Rizal Ramli di MK: Presidential Threshold 20% Ciptakan Demokrasi Kriminal

21 September 2020 15:55 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rizal Ramli di Gedung KPK, Jumat (19/7). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rizal Ramli di Gedung KPK, Jumat (19/7). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana gugatan terhadap syarat ambang batas capres atau presidential threshold (PT) sebesar 20 persen yang termaktub di Pasal 222 UU Pemilu. Gugatan tersebut diajukan eks Menko Maritim, Rizal Ramli.
ADVERTISEMENT
Dalam sidang itu, Rizal mengatakan syarat PT 20% telah menciptakan demokrasi kriminal. Rizal menyatakan maksud demokrasi kriminal yakni para calon kepala daerah hingga capres harus membayar sejumlah uang ke partai agar bisa maju dalam Pemilu.
"Demokrasi kriminal artinya peranan money politic jadi sangat dominan di sistem politik kita. Salah satu tonggak dari basis demokrasi kriminal itu adanya PT 20 persen. Ini terjadi pada bupati harus bayar partai antara Rp 20 sampai 40 miliar, gubernur Rp 100-300 miliar, presiden jauh lebih mahal," ujar Rizal dalam sidang MK pada Senin (21/9).
Rizal menyatakan dampak demokrasi kriminal membuat para calon kepala daerah hingga capres yang terpilih tidak mengabdi kepada rakyat yang memilih, tetapi justru kepada pemodal.
ADVERTISEMENT
"Kebanyakan calon tidak punya uang. Sehingga yang terjadi begitu terpilih mereka lupa dengan tanggung jawab ke rakyat dan bangsa. Malah sibuk mengabdi kepada bandar-bandar yang biayai," ucapnya.
Suasana jalannya sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
"Demokrasi kriminal hanya menguntungkan tokoh yang dipilih di eksekutif dan legislatif, dan menghambat munculnya tokoh-tokoh yang memang capable, memiliki integritas, untuk masuk ke kompetisi secara demokratis, karena pada dasarnya mereka tidak punya uang untuk bayar partai-partai itu," lanjutnya.
Ia pun mencontohkan hasil survei KPK yang menyatakan 82 persen calon kepala daerah dibiayai pemodal, salah satunya Bupati Kutai Timur nonaktif, Ismunandar, yang sudah ditangkap. Rizal menyatakan Ismunandar ditangkap KPK karena menerima suap dari pemodal senilai Rp 18 miliar. Tetapi menurut audit BPK, kerugian akibat konsesi tambang hingga hutan yang diberikan kepada para pemodal tersebut mencapai Rp 2 triliun.
ADVERTISEMENT
"Kasus ini bukan kasus yang unik, hampir terjadi 82 persen di semua pemilihan menurut KPK dan Mahfud MD (Menko Polhukam) itu terjadi pola begini. Calon-calon enggak punya uang cari bandar, dan bandar biayai survei, promosi, dsb. Menurut kami ini yang merusak kenapa demokrasi di Indonesia tidak mampu membawa keadilan dan kemakmuran," kata Rizal.
Pakar Ekonomi Rizal Ramli saat diskusi bertajuk "Indonesia Perlu Pemimpin Optimis yang Bawa Perubahan" di Forum Tebet, Jakarta, Senin (25/2). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Contoh lain, kata Rizal, terjadi sebelum Pilpres 2009. Ia mengaku pernah didekati beberapa parpol yang ingin mengusungnya sebagai capres, dengan syarat membayar sekitar Rp 300 miliar.
"Satu partai minta Rp 300 miliar itu tahun 2009, 3 partai hampir 900 miliar. Pak hakim, sepanjang karir saya tidak pernah korupsi, hidup sebagai profesonal enggak akan mampu beli partai untuk pemilihan. Tentu kalau saya mau, saya banyak teman-teman orang bisnis minta sponsorin saya untuk biayai buat mereka ini kecil. Tapi saya enggak mau utang budi. Kita ingin betul-betul hanya utang budi ke rakyat, bukan ke bandar-bandar," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, ia berharap MK bisa mengabulkan permohonannya dengan menghapus syarat PT 20% pada Pilpres agar tak ada lagi demokrasi kriminal.
"Ini kesempatan bersejarah untuk mengubah Indonesia. Saya ingin kita semua wariskan sistem demokrasi yang betul-betul adil dan amanah. Sehingga yang terbaik dari bangsa kita bisa nongol di berbagai level kepemimpinan," tutupnya.