Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pada 8 Juni 2022, Komisi I DPR menggelar rapat kerja dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam forum tersebut, sejumlah anggota DPR mempertanyakan molornya progres proyek pembangunan menara pemancar telekomunikasi atau Base Transceiver Station (BTS ) oleh BAKTI–badan layanan umum di bawah Kemenkominfo.
Menkominfo Johnny G. Plate lantas merespons akan memberi jawaban detail secara tertulis kepada Komisi I, sebab Direktur BAKTI Anang Achmad Latif berhalangan hadir karena mendadak sakit.
“Terkait pelaksanaan pembangunan itu dilakukan dengan kontrak-kontrak, di mana yang sudah dianggarkan harus diselesaikan, dan carry over pembangunan itu sedang dibicarakan secara teknis oleh BLU BAKTI Kominfo,” kata Plate.
BAKTI—yang kepanjangan dari Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi—memikul tanggung jawab atas pemerataan internet di Indonesia. Salah satunya melalui proyek pembangunan BTS demi terciptanya akses internet 4G di kawasan terdepan, terluar dan tertinggal (3T).
Keterlambatan proyek ini menuai masalah di kemudian hari. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan menemukan adanya kejanggalan dalam proyek BTS BAKTI Kominfo. Begitu pula Kejaksaan Agung yang mencium dugaan rasuah dalam proyek pembangunan menara itu.
Melalui gelar perkara dugaan penyimpangan pengadaan BTS 4G BAKTI Kominfo pada 25 Oktober 2022, ditemukan bukti permulaan dugaan korupsi mark up nilai pengadaan barang hingga lelang tender yang bermasalah untuk penyedia layanan BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket I sampai V tahun 2020-2022.
Usai perkara itu dinaikkan di tingkat penyidikan, sejak 31 Oktober hingga 1 November 2022 penyidik Kejagung melakukan penggeledahan beberapa tempat antara lain kantor perusahaan pemenang proyek tender BTS hingga Kementerian Kominfo.
Buntut kasus yang diselidiki dan disidik delapan bulan terakhir itu, Kejagung telah menetapkan 5 tersangka, yakni Direktur Utama BAKTI Kominfo Anang Achmad Latif, Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Galubang Menak, Tenaga Ahli Human Development Universitas Indonesia Yohan Suryanto, Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali, dan Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan.
“Sampai saat ini kita sudah memeriksa 160 saksi dan sudah mencekal lebih dari 25 orang di perkara ini,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung I Ketut Sumedana, Jumat (31/3).
Saksi dalam kasus ini termasuk Menkominfo Plate sendiri. Ia tercatat telah diperiksa Kejagung dua kali pada 9 Februari dan 15 Maret 2023.
Lalu bagaimana sebenarnya riwayat proyek menara yang membuat Plate harus mondar-mandir ke Kejaksaan Agung?
Proyek Molor
Megaproyek pembangunan menara pemancar 4G atau BTS di daerah 3T bermula dari arahan Presiden Jokowi pada Rapat Terbatas mengenai Perencanaan Transformasi Digital, Senin, 3 Agustus 2020 di Istana Merdeka.
Satu dari lima arahan Jokowi dalam ratas itu ialah agar Kominfo memperluas infrastruktur digital di 12.500 desa atau kelurahan. Dan infrastruktur digital penopang tersebut di antaranya pembangunan BTS untuk layanan sinyal 4G.
Menurut sumber kumparan yang mengetahui diskusi awal proyek BTS, target pembangunan 12 ribuan BTS di desa kelurahan kemudian direvisi menjadi 10 ribuan. Pada peletakan batu pertama pembangunan BTS 4G di Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (22/04/2021), Dirut BAKTI Anang Latif menyebut BTS akan dibangun pada 7.904 lokasi 3T.
Sisa target pembangunan BTS 4G itu kemudian dibebankan kepada operator seluler sebanyak 3.435 yang akan diletakkan di lokasi komersial atau wilayah non 3T.
Nilai pembangunan BTS oleh BAKTI mencapai Rp 28 triliun yang terbagi menjadi dua fase. Pembangunan fase pertama sebanyak 4.200 lokasi di tahun 2021. Sementara itu untuk fase kedua sebanyak 3.704 lokasi pada tahun 2022.
Ada lima kontraktor yang mengerjakan pembangunan BTS. Paket I dan II (301 lokasi) fase satu dikerjakan oleh kemitraan PT Fiberhome Technologies Indonesia, PT Multi Trans Data, dan PT Telkom Infrastruktur, anak usaha milik PT Telkom Indonesia.
