Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Mantan Dirut Pelindo II, RJ Lino , meyakini sangkaan dugaan korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC) pada Tahun 2010 terhadap dirinya ialah tidak benar. Ia menegaskan bahwa yang dilakukannya tidak merugikan negara, bahkan sebaliknya malah menguntungkan negara.
ADVERTISEMENT
Menurut RJ Lino , keputusan penunjukan langsung QCC pada 2010 harganya lebih murah dibanding pembelian QCC melalui lelang pada tahun 2012.
"Saya enggak tahu kalau bagian keuntungan, mereka enggak hitung. Crane yang saya beli, penunjukan langsung ya 2010 itu harganya lebih murah USD 500 ribu daripada lelang tahun 2012," kata RJ Lino di Gedung KPK , Senin (29/3).
Adapun dalam kasusnya, RJ Lino diduga menyalahgunakan wewenangnya saat menjadi Dirut Pelindo II untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, dan/atau korporasi dengan memerintahkan penunjukan langsung perusahaan asal Tiongkok, Wuxi Huangdong Heavy Machinery sebagai pelaksana proyek pengadaan QCC.
Proyek pengadaan itu bernilai sekitar Rp 100 miliar untuk pengadaan QCC di tiga lokasi, yakni Palembang, Pontianak, dan Lampung. Dugaan korupsi ini terkait penunjukan langsung yang dilakukan RJ Lino.
ADVERTISEMENT
Menurut RJ Lino, BPK seharusnya menghitung soal keuntungan yang dihasilkan atas pembelian crane tersebut agar lebih adil. Sebab, ia menilai keuntungannya lebih besar dari kerugian dalam hitungan BPK yang hanya USD 22,828 atau setara Rp 328 juta saja.
"Seharusnya kalau mau dikonversi ya konsiderasi sehingga saya buat keputusan 2010 itu sangat menguntungkan negara dibandingkan dengan 2012 yang 500 ribu dolar. Tapi kalau BPK itu juga hitung kerugian negara, bagian untung itu enggak dihitung," kata dia.
"Jadi saya usul pada negeri ini supaya yang membuat Undang-Undang maupun pembuat keadilan supaya korupsi tugasnya BPK. Jadi kalau hitung kerugian negara, juga harus itung keuntungan negara apa," ucapnya.
RJ Lino juga mengeklaim bahwa penunjukan langsung pengadaan crane oleh dirinya tak bertentangan dengan aturan. Sebab, SK Menteri BUMN 2008 mengatakan, alat di pelabuhan pengadaannya bisa penunjukan langsung.
ADVERTISEMENT
Menurut RJ Lino, penunjukan langsung yang dilakukan dirinya sudah sesuai ketentuan. Sebab, ia sudah menggelar sejumlah lelang sebelum akhirnya menempuh langkah penunjukan langsung.
"Kalau katanya emergency prosesnya bisa tunjuk langsung. Kalau lelang lebih dari 2 kali bisa tunjuk langsung. Saya sudah 9 kali (lelang), Pak," pungkasnya.
RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 2015 lalu. Lebih dari lima tahun kemudian ia baru ditahan KPK.
Penanganan kasus yang memakan waktu lama karena KPK masih menunggu hasil audit BPK soal kerugian negara. Hingga akhirnya KPK menerima laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK terkait pengadaan QCC pada 20 Oktober 2020, dan RJ Lino ditahan.
Adapun hitungan BPK, hanya dalam aspek pemeliharaan QCC, tidak termasuk biaya pembangunan dan pengiriman. Sebab hingga proses penghitungan rampung, BPK belum mendapatkan bukti harga yang dipatok HDHM terhadap 3 QCC tersebut.
ADVERTISEMENT
"BPK berdasarkan dokumen yang ada hanya bisa menghitung terjadi kerugian dalam pemeliharaan QCC. Sedangkan (harga) alatnya BPK tidak bisa menghitung karena tidak ada data pembanding," ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
Walau demikian, KPK mencoba cara lain menghitung kerugian negara dengan meminta bantuan ahli ITB. KPK meminta bantuan ahli ITB untuk menghitung berapa harga QCC tersebut, termasuk ongkos kirimnya dari China ke Indonesia.
Hasilnya menurut penghitungan ahli ITB, kata Alex, Harga Pokok Produksi (HPP) hanya sebesar USD 2.996.123 untuk QCC Palembang, USD 3.356.742 untuk QCC Panjang Lampung, dan USD 3.314.520 untuk QCC Pontianak.
Adapun nilai kontrak pengadaan 3 unit QCC antara Pelindo II dan HDHM mencapai USD 15.554.000. Sehingga bila dibandingkan, terdapat selisih USD 5.886.615 antara penghitungan ahli ITB dengan nilai kontrak Pelindo dengan HDHM. Adapun selisih tersebut jika dikonversikan mencapai Rp 84.784.915.845.
ADVERTISEMENT
"Memang terjadi selisih yang cukup signifikan dibanding dengan harga yang dibeli Pelindo II ke HDHM yang jumlahnya sekitar USD 15 juta. Sedangkan berdasarkan ahli ITB harga pokok produksi termasuk ongkos angkut total sekitar USD 10 juta, ada perbedaan USD 5 juta," tutupnya.