RI Berpotensi Terimbas Konflik LCS, Modernisasi Alutsista Mendesak

25 Juni 2021 18:26 WIB
·
waktu baca 2 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Defile Alutsista TNI saat HUT Ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta TImur, Sabtu (5/10/2019). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Defile Alutsista TNI saat HUT Ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta TImur, Sabtu (5/10/2019). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Eskalasi konflik antara Amerika Serikat (AS) dan China di Laut China Selatan (LCS) kian meluas. Sejumlah pihak melihat Indonesia berpeluang menjadi kawasan pertempuran (battleground) yang akan diapit oleh dua kepentingan tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, Indonesia tidak siap menghadapinya karena alutsista yang dimiliki tua dan usang.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Rizal Darma Putra menilai, kemungkinan Indonesia akan menerima imbas dari panasnya AS dan China di LCS.
"Kemungkinan terjadi spill over atau konflik di beberapa negara di Laut China Selatan dan kemudian bisa merembes ke wilayah Indonesia," katanya dalam webinar "Urgensi Modernisasi TNI", Kamis (24/6).
KRI Usman Harun-359 memasuki perairan Kupang ketika akan sandar di Dermaga Lantamal VII Kupang usai melaksanakan Operasi Indonesia Maritime Envoy-19B. Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Rizal menilai, Indonesia mau tidak mau akan terseret dalam konflik besar itu. Dan kondisi itu harus diantisipasi dari sekarang. Tak hanya dengan kesiapan prajurit yang mumpuni tapi juga dengan alutsista yang modern.
"Indonesia harus melibatkan diri atas terjadinya konflik tersebut, apakah dengan ikut terlibat dalam konflik atau dengan operasi militer untuk membendung rembesan konflik tersebut ke wilayah NKRI," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Rizal, Indonesia mendesak untuk memiliki kekuatan pertahanan yang memadai dan kesiapan bertempur dengan memodernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Personel TNI Angkatan Udara memandu pesawat Sukhoi dari Skadron Udara 11 sesaat setelah mendarat di Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) Pattimura, Ambon, Maluku, Senin (23/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/izaac mulyawan
Ia pun tidak sepakat dengan pernyataan pihak-pihak yang menyebut modernisasi alutsista tidak urgen karena saat ini masa damai dan anggapan bahwa tidak akan ada perang dalam waktu yang lama.
"Itu asumsi yang keliru," tegasnya.
"Bilamana tidak ada modernisasi alutsista tentu kita tidak memiliki kesiapan tempur. Kesiapan tempur TNI akan merosot. Tanpa adanya suatu kesiapan tempur yang akan terjadi adalah pelanggaran kedaulatan dan penjarahan sumber daya," tuturnya.
Senada dengan itu, pakar militer CSIS, Evan Laksmana, mengatakan, kawasan Indo-Pasifik, termasuk konflik di Laut Cina Selatan, bakal semakin rumit ke depannya dan Indonesia berpeluang terkena imbasnya.
ADVERTISEMENT
"Akan semakin banyak hotspot dan regional flash point dari yang sifatnya konvensional maupun non-konvensional," ujarnya.
Kemenhan serahkan helikopter Apache. Foto: Antara/R. Rekotomo
Di tengah situasi yang akan semakin memanas tersebut, ungkapnya, wilayah laut dan udara Indonesia menjadi kunci dan sangat penting karena merupakan jalur yang paling mudah untuk dicapai. Ia mencontohkan ketika terjadi perang antara AS dengan China dan melibatkan Australia sebagai proxy.
"Jalur tercepat untuk menurunkan kekuatan militer masing-masing adalah melalui wilayah laut dan udara Indonesia," ucapnya.
KRI Nagapasa-403. Foto: Zabur Karuru/ANTARA FOTO
Evan mendorong adanya cetak biru (blueprint) alutsista jangka panjang pasca program Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF) berakhir pada 2024. Sebab, kebijakan MEF tidak dirancang untuk masa depan.
"MEF tidak didesain untuk hadapi tantangan di masa depan, tapi lebih ke kebutuhan dasar (minimum). Sekarang harus mulai bergeser, yang terbesar adalah kawasan Indo-Pasifik," tandasnya.
ADVERTISEMENT