Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
‘Fortune favors the bold’. Merupakan sebuah pepatah kuno dari dramawan asal Romawi bernama Terence (190-159 SM), yang artinya ‘nasib baik berpihak pada yang berani’. Inilah pepatah yang tepat untuk menggambarkan Rini Sugianto. Seorang animator asal Lampung yang kiprahnya sudah tidak diragukan lagi di dunia film animasi internasional.
Film-film besar seperti ‘Ready Player One’, ‘The Avengers’, ‘Ironman 3’, ‘The Adventures of Tintin’, ‘Tenage Mutant Ninja Turtle’ dan masih banyak lagi, merupakan karya yang di dalamnya ada campur tangan Rini.
Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB ) jurusan Arsitektur ini pertama kali ‘berkenalan’ dengan dunia animasi saat dirinya sedang mempersiapkan tugas akhir kuliah, yang mengharuskan untuk mempelajari komputer, untuk membuat sketsa 3D pada tahun 2000.
“Waktu itu masih baru sekali tahun 2000. Terus jadi tertarik. Akhirnya setelah mulai belajar gitu, malah lebih tertarik ke arah komputernya daripada ke arsitekturnya,” ungkap Rini sambil tertawa saat berbincang dengan kumparan secara virtual pada Rabu (9/2).
Ketertarikannya itu membuat dirinya mempelajari ilmu tiga dimensi secara mandiri. Karena pada saat itu, kata Rini, belum ada sekolah animasi di Indonesia. Industri animasi juga masih belum ada saat itu.
“Industrinya sendiri tuh di Indonesia masih belum ada. Tapi di luar itu sudah mulai. Karena waktu itu lagi zamannya Lion King segala macem itu sudah mulai keluar kan. Kaya Pixar juga baru zaman-zamannya pake 3D semua. Kaya Star Wars, Lord of The Rings lagi mulai naik daun di 3D animasi,” terangnya.
Hal tersebut mengalihkan pandangannya ke luar Indonesia. Ia memutuskan untuk bersekolah di bidang animasi tiga dimensi di Academy of Art University San Francisco. Bukan tanpa alasan, Rini mengungkapkan saat itu studio-studio ternama yang memproduksi film animasi tiga dimensi berbasis di San Francisco. Kota yang menjadi pusat ilmu animasi.
Video Game
Masih di semester akhir, Rini sudah memulai karier pertamanya pada dunia gim video. Sebuah studio bernama Stormfront, menjadi tempat pertama ia berlabuh dengan status sebagai magang.
Rini bercerita tentang momen yang sempat membuat dirinya pusing. Ia sebagai siswa internasional saat itu mempunyai waktu yang cukup terbatas. Ia ‘kejar-kejaran’ dengan tenggat waktu pendaftaran visa kerja.
“Jadi harus dapet kerjaan sebelum bulan April (bulan pendaftaran aplikasi visa). Jadi kalau lewat dari situ ya ga bisa apply lagi, mesti tunggu tahun depannya gitu kan. Dan kalau kita visanya sudah habis, kita harus keluar dulu gitu loh. Lebih susah lagi,” ungkapnya dengan ekspresif.
“Jadi pas ngambil kelas terakhir gurunya bilang, 'oh ini ada posisi magang di company ini, siapa yang mau apply?' Terus aku langsung mau. Pokoknya apply dulu aja gitu biar dapet experience gitu kan. Fokusnya waktu itu pokoknya sudah dapetin kerjaan dulu dan dapetin visa kerja dulu. Mau di mana aja terserah deh, yang penting itu dulu. Nanti baru bisa build career,” kenang Rini.
Setelah masa magangnya selesai, dirinya direkrut full-time selama satu tahun.
Projek Film Pertama
Film perdana yang dikerjakan oleh Rini ialah film The Adventures of Tintin. Berawal dari sebuah panggilan dari teman kuliahnya, siapa sangka? Ternyata ini menjadi langkah terbesar dalam karier Rini, yang juga menjadi penentu nasib dirinya di masa depan.
“Dari situ di tahun 2010 ada teman yang sudah masuk di Weta Digital (studio animasi papan atas milik sutradara terkenal Peter Jackson) di New Zealand. Dia sudah masuk duluan di sana, terus dia contact aku dan dia bilang 'kita ada open, mau nyoba ga?' Terus aku jawab 'sure'. Aku ga pernah ke New Zealand. Terus aku tanya 'projeknya apa?' ‘Oh ini untuk projek film Tintin’. Wah aku tau ceritanya, I grew up with it's story. Karena komiknya terkenal banget di Indonesia,” terang wanita kelahiran 3 Januari 1980 itu.
Namun Rini mengakui, dirinya tidak berharap lebih saat itu. Rini sadar bahwa Weta Digital merupakan perusahaan yang sangat besar dan dirinya pun belum pernah terlibat dalam produksi film. Tapi ia tetap mengirimkan aplikasi dan portofolionya ke sana. Setelah melakukan wawancara, dalam waktu sekitar tiga bulan, Rini pun diterima.
