Rochester Kota Kecil dan Dingin di AS yang Ramah bagi Teman Tuli Muslim

30 April 2021 17:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Surya Sahetapy, Aktivis Tuli Indonesia di Rochester, New York, AS.  Foto: Instagram/@suryasahetapy
zoom-in-whitePerbesar
Surya Sahetapy, Aktivis Tuli Indonesia di Rochester, New York, AS. Foto: Instagram/@suryasahetapy
ADVERTISEMENT
Mengulik keseharian masyarakat di Amerika Serikat memang menarik. Terlebih, menilik lebih dalam soal kehidupan mereka yang tidak bisa mendengar, alias para teman Tuli khususnya yang beragama Muslim.
ADVERTISEMENT
AS merupakan Negara Adidaya yang terbukti telah berhasil berinovasi serta menerapkan berbagai teknologi yang mempermudah berbagai aktivitas warganya.
Tetapi, apakah kemajuan teknologi tersebut sudah inklusif bagi semuanya, termasuk juga bagi teman Tuli?
Surya Sahetapy adalah seorang Tuli asal Indonesia pemeluk Muslim yang menjejakkan kakinya di Negeri Paman Sam untuk menuntut pendidikan tinggi. Tahun 2021 ini menjadi tahun ketiga Surya menjalani kehidupan di Kota Rochester.
Terletak di Negara Bagian New York, Kota Rochester adalah suatu kota kecil yang sepi dan dingin, namun hangat bagi para teman Tuli yang tinggal dan juga mengenyam pendidikan di sana.
Rochester adalah rumah bagi National Technological Institute for the Deaf (NTID), Rochester Institute of Technology (RIT)—sebuah institut teknik pertama dan terbesar di dunia bagi para teman Tuli.
Ilustrasi kampus. Foto: Pixabay
Dengan adanya sebuah kampus yang terpusat untuk teman Tuli, tentu saja Rochester menjadi wilayah yang sangat ramah aksesibilitas. Begitulah sudut pandang Surya terhadap kota yang telah menjadi rumahnya selama beberapa tahun belakangan ini.
ADVERTISEMENT
Para teman Tuli berkomunikasi dengan bahasa Isyarat. Layaknya orang Dengar berkomunikasi dengan suara, orang Tuli berkomunikasi dengan isyarat yang tentu bervariasi dan memiliki keunikan tersendiri, spesifik di wilayah yang berbeda.
Indonesia memiliki bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo), Amerika punya American Sign Language (ASL). ASL inilah yang menjadi bahasa Isyarat utama di Amerika.
Selama hidup di Amerika, tentu Surya—yang selama di Indonesia menggunakan Bisindo Jakarta—harus belajar menggunakan ASL dalam berkomunikasi. Meski sulit, ia perlahan-lahan semakin mahir.
Lalu, dengan warga AS yang sebagian besar populasinya adalah orang Dengar, apakah akses berkomunikasi bagi teman Tuli lewat ASL terpenuhi?

