Reza Indragiri Bicara #PercumaLaporPolisi & Kompleksitas Kasus Kejahatan Seksual

10 Oktober 2021 11:01 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pemerkosaan Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemerkosaan Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Polemik kasus dugaan perkosaan 3 anak di Luwu Timur, Sulsel, oleh ayah kandung terus bergulir. Kini, muncul tagar #PercumaLaporPolisi sebagai bentuk protes atas penghentian kasus itu.
ADVERTISEMENT
Melihat polemik ini, Ahli psikologi forensik dari UI, Reza Indragiri menilai kejahatan seksual merupakan kasus yang sangat kompleks. Paling tidak ini dilihat dari data pengungkapan kasus di Amerika Serikat.
Dari keseluruhan kejadian kejahatan secara umum, yang dilaporkan hanya sekitar 50 persen. Dari 50 persen itu, yang dilanjutkan dengan penahanan hanya 11 persen. Dari 11 persen itu, yang berlanjut ke persidangan cuma 2 persen.
Spesifik pada kasus kejahatan seksual, yang dilaporkan adalah 25-40 persen. Laporan kelirunya cuma 2-10 persen. Lalu, jumlah kasus kejahatan seksual yang bisa ditangani hingga tuntas ternyata turun dari 60-an persen (tahun 1964) ke 30-an persen (2017).
“Angka-angka (data kejahatan) tersebut menunjukkan bahwa kejahatan seksual memang mengandung kompleksitas tinggi,” kata Reza lewat keterangannya, Minggu (10/10).
ADVERTISEMENT
Menurut Reza, penyebab rendahnya pengungkapan kasus lantaran jarak waktu kejadian dan aduan ke kepolisian cenderung lama. Hal ini mengakibatkan barang bukti hilang atau pelaku melarikan diri.
Bahkan membuat proses penyelidikan jadi terkendala sehingga polisi mengambil langkah penghentian kasus seperti kasus dugaan pemerkosaan 3 anak di Luwu Timur.
“Penyebab dasarnya adalah karena jarak waktu yang jauh antara peristiwa dan pelaporan ke polisi. Rentang waktu yang panjang itu membuat, antara lain, pelaku kabur, bukti lenyap, saksi lupa, korban trauma berkepanjangan. Akibatnya, kerja penyelidikan dan penyidikan terkendala serius,” ujar Reza.
Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Lebih lanjut, kata Reza, penghentian kasus bukan akhir dari segalanya. Masih ada kesempatan membuka kembali kasus tersebut bila ditemukan bukti baru.
Reza juga menyemangati korban dan mendorong kepolisian untuk memberi laporan berkala atas penyelidikan kasus seperti yang terjadi di Luwu Timur.
ADVERTISEMENT
“Walau demikian, SP3 bukan berarti penghentian penanganan selama-lamanya. Pada alinea terakhir SP3 biasanya ada kalimat bahwa penanganan bisa diaktifkan kembali sewaktu-waktu diketemukan bukti dan saksi yang memadai,” tandasnya.
====
Ikuti survei kumparan dan menangi e-voucher senilai total Rp 3 juta. Isi surveinya sekarang di kum.pr/surveinews