Sementara paket III (588 lokasi) fase satu dikerjakan oleh kemitraan PT Lintasarta, PT Huawei dan PT SEI. Selanjutnya paket IV dan V (209 lokasi) fase satu dikerjakan oleh kemitraan PT Infrastruktur Bisnis Sejahtera dan PT ZTE Indonesia.
Dalam laporan BPK Nomor 68A/LHP/XVI/05/2022 tanggal 27 Mei 2022, realisasi pembangunan BTS fase satu per 31 Desember 2021 hanya berjumlah 32 lokasi dengan realisasi nilai pembangunan sebesar Rp 83,01 miliar. Sementara, 4.168 lokasi masih belum selesai 100% dan dicatat sebagai sebagai Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP) dengan nilai kontrak sebesar Rp10,89 triliun.
Dalam laporan BPK tersebut ada beberapa permasalahan yang menyebabkan keterlambatan proyek pemerataan jaringan internet 4G ini.
Pertama, akibat pandemi COVID-19 yang membuat aktivitas pengiriman perangkat terhenti. Kedua, terjadi penghentian produksi perangkat 4G yang membuat vendor tak dapat beroperasi penuh.
“Selain itu, kondisi keamanan terutama di Papua membuat beberapa tahapan perencanaan konstruksi menjadi terganggu,” tulis laporan tersebut.
Keterlambatan pembangunan akibat pandemi membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan regulasi khusus yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184 Tahun 2022. Salah satunya yaitu dengan melanjutkan pengerjaan sisa proyek bagi selama 90 hari ke depan atau hingga Maret tahun 2022.
“Pekerjaan yang tidak terselesaikan sampai tahun anggaran 2021 dan akan dilanjutkan pada tahun anggaran 2022 merupakan pekerjaan kontraktual yang dibiayai dari sumber dana rupiah murni dan atau PNBP non BLU dan bukan berasal dari sumber pendapatan BLU,” tulis salah satu poin dalam regulasi tersebut.
Namun, setelah masa pengerjaan diperpanjang, pembangunan BTS fase satu tak kunjung mencapai target. Hingga 31 Maret 2022, baru sebanyak 1.012 BTS atau 24% target yang rampung atau memiliki berita acara uji penerimaan (BAUP) dengan persetujuan pejabat pembuat komitmen (PPK).
Setelah tenggat proyek fase satu berakhir, para kontraktor masih melanjutkan proyek tersebut. Dalam laporan BPK, pada bulan Mei 2022 terjadi peningkatan penyelesaian tower dan power menjadi 1.179 atau 36,25% dari target perencanaan.
Bagaimana bisa?
Denda Keterlambatan dan Kelebihan Bayar
Kejaksaan Agung menduga dalam kasus rasuah proyek BTS BAKTI Kominfo, total kerugian mencapai sekitar Rp 1 triliun. LHP BPK Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas Pengelolaan Belanja Tahun Anggaran 2021 Kominfo menyebut bahwa proyek ini memiliki potensi pemborosan sebesar Rp 1,5 triliun yang berasal dari komponen belanja modal.
Selain masalah tersebut, LHP BPK Nomor 68B/LHP/XVI/05/2022 mencatat potensi denda keterlambatan proyek ini karena belum rampung 100 persen per 31 Maret 2022 sebesar Rp 87,59 miliar. Denda itu telah disetor oleh para kontraktor ke kas BAKTI Kominfo April 2022.
Pengenaan denda itu oleh Kominfo dihitung dengan mempertimbangan keadaan luar biasa atau kahar pada sebagian lokasi BTS seperti ada ancaman, PPKM, hingga kelangkaan chipset global. Pada klausul kontrak pembelian, jika terjadi kahar, maka BTS itu memang dapat dikecualikan dari sanksi finansial.
Meski begitu, merujuk pada amandemen kontrak yang mengatur mengenai perubahan waktu pelaksanaan, BPK menyebut alasan perubahan waktu tersebut tidak ada yang disebabkan karena keadaan kahar. Di situ hanya disebut perlu penyesuaian waktu penyelesaian pekerjaan dalam rangka pemenuhan jadwal pelaksanaan pekerjaan.
“Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertimbangan dasar perhitungan dan pengenaan denda keterlambatan atas proyek BTS 4G yang disepakati antara BAKTI dengan penyedia tidak memadai,” tulis BPK.
