Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Riset Net Zero: Sampah Plastik Air Mineral Gelas Dominasi TPA di Enam Kota
20 Januari 2024 20:23 WIB
·
waktu baca 2 menitDengan kepraktisan dan harganya yang terjangkau, air minum kemasan bermerek telah menjadi bagian integral dari gaya hidup masyarakat perkotaan di Indonesia. Namun, dampak negatif dari konsumsi masif, terutama kemasan gelas, mengakibatkan penumpukan sampah plastik di berbagai kota.
Berdasarkan riset yang dipublikasikan oleh Net Zero Waste Management Consortium pada 22 November 2023, sampah plastik dari air mineral menempati peringkat sepuluh besar sebagai penyumbang timbulan sampah di kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Bali, dan Samarinda.
Dalam laporan berjudul 'Potret Sampah 6 Kota Besar,' konsorsium yang berbasis di Jakarta tersebut mencatat bahwa sampah plastik dari berbagai merek air mineral ditemukan dalam volume besar di berbagai lokasi, termasuk bak/tong sampah, Tempat Pembuangan Sementara (TPS), truk sampah, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), badan-badan air, tanah kosong, tepi jalan, pesisir, laut, dan masih banyak lagi.
Dalam daftar sepuluh besar brand yang sampahnya paling banyak ditemukan, laporan menyebut porsi terbesar (59.300 buah) adalah serpihan plastik berbagai merek yang sudah tidak bisa diidenfikasi. Peringkat setelahnya adalah sampah kantong kresek (43.957 buah) dan di urutan ketiga sampah bungkus makanan (37.548).
Lead researcher Net Zero, Ahmad Syafrudin, mengatakan, khusus sampah plastik air mineral, total sampah air mineral gelas masih jauh lebih besar dari total serpihan plastik (urutan pertama) yang berhasil diidentifikasi.
"Sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota besar tersebut," kata Ahmad dalam rilis yang diterima kumparan.
Lebih lanjut Ahmad mengungkapkan, meskipun secara tonase terlihat kalah oleh sampah organik rumah tangga, namun faktanya sampah anorganik seperti kemasan plastik produk konsumen jauh lebih memakan tempat dan memiliki volume yang selalu besar.
Menurut Ahmad, temuan riset mengindikasikan program pengurangan sampah oleh pemilik brand belum mencapai efektivitas yang diharapkan.
Ahmad juga mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan up sizing agar produsen meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum.
Hal itu untuk mengurangi potensi timbulan sampah. Menurutnya, sampah botol plastik produk minuman sebenarnya bernilai ekonomis sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan terbuka.
Ahmad melanjutkan bank sampah yang digadang-gadang menjadi tulang punggung dalam skema circular economy (CE) pengelolaan sampah, dinilai belum berjalan efektif di semua kota.
"Demikian halnya pemulung dan pelapak hanya menyerap sampah dengan residual value tinggi saja, sementara sampah dengan residual rendah dibuang ke TPS, TPA, pinggir jalan, badan air bahkan dibakar," ucap Ahmad.