Tentu dengan hal ini, Rini harus pindah dan terbang jauh ke New Zealand, meninggalkan segalanya yang dirasa sudah ‘mapan’ di AS.
“It’s a very scary step. Karena saat itu di AS sudah dapet full-time job, dan waktu itu dari perusahaannya sendiri sudah mulai bicara tentang rumah permanen buat aku.”
“Risky nya kalau aku pindah ke New Zealand, berarti aku meninggalkan itu semua kan. Rumah, visa yang didapat setelah kerja keras selama 5 tahun, dan lainnya. So it’s a huge huge step. Waktu itu juga kontrak cuma setahun di Weta. Terus setelah itu bakal bagaimana? Saya ga tau,” jelasnya.
Beberapa film besar lainnya yang Rini turut ambil bagian saat di Weta Studio itu seperti 'The Avengers', 'Iron Man 3', 'Hunger Games: Catching Fire' hingga 'The Hobbit: An Unexpected Adventure'.
Rini menjelaskan ritme kerja dari seorang animator film. Dirinya menjelaskan, memang banyak orang berpandangan bekerja di dalam industri film dan entertainment sangatlah indah. Seperti gaji tinggi, gengsi yang besar, dan lain-lain. Namun di balik itu semua, terdapat pekerjaan yang menumpuk serta tenggat waktu yang ketat.
“Deadline kita ketat dan kerjaannya tuh banyak sekali. Perkiraan awal kalo di 3D animasi gampang harusnya bikinnya. Tapi engga. It takes a lot of time and takes a lot of people untuk bikin sebuah film gitu,” ungkap Rini.
“Kerjaannya itu juga bukan kerja kaya jam 9 sampai jam 5. Kalau lagi engga lembur ya biasanya 40 jam per minggu, jadi sekitar 8 jam per hari. Tapi kalau pas lagi deadline, itu bisa 12 jam, 14 jam, bisa 10 jam. Jadi tergantung berapa lama lemburnya gitu. Kalau engga parah ya mungkin hanya seminggu dua minggu. Tapi kalau lagi parah bisa sampai tiga bulan enam bulan kerja seperti itu, karena ngejar deadline kan,” jelasnya.
Rini juga membeberkan secara detail proses kreativitas yang ia lakukan selama berkarier dalam dunia animasi. Ia mengungkapkan, salah satu unsur yang sangat penting ialah gerakan. Seorang animator perlu untuk mempelajari berbagai macam gerakan.
“Jadi kita di animasi kan pelajari gerakan. It's all about motion. Karena kita animator yang bikin karakter itu untuk hidup kan. Jadi kita pelajari banyak sekali gerakan atau motion. Pelajari orang gerak seperti apa, binatang, dan apa pun yang bergerak gitu,” terangnya.
“Aku yang sudah kurang lebih 17 tahun di animasi, itu sudah jadi kaya budaya gitu. Di otak selalu ada. Jadi terkadang kalau kita jalan di luar gitu, kalau liat orang yang bergerak secara menarik, kadang kita langsung mikir ‘wah ini menarik juga pergerakannya untuk dibuat’ gitu loh. Kalau dibikin animasi keren nih. So it's every where for us. Untuk animator inspirasinya tuh di mana saja,” jelas Rini.
Rini juga menjelaskan tugas inti dari seorang animator. Yakni untuk membuat para penonton percaya bahwa sebuah film animasi itu ‘hidup’.
“Kita tidak bikin sebuah karakter untuk jadi sangat realistik, karena kalau memang mau bikin yang benar-benar realistik kaya manusia, ya action aja engga usah animasi,”.
Rini juga mempunyai pandangan tersendiri terhadap dunia animasi di Indonesia. Menurutnya, kualitas film Indonesia yang masih jauh dibandingkan dengan AS disebabkan oleh beberapa hal; teknologinya yang masih berkembang dan kemampuan serta pengalaman animatornya yang kebanyakan masih rendah.
Namun, jika dibandingkan saat dirinya meninggalkan Indonesia, ia mengakui saat ini perkembangannya jauh sekali lebih maju.
“Kalau kita bandingkan 2002 dengan sekarang gitu ya, jauh sekali perkembangannya. Sekarang di Indonesia sudah ada film animasi sendiri, layar lebar lagi. It's not easy. It's not easy to make a full feature film. Itu butuh banyak kerjaan dan banyak uang,”
“Dan sekarang banyak kampus dan studio di Indonesia yang mengerjakan TV Series untuk luar. Seperti Disney, Disney+, itu sudah banyak. Jadi itu artinya kualitas untuk TV Series sudah ada di Indonesia. Sudah bisa bersaing dengan yang lain. Makanya banyak dari studio AS masukin kerjaan ke Indonesia. Itu Sudah jadi bukti kan,” tegas Rini.
Rini mengungkapkan alasan mengapa industri animasi di Indonesia masih tertinggal. Ia mengatakan karena pekerjaan animasi itu sangat membosankan. Dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk sebuah animasi bisa dibuat.