Selanjutnya, BPK menemukan kelebihan pembayaran proyek BTS 4G BAKTI Kominfo sebesar Rp 18,7 miliar oleh BAKTI pada paket I, III, dan V. Rinciannya paket I sekitar Rp 9,5 miliar, paket III sekitar Rp 6 miliar, dan paket V sekitar Rp 3,1 miliar.
BPK merujuk kelebihan pembayaran itu berdasarkan kontrak payung yang menentukan pembelian dan pelaksanaan proyek. Menurut BPK, pembayaran oleh BAKTI kepada para penyedia tidak sesuai dengan klausul terkait dengan Desain Akhir dan Daftar Kuantitas yang tertuang di kontrak payung.
Badan Pemeriksa Keuangan telah meminta penjelasan kepada PPK mengenai kelebihan pembayaran di tiga paket lokasi pemasangan menara pemancar. PPK mengklaim kelebihan pembayaran akibat adanya perubahan lokasi desa yang menyebabkan perbedaan spesifikasi sehingga harus menaikkan kebutuhan biaya.
“Dan konfigurasi antara lokasi pekerjaan semula dengan lokasi pekerjaan baru,” tulis penjelasan PPK dalam laporan tersebut.
Kontrak Lemah dan Tak Sesuai Realisasi
Dalam pelaksanaan pemasangan tower pemancar jaringan 4G tertuang beberapa klausul kontrak yang telah disepakati antara PPK dan pihak penyedia. Hasil laporan tersebut menemukan klausul kontrak pengerjaan yang dianggap lemah.
Sedianya para kontraktor diberi waktu penyelesaian pekerjaan selama 8 bulan setelah tanggal kontrak diteken. Misalnya, paket I batch 1A seharusnya diselesaikan 19 November 2021 usai kontrak diteken pada 19 Maret 2021.
BAKTI pun memiliki klausul kontrak pasal 48 ayat I Bab I tentang persyaratan umum yang menyebut BAKTI bisa memutus kontrak payung atau kontrak pembelian jika penyedia (kontraktor) tak mampu menyelesaikan pekerjaan walaupun diberi kesempatan 30 hari sejak masa berakhirnya masa penyelesaian pekerjaan.
Namun aturan itu diubah di amandemen keempat yang menambahkan klausul “…atau jangka waktu lain yang ditentukan oleh BAKTI..” sehingga memungkinkan penambahan waktu pengerjaan lebih dari 30 hari.
Hingga akhir tahun 2021, terbitlah regulasi PMK Nomor 184 Tahun 2022. BAKTI melalui PPK memberikan kesempatan kepada penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai selama 90 hari kalender atau sampai dengan tanggal 31 Maret 2022.
Berdasarkan data per 4 April 2022 jumlah lokasi BTS yang rampung dan telah disetujui oleh PPK baru 1.159 titik dari total 4.200 titik lokasi BTS yang akan dibangun. Ini mengindikasikan bahwa setelah diberi tambahan waktu 90 hari, kontraktor belum menyelesaikan pekerjaannya.
BPK juga mengendus adanya pencatatan aset hasil kegiatan yang belum memadai. Sebabnya, yakni 32 BTS yang sudah rampung dibangun 100% hingga 31 Desember 2021 semestinya dicatat sebagai aset tetap dalam laporan keuangan. BPK juga menemukan 40 lokasi BTS yang tidak tercatat dalam laporan daftar lokasi pada kontrak pembelian.
Semestinya lokasi yang dibangun dan nantinya tercatat sebagai aset pada laporan neraca harus sama dengan lokasi yang terlampir dalam kontrak pembelian. Sebab dasar pengadaan atas BTS adalah kontrak pembelian tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan bahwa dalam membuat sistem lelang pengerjaan proyek sebaiknya memiliki prinsip transparan. Ia melihat beberapa modus untuk menyiasati persyaratan lelang proyek dengan membuat situasi sedemikian rupa.
“Misalnya pola-pola pengumuman tender, itu dibuat mepet, sehingga orang tidak bisa memenuhi syarat. Yang bisa memenuhi syarat hanya orang tertentu yang sudah diberi bocoran sehingga bisa menang,” katanya.
Padahal, prinsip keterbukaan adalah mutlak karena akan membuat persaingan lelang tender lebih fair. Ini tentu akan menghindarkan proyek dari praktik-praktik kecurangan.
“Pola-pola tender kita masih parah. Keterbukaan-transparansi dan akuntabilitas belum ada,” tutup Boyamin.