Aksesibilitas di Pelayanan Publik AS

Dengan berbahasa Isyarat dan didampingi penerjemah, Surya Sahetapy berbagi kisah sebagai Tuli di AS. Tak luput, ia memaparkan soal aksesibilitas di sana yang ternyata bersifat universal.
ADVERTISEMENT
“Sebelum saya masuk kuliah di Amerika, saya bertemu dengan beberapa orang Dengar, saya bertemu dengan polisi, bertemu dengan berbagai orang yang melayani masyarakat. Dan, mereka bisa berbahasa ASL tingkat dasar. Saya merasa sangat nyaman. Hampir semua orang di Amerika bisa ASL tingkat dasar,” papar Surya di acara virtual @america, Kamis (29/4).
Surya Sahetapy berkomunikasi dengan bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) dengan didampingi JBI pada acara virtual Ramadan and the Daily Life of Students with Disabilities in the U.S bersama @america. Foto: Dok. @america
Dengan banyaknya warga AS yang bisa berbahasa ASL, berarti syarat dasar komunikasi efektif Surya dan teman Tuli lainnya terpenuhi: saling memahami dan dipahami satu sama lain.
“Amerika sendiri sudah terbiasa dengan ASL, karena di sini, ASL telah diajarkan di sekolah-sekolah, dari SD, SMP, SMA, semua ada mata pelajaran bahasa Isyarat,” tambahnya.
Hambatan berbahasa—language barrier—tampaknya tidak menjadi sebuah halangan bagi teman Tuli yang tinggal baik di Rochester maupun di wilayah-wilayah di Amerika lainnya.
ADVERTISEMENT
Layanan publik lainnya, seperti di Kedutaan Besar atau kantor Konsulat Jenderal pun turut memfasilitasi komunikasi bagi teman Tuli di Amerika, dengan menyediakan akses penerjemah bahasa Isyarat, atau yang kerap disebut Juru Bahasa Isyarat (JBI).
Surya menceritakan pengalamannya memperoleh layanan keimigrasian di kantor tersebut, dan bisa dikatakan, ia merasa puas dengan akses yang disediakan.
“Di KJRI atau Kedubes, kami bisa merasakan aksesnya. Seperti kalau saya menelepon untuk mendapatkan layanan KJRI atau visa, saya bisa telepon, ada layanan Juru Bahasa Isyaratnya. Jadi, yang bersuara itu dari Juru Bahasa Isyaratnya. Lalu, KJRI berbicara dalam bahasa Inggris, JBI-nya mengisyaratkan kepada saya,” tuturnya.

Kemudahan Akses Beribadah bagi Muslim

Ibadah salat jumat yang ramah aksesibilitas di Rochester Institute of Technology, Rochester, AS. Foto: Dok. Surya Sahetapy
Kemudahan akses bagi Surya tak hanya dirasakan sampai situ. Kampus Surya, RIT, juga memberikan layanan terbaik bagi para mahasiswa Muslim Tuli dalam menjalankan ibadah.
ADVERTISEMENT
Contohnya adalah pada penyelenggaraan salat jumat berjemaah yang dilaksanakan di area kampus. Untuk mempermudah teman Tuli dalam memahami khutbah, pihak RIT menyediakan JBI yang dengan tangkas menerjemahkan intisari tausiyah ke dalam ASL.
“Dan mungkin bagi teman-teman yang tidak terbiasa dengan bahasa Isyarat, bisa mengakses hasil ketik cepat oleh juru ketik. Dan biasanya sebelum salat jumat, kita bisa beritahukan akses apa yang dibutuhkan,” jelas Surya.
Jadi, tak hanya JBI, akses lain pun disediakan bagi mereka yang memiliki preferensi tersendiri dalam berkomunikasi. Mungkin ada yang memilih bahasa Isyarat, ada yang cenderung terbiasa dengan bahasa tulis. Bagi Surya, setiap preferensi terlayani dengan sejalan dan berterima.