“Alasannya mungkin karena kerjaan animasi itu membosankan banget. Ngerjainnya udah lama dan hasilnya juga sedikit gitu kan. Jadi kebanyakan orang Indonesia lihatnya mereka engga mau untuk fokus terus ke animasi, karena menghabiskan waktu gitu. Lama belajarnya. Jadi makanya animator dari Indonesia masih sedikit sekali yang bagus,” terangnya.
Melihat fenomena itu, Rini memberikan pesan bagi para animator pemula, khususnya yang berada di Indonesia. Terus berlatih dan konsisten dalam mengerjakan menjadi kunci utama menurut Rini.
“You have to practice. Just keep doing it and keep doing it again. Teruslah berkembang gitu, improving. Jangan kaya sudah bisa sedikit terus berhenti. Always keep improving, always learning,” tegas Rini.
The Hobbit
Projek film terbesar dalam karier Rini ialah film trilogi The Hobbit. Dirinya mengungkapkan ada tekanan tersendiri dalam mengerjakan tiga film tersebut, dikarenakan banyak sekali yang sudah menantikan film tersebut di seluruh dunia.
“Kalau Tintin kan dia besar sekali di Asia, tapi di AS itu kurang laku. Kalo Hobbit berbeda. Karena Hobbit itu ditunggu-tunggu sekali oleh semua orang. Itu huge huge project. Jadi tekanannya juga tinggi. Membutuhkan uang yang besar juga, film yang sangat mahal memang,"
"Dari sisi animasi 3D nya pun juga sangat sangat besar. Kompleks sekali. Banyak creature nya, banyak sekali unsur 3D nya. So it was a lot of pressure,” imbuh Rini.
Karier di 'Dunia Baru'
Saat ini, Rini sudah tidak lagi terfokus pada dunia animasi film. Dirinya tergabung sebagai Animation Supervisor dalam perusahaan start-up di bidang teknologi bernama Genies. Perusahaan yang memproduksi sebuah avatar untuk dunia digital. Sebuah perusahaan yang masuk ke industri Metaverse.
Ia tertarik dalam industri ini. Dirinya juga mengakui bahwa sekarang memang sudah mulai zamannya Metaverse. Dirinya ingin menjadi bagian dari perkembangan dunia itu.
“Jadi aku mikir ‘wah ini tantangan baru’, pengalaman baru, industri baru gitu kan. Karena di film sudah sekitar 15 tahun ya. So why not? Lets try it. Dan di sini pengalaman yang sangat menarik, karena waktu itu kita benar-benar bangun dari awal, set departemennya, hiring, menyusun timeline, work flow, dan lain-lain,”
“Karena kan sekarang sudah mulai zamannya Metaverse ya. Aku sangat tertarik di situ. Kalau kita berhasil bikin Metaverse seperti di film Ready Player One gitu misalnya, itu akan sangat menakjubkan sekali. Jadi aku ingin liat hal itu terjadi. Dan aku mau jadi bagian itu. Jadi itu sih pikiran aku saat ini,” jelas Rini.
Outdoor Activities
Tak hanya animasi, Rini juga banyak menghabiskan waktu dalam hidupnya untuk melakukan kegiatan outdoor seperti climbing, tracking, skiing, dan lain-lain. Dirinya mengeklaim bahwa itu adalah bagian penting dalam hidupnya.
“Lebih ke arah refresh pikiran sih. Karena apalagi kalau kerja di animasi kan kita duduk, depan komputer, lama sekali, mikir terus, dan engga interaksi dengan orang lain. Tapi kalau udah di luar, aku sama sekali engga mikir apa pun soal animasi. Sama sekali engga,"
"Jadinya lebih simpel gitu. Just stay alive. Jadi kita juga engga burn out. Karena kita butuh keseimbangan kan, antara kerja dan aktivitas di luar. Apalagi kalau kita mau stay di industri untuk waktu yang lama, ya kita harus seimbangkan kehidupan,” imbuhnya.
Ketika kumparan bertanya keinginannya untuk pulang dan membangun karier di Tanah Air, Rini sudah mempunyai keputusan yang pasti terkait itu.
“Untuk pulang ke Indonesia secara full-time, jujur It's hard for me to do. Satu karena keluarga semua di sini. Kedua, aku masih berguna di sini. Karena di sini aku bisa sharing pengalaman aku,” terang wanita yang saat ini tinggal di California.
“Sebelum COVID-19 aku pasti rutin pulang setahun sekali. Untuk memberi workshop, seminar, terus kelas-kelas juga, dan keep up sama industri animasi di Indonesia. Kaya meeting dengan studio-studio di di sana, ketemuan, dan lain-lain. Dan so far, dukungan dari pemerintah almost nothing. Makanya kebanyakan industri animasi di Indonesia adalah swasta,”
“Tapi ada beberapa yang masih berjalan juga, di mana aku masih bisa terlibat dan membantu industri di Indonesia. Ada beberapa studio juga di Indonesia yang aku rasa sangat menjanjikan dan punya tujuan yang sangat bagus. Ya ada kemungkinan aku akan terlibat di situ, tapi kita lihat saja nanti. Biar pun posisi aku di sini, tapi aku akan tetap terlibat di Indonesia,” tutupnya.