yang Diperkosa

7 Januari 2020 19:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Reynhard. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Reynhard. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seluruh korban pemerkosaan Reynhard Sinaga adalah laki-laki. Dalam empat persidangan di pengadilan Manchester, Inggris, 48 korban mengaku dipaksa berhubungan seksual secara brutal. Mereka dibius dan tak sadarkan diri saat peristiwa jahanam itu berlangsung.
ADVERTISEMENT
Empat persidangan itu digelar sejak Juni 2018 sampai pembacaan putusan pada 6 Januari 2020. Hakim Suzanne Goddard memvonis Reynhard dengan hukuman penjara seumur hidup. Ia terbukti memperkosa 48 laki-laki selama 2015-2017. Sementara itu, Reynhard terus menyangkal segala tuduhan. Ia mengaku, hubungan badan itu dilakukan atas dasar suka sama suka.
Reynhard Sinaga. Foto: Instagram
Jumlah korban sebetulnya lebih banyak daripada yang hadir di persidangan. Kepolisian Manchester menduga total korban mencapai 190 orang. Meski begitu, polisi menyebut ada kemungkinan bertambahnya jumlah korban. Polisi masih menunggu laporan dari orang-orang yang menjadi korban Reynhard.
Dilema Mengaku Diperkosa
Di Inggris, kasus perkosaan terhadap laki-laki menembus angka yang memprihatinkan. Badan Pusat Statistik Inggris mencatat, ada 12.130 kasus perkosaan yang menimpa laki-laki sepanjang 2016-2017. Jumlah itu naik tiga kali lipat bila dibandingkan tahun 2006-2007 yang jumlahnya 3.819 kasus. Catatan tersebut merupakan rekapitulasi laporan korban di kantor kepolisian.
Reynhard Sinaga. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Di sisi lain, jumlah yang tak melaporkan jauh lebih banyak lagi. Greater London Authority Conservatives (GLAC) menyebut, 95 persen laki-laki yang diperkosa di Inggris enggan melaporkannya ke polisi. Temuan itu dihasilkan dari survei yang dilakukan pada tahun 2015.
ADVERTISEMENT
Kriminolog Newcastle University, Aliraza Javaid, menyebut ada stigma yang kandung melekat di masyarakat. Laki-laki dianggap merupakan sosok yang tak mungkin diperkosa. Oleh sebab itu, laki-laki yang melaporkan kasus perkosaan memilih untuk tidak melaporkannya ke polisi. Mereka khawatir akan dipertanyakan sisi maskulinitasnya.
Uraian Javaid itu ada dalam jurnal yang diterbitkan International Journal of Sexual Health (2017). Jurnal berjudul ‘In The Shadows: Making Sense of Gay Male Rape Victims’ Silence, Suffering,and Invisibility’ itu membicarakan budaya diam laki-laki usai diperkosa.
Ilustrasi pria. Foto: pixabay
Dalam jurnal itu, Javaid mengelaborasi sejumlah temuan ilmiah terhadap perkosaan laki-laki di Inggris. Misalnya, ia mengutip temuan Groth dan Birnbaum (1979) yang menyebut mayoritas laki--laki korban dari pemerkosaan adalah heteroseksual.
ADVERTISEMENT
Menurut Javaid, heteroseksual memungkinkan terciptanya legitimasi struktur gender hierarkis. Maskulinitas dianggap lebih tinggi dari feminitas. Oleh karenanya, laki-laki yang ‘normal’ senantiasa menganggap dirinya lebih superior ketimbang perempuan. Logika patriarki yang kemudian terbangun.
Ilustrasi perempuan dan belenggu patriarki Foto: Herun Ricky/kumparan
Persoalannya, kata Javaid, hal yang berbeda justru terjadi saat si laki--laki heteroseksual diperkosa oleh laki-laki gay. Kala mimpi buruk itu terjadi, konstruksi hegemonik tentang maskulinitas menjadi hancur.
“Mengaku bahwa seseorang tidak dapat membela diri dianggap berlawanan dengan maskulinitas laki--laki,” tulis Javaid.
Menurut Javaid, hal yang dirasakan oleh laki-laki yang diperkosa adalah kehampaan. Mereka, kata Javaid, akan merasa dirinya begitu hina. Laki-laki yang diperkosa akan menahan rasa sakitnya dalam kesunyian. Mereka memilih diam lantaran mereka berpikir masyarakat tidak dapat menerima mereka jika bersuara.
ADVERTISEMENT
“Konsepsi pemerkosaan laki--laki dibentuk oleh stereotip dan mitos. Mendorong korban pemerkosaan tetap diam,” tulis Javis.
Laki-laki Harus Bicara
Secara kultural, laki-laki kandung meyakini sisi maskulinitasnya. Oleh sebab itu, hal yang diperlukan adalah mengubah pola pikir di masyarakat. Javaid menyodorkan konstruksi gender dalam konteks pemerkosaan laki-laki
Ilustrasi laki-laki sedang menyendiri Foto: Getty Images
Ini jelas tak mudah. Butuh dukungan masyarakat luas untuk dapat menerima bahwa laki-laki pun dapat menjadi korban perkosaan.
“Alangkah berbahayanya bila polisi dan masyarakat melihat trauma yang diderita korban perkosaan laki-laki kurang serius,” tulis Javaid.
Terlepas dari semua itu, korban pun harus berani bersuara. Dalam kasus Reynhard, misalnya, korban berhak untuk meminta identitasnya dilindungi. Tak ada media yang bahkan menyiarkan nama 48 korban yang menjadi saksi di pengadilan.
ADVERTISEMENT
Anda tak pernah benar-benar sendirian. Percayalah, ada banyak pihak yang siap mengadvokasi penderitaan yang Anda rasakan.