Akses bagi Disabilitas di Bidang Pendidikan dan Kesehatan di AS

Surya melanjutkan, bidang-bidang lainnya, bahkan hingga pendidikan tinggi di Amerika, telah diwajibkan memberikan akses bagi orang-orang dengan disabilitas. Hal tersebut diatur dalam American Disabilities Act, atau Undang-undang Disabilitas Amerika.
ADVERTISEMENT
Tetapi, ada satu hambatan yang ditemukan pada akses disabilitas di ranah pendidikan. Yaitu, belum semua tenaga pengajar memiliki awareness atau kesadaran mengenai ketulian.
“Artinya, perlu ada edukasi yang perlu dilakukan bagi pihak universitas terhadap ketulian tersebut,” tutur Surya.
Meski begitu, tak sedikit universitas di Amerika yang sudah menerapkan aksesibilitas sekaligus memiliki pemahaman terhadap ketulian, sehingga para mahasiswa Tuli tinggal masuk dan berkuliah saja, mengikuti sistem yang berlaku.
Surya Sahetapy vaksinasi COVID-19 di Rochester, New York, AS. Foto: Instagram/@suryasahetapy
Selanjutnya, Surya juga dibuat kagum dengan aksesibilitas yang dimiliki oleh program vaksinasi COVID-19 di Amerika. Belum lama ini, Surya menerima suntikan vaksin corona dosis pertamanya.
Surya menceritakan pengalamannya saat vaksinasi, termasuk kisah ketika ia lupa meminta akses untuk bahasa Isyarat ASL saat melakukan pendaftaran vaksinasi secara daring.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika ia tiba di lokasi vaksinasi, para tenaga kesehatan yang telah melihat gesturnya dengan sigap menyediakan akses untuk Surya dalam bentuk JBI secara virtual.
“Ketika saya datang ke lokasi, mereka yang sudah melihat gestur saya langsung mengarahkan saya kepada orang yang bisa melayani saya menggunakan ASL,” jelas Surya.
Tak hanya itu, bahkan lokasi-lokasi vaksinasi COVID-19 lainnya pun memiliki dokter dan perawat Tuli yang langsung melayani vaksinasi para teman Tuli dengan bahasa Isyarat.
Aksesibilitas yang dipaparkan tersebut hanyalah segelintir dari banyaknya yang tersedia di Rochester dan juga Amerika Serikat secara keseluruhan. Mudahnya akses bagi para teman Tuli ini, menurut Surya, membuat dirinya merasa seperti seseorang dengan disabilitas.
“Kalau kita mau bertemu orang, berkomunikasi, bertelepon, itu tidak ada hambatan. Di Amerika ini saya merasa tanpa hambatan, saya tidak merasa seperti disabilitas,” ungkap Surya.
ADVERTISEMENT

Apa yang Bisa Dicontoh oleh Indonesia?

Ilustrasi--pengajar menggunakan bahasa isyarat kepada sejumlah anak penyandang tuli saat pelatihan kisah dalam isyarat di Masjid Baitul Falihin, Karawang, Jawa Barat, Minggu (8/9). Foto: ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar
Berkaca dari upaya Amerika Serikat dalam memberikan jalan bagi teman Tuli untuk berkomunikasi dengan mudah, Surya menginginkan Indonesia dapat menerapkan sistem yang sama.
“Saya harap Indonesia bisa mengadopsi teknologi dari Amerika ini, sehingga teman-teman Tuli bisa nyaman tinggal di Indonesia tanpa ada hambatan. Kalau di Amerika ini saya merasa tanpa hambatan, saya tidak merasa seperti disabilitas. tetapi di Indonesia mungkin ada hambatan kalau saya pergi sendiri, bertemu orang, saya merasa terhambat karena takut ada hambatan komunikasi dan sebagainya,” jelasnya.
Indonesia juga dapat belajar dari AS dalam memberikan pelayanan akses terbaik di dunia pendidikan, mulai dari mengenalkan bahasa Isyarat di sekolah-sekolah.
“Mungkin di Indonesia belum terbiasa seperti ini, ya. Tapi di Amerika sudah terbiasa dengan ASL, karena di sini, ASL telah diajarkan di sekolah dari SD, SMP, SMA, semua ada mata pelajaran bahasa Isyarat. Mungkin ke depannya, bahasa Isyarat ini bisa menyebar,” harap Surya.
Seorang siswa tunarungu SLB Negeri Cicendo mengikuti pelajaran Pancasila dengan bahasa isyarat secara daring di Bandung, Jawa Barat, Rabu (9/9/2020). Foto: ANTARAFOTO/Novrian Arbi
Untuk bisa menjangkau aksesibilitas yang lebih luas lagi di Indonesia, bagi Surya, hal yang menjadi dasar adalah perlunya penyadaran tentang ketulian terlebih dahulu oleh masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
Dari kesadaran itulah, nantinya akan berkembang menjadi sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lain, antara teman Tuli dan orang Dengar.
“Kalau bicara dalam konteks pendidikan, sebagai orang Dengar juga bisa belajar bahasa Isyarat, itu merupakan bentuk respect. Dengan demikian, hambatan komunikasi itu dapat terminimalisir,” pungkas Surya.
Terakhir, Surya menyampaikan bahwa dengan mengedukasi diri lebih lanjut, orang Dengar di Indonesia akan mampu memiliki pemahaman lebih jauh soal penyandang disabilitas, khususnya teman Tuli.