Riset: Populasi Warga Madura Turun 23% saat Flu Spanyol, Masih Mau Abai Prokes?

23 Juni 2021 13:50 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ratusan warga Madura yang melakukan demonstrasi menolak penyekatan Jembatan Suramadu di depan halaman Balai Kota Surabaya, Jatim, Senin (21/6).  Foto: Abdul Hakim/ANTARA
zoom-in-whitePerbesar
Ratusan warga Madura yang melakukan demonstrasi menolak penyekatan Jembatan Suramadu di depan halaman Balai Kota Surabaya, Jatim, Senin (21/6). Foto: Abdul Hakim/ANTARA
ADVERTISEMENT
Kasus corona di Indonesia kembali mengalami lonjakan hingga tembus 2 juta orang. Bahkan pada pekan ini, pertumbuhan kasus harian sudah melewati puncak yang terakhir terjadi pada Januari lalu.
ADVERTISEMENT
Namun, kondisi ini tak membuat semua pihak serta-merta mengetatkan ikat pinggang. Kebijakan pemerintah pusat masih seputar PPKM Mikro meski desakan PSBB hingga lockdown untuk membatasi kegiatan masyarakat menguat.
Di tingkat masyarakat, banyak yang tak taat prokes. Sebagian masyarakat sudah tak memakai masker di tempat umum. Ada juga yang menolak dites antigen. Seperti yang baru-baru ini terjadi di perbatasan Surabaya dan Madura.
Warga Madura menolak dites antigen dan mendemo penyekatan yang dilakukan di Jembatan Suramadu. Padahal kebijakan penyekatan diambil lantaran wilayah Bangkalan, Madura, mengalami lonjakan kasus dan menjadi zona merah corona.
Menilik sejarah, memang bukan kali pertama wilayah Madura terdampak parah karena pandemi. Riset yang dilakukan Professor Siddharth Chandra dari Michigan University mengungkap penduduk Madura paling parah terdampak pandemi influenza pada 1918-1919 di antara keresidenan lain Jawa.
Peta keresidenan di Jawa tahun 1920. Foto: Siddharth Chandra (2013)
Total, ada 17 keresidenan di Jawa dan Madura. Namun dalam risetnya, Chandra tidak memasukkan keresidenan Jogjakarta dan Surakarta yang dihuni sekitar 10 persen dari total populasi di Jawa-Madura.
ADVERTISEMENT
"Karena kedua keresidenan tersebut diatur dengan sistem administrasi yang berbeda dari wilayah lainnya, dan mekanisme pengumpulan data di wilayah ini juga berbeda," tulis Chandra dalam risetnya.
Menurut riset yang diterbitkan di jurnal Population Studies tahun 2013 itu, estimasi penduduk Jawa dan Madura yang meninggal akibat Flu Spanyol di 2 tahun tersebut sekitar 4,26-4,37 juta orang.
Madura menduduki peringkat pertama dengan rasio penurunan penduduk sebesar 23,71 persen saat pandemi flu berlangsung. Persentase itu lebih besar dibanding rasio penurunan penduduk di keresidenan lain yang ada di Jawa.
Keresidenan lain yang paling parah terdampak pandemi ketika melihat sisi rasio penurunan penduduk akibat influenza pada 1918-1919 adalah Banten (21,13 persen) dan Kediri (20,62 persen).
ADVERTISEMENT
Menariknya, keresidenan yang punya kota-kota besar justru tak masuk 3 besar terparah rasio penurunan penduduknya. Misalnya keresidenan Djakarta di urutan 13 (6,49 persen), Semarang di urutan 9 (13,18 persen), hingga Surabaya di urutan 4 (17,54 persen).
Meski demikian, Professor Siddharth Chandra membatasi bahwa hasil penelitiannya soal estimasi rasio penurunan penduduk saat pandemi influenza 1918-1919 gabungan dari beberapa kombinasi kejadian.
"Perkiraan penurunan populasi yang disebabkan oleh pandemi influenza adalah kombinasi kematian, fertilitas, dan migrasi penduduk," tulis Director Asian Studies Center di Michigan State University tersebut.
Warga Madura menggelar unjuk rasa terkair tes antigen di Jembatan Suramadu. Foto: Dok. Ahmad Annur
Namun, Chandra menganalisis bahwa kejadian migrasi menurutnya merupakan fenomena minor di Jawa dan Madura saat itu.
"(Karenanya) perkiraan hasil penelitian mencerminkan kejadian antara kematian yang meningkat dan fertilitas yang tertekan," tulisnya.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana dengan situasi pandemi corona di Madura saat ini?
Berdasarkan data Pemprov Jatim, Rabu (22/6), kasus positif corona di Kabupaten Bangkalan (Madura) mencapai 3.024. Sementara itu, kasus aktif mencapai 969, kasus meninggal 297, dan kasus sembuh 1.758.
Tingkat kematian di Bangkalan pun kini relatif sangat tinggi. Pemprov Jatim mencatat, tingkat kematian di kabupaten tersebut mencapai 9,82 persen.
Apabila dilihat dari grafik di atas, kasus harian di Bangkalan kini ada di angka 70-90 kasus per hari. Dalam satu bulan terakhir, kasus harian melonjak 12 kali lipat.
Jadi, masih mau abai prokes?