RI Pernah Buat Pedoman Kurva Epidemi Penyakit Menular, Kenapa Corona Belum Ada?

15 Mei 2020 14:19 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Merawat Penderita Corona di Rumah Foto: shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Merawat Penderita Corona di Rumah Foto: shutterstock
ADVERTISEMENT
Peneliti Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) menyebut, hingga saat ini Indonesia belum punya standar kurva epidemi COVID-19. Padahal fungsi kurva ini sangat vital untuk penanggulangan pandemi.
ADVERTISEMENT
“Masalah utamanya, sudah 68 hari setelah kasus pertama COVID-19 diumumkan, Indonesia belum menampilkan kurva epidemi COVID-19 yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi,” tulis para peneliti, dikutip dari The Conversation. Para peneliti itu terdiri dari Iqbal Elyazar, Karina Dian Lestari, dan Rosa Nora Lina, dari EOCRU, serta Lenny Lia Ekawati dari University of Oxford.
Tanpa adanya kurva epidemiologis standar untuk melacak pertumbuhan kasus, klaim-klaim penurunan kasus yang disebut beberapa pejabat RI menjadi meragukan.
Dalam laporan peneliti, dipaparkan pula bahwa sampai 8 Mei 2020, pemerintah Indonesia hanya menampilkan kurva harian kasus COVID-19. Pada kurva tersebut, sumbu Y menjelaskan tentang jumlah kasus konfirmasi tambahan, sedangkan sumbu X adalah tanggal pelaporan ke publik.
ADVERTISEMENT
Kurva harian kasus COVID-19 tersebut, lanjut peneliti, bukanlah kurva epidemi COVID-19. Angka jumlah kasus tambahan harian yang dilaporkan tidak bisa menjelaskan laju infeksi harian pada hari sebelumnya. Dengan kata lain, turunnya angka kasus harian tidak lantas bisa disimpulkan sebagai turunnya laju infeksi harian.
Lantas, mengapa Indonesia sampai saat ini belum punya kurva tersebut?
Dalam catatan sejarah, Indonesia pernah beberapa kali menghadapi pandemi dan epidemi. Pada tahun 2011 lalu, Kemenkes mengeluarkan Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan.
Di sana, Kemenkes pun telah memberikan penjelasan detail soal kurva epidemi seperti yang disebutkan Eijkman.
Kemenkes menyebut, sebuah kurva epidemi dibuat terutama untuk hal-hal berikut ini:
ADVERTISEMENT
a. Menentukan apakah sumber infeksi/diperkirakan bersifat 'common source’ atau 'propagated source' atau keduanya.
b. Mengidentifikasi waktu paparan yang diperkirakan dari kasus-kasus terhadap sumber infeksi. 
Untuk menggambarkan kurva epidemi harus diperoleh tanggal mulai sakit dari kasus-kasus yang tercatat. Untuk penyakit-penyakit tertentu yang mempunyai masa inkubasi atau masa laten yang sangat pendek, jam mulai sakit harus diperoleh untuk setiap kasus.
Selanjutnya, pilihlah interval waktu yang akan digunakan untuk membuat grafik dari kasus-kasus tersebut. Interval waktu yang sesuai, yang dapat bervariasi mulai kurang dari satu jam hingga bulanan atau lebih lagi, dipilih berdasarkan masa inkubasi atau masa laten penyakit dan lamanya periode KLB.
Pada suatu KLB penyakit yang mempunyai masa inkubasi dalam hitungan jam (seperti pada penyakit-penyakit yang ditularkan melalui makanan) dengan kasus-kasus yang terbatas dalam hitungan hari, lebih baik digunakan interval satu atau beberapa jam.
ADVERTISEMENT
"Sedangkan pada penyakit-penyakit yang mempunyai masa inkubasi dalam hitungan hari, interval harian lebih cocok. Interval yang sesuai untuk menggambarkan grafik kasus adalah penting untuk penafsiran kurva epidemi nanti," demikian penjelasan Kemenkes dalam halaman 13 buku tersebut.
Kesalahan yang paling penting yang dapat dibuat di sini ialah pemilihan interval yang terlalu panjang, seperti dalam hal menggambarkan grafik kasus-kasus keracunan bakteri stafilokokus menurut minggu atau bulan timbulnya gejala.
Masih dikutip dari Kemenkes, interval yang demikian akan menyembunyikan perbedaan-perbedaan kecil dalam distribusi temporal. Termasuk gelombang kasus sekunder yang ditimbulkan oleh penularan orang ke orang, sehingga tidak memungkinkan penggunaan grafiknya untuk kedua tujuan utamanya.
Suatu pedoman yang berguna dalam memilih interval untuk menggambarkan grafik kasus ialah memilih interval sebesar seperdelapan atau seperempat masa inkubasi penyakit yang bersangkutan.
Ilustrasi positif terkena virus corona. Foto: Shutter Stock
Seringkali ada baiknya membuat beberapa kurva epidemi, masing-masing berdasarkan interval yang berbeda, untuk mendapatkan grafik yang paling baik memperagakan data.  
ADVERTISEMENT
Di buku itu juga ditampilkan beberapa contoh kurva epidemi penyakit menular. Salah satunya penyakit hepatitis pada tahun 2003. Di sana juga terdapat contoh kurva per daerah, seperti di bawah ini.
Kurva epidemi KLB Hepatitis. Foto: Dok. Kemenkes
"Dengan mengetahui masa inkubasi rata-rata, maksimum dan minimum dari suatu penyakit yang tengah diselidiki dan tanggal-tanggal mulai sakit dari kasus-kasus, waktu paparan yang paling mungkin dari kasus-kasus terhadap sumber dapat diketahui," tulis Kemenkes.
Sementara itu, pakar epidemiologi Universitas Airlangga (UNAIR), Dr. Windhu Purnomo, dr., MS., meragukan Indonesia tidak mempunyai atau belum membuat sebuah kurva epidemiologis untuk kasus COVID-19. Ada kemungkinan kurva tersebut telah ada, tetapi tidak diungkap ke publik.
“Tidak salah juga bahwa beberapa pihak khawatir terkait ini karena sebenarnya yang dapat dijadikan acuan terhadap kondisi epidemiologi pandemi adalah kurva epidemiologis tersebut, bukan kurva jumlah kasus positif. Dengan tidak mengumumkan kurva tersebut, seolah-olah kita tidak memiliki itu, padahal aslinya punya,” ujar Windhu yang juga merupakan anggota Gugus 4 Pelaksanaan PSBB Pemprov Jawa Timur, seperti dikutip laman situs news.unair.ac.id.
ADVERTISEMENT
kumparan telah mencoba mengkonfirmasi hal ini kepada Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan COVID-19 Wiku Adisasmito. Namun hingga pukul 13.50 WIB belum ada jawaban.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! Bantu donasi atasi dampak corona.