Rp 480 Juta untuk Hidup Cindy Kecil yang Lebih Baik

20 Juli 2019 7:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sembako untuk Cindy dan kakek-neneknya Foto: Tugu Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Sembako untuk Cindy dan kakek-neneknya Foto: Tugu Jogja
ADVERTISEMENT
Masih ingat dengan kisah Cindy Uristiyanti (7)? Gadis mungil asal Desa Kledung Karangdalem, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang harus terpisah dengan orang tuanya di usia belia. Di masa pertumbuhannya Cindy hidup dengan kakek dan neneknya yang penuh keterbatasan di rumah tak layak huni.
ADVERTISEMENT
Kini donasi sebesar Rp 480.917.279 telah terkumpul. Uang tersebut berasal dari penggalangan dana dari pembaca kumparan melalui kitabisa.com. Total ada 5.259 donatur turut berpartisipasi untuk hidup Cindy yang lebih baik.
Nantinya, dana tersebut akan digunakan untuk merenovasi rumah dan separuhnya lagi digunakan sebagai tabungan pendidikan Cindy.
Senyum tampak merekah di wajah kakek dan nenek Cindy, Cokro Utomo Parimin (72) dan Tukiyem (70), ketika tim kumparan dan Tugujogja.id --media partner kumparan-- tiba di rumah sederhananya. Keduanya menyambut dengan keramahan khas Jawa.
Mengetahui kami juga ingin bertemu Cindy, Parimin yang pendengarannya mulai kurang berinisiatif menjemput Cindy yang tengah bermain.
“Cindy dolan (bermain). Saya jemput dulu,” ujar Parimin di rumahnya, Rabu (10/7).
ADVERTISEMENT
Selang beberapa menit, Parimin tiba dengan menggendong tubuh mungil Cindy. Bergelayut di pundak sang kakek, Cindy terus menerus menutup wajahnya. Baru setelah beberapa jam bersama, Cindy mulai tak canggung.
“Cindy bersama saya dari umur 3 bulan,” ujar Parimin membuka obrolan.
Sembako untuk Cindy dan kakek-neneknya Foto: Tugu Jogja
Ingatan Parimin pun kembali ke tujuh tahun lalu. Hatinya hancur. Sebagai seorang bapak, dia sedih ketika melihat anak keempatnya, Rismiyati, pulang menggendong seorang anak berusia tiga bulan dari Jakarta. Rismiyati berpisah dengan suaminya. Kemudian, Rismiyati dan suami bersepakat anak pertama di asuh suami dan anak kedua (Cindy) diasuhnya.
“Waktu Cindy pulang dari Jakarta umur 3 bulan. Saya baru (Salat) Isya, anak saya si Rismiyati pulang bawa anak sendirian. Saya mengelus dada, bayi tiga bulan dari Jakarta ke sini sendiri tidak ada yang mengantar,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kepulangan Rismiyati ke Purworejo bisa dibilang sebagai awal kemalangan Cindy. Bukannya menata diri, kesehatan kejiwaan Rismiyati justru terganggu. Imbasnya pada Cindy, dia sering tak diberi makan oleh sang ibu. Bahkan ketika Parimin memberi makan pun dimarahi.
“Alasannya mamaknya (ibu) Cindy itu kalau diberi makan nanti bayinya ngising (BAB),” kata Parimin.
Hati Parimin semakin terasa getir tatkala melihat Cindy bayi merangkak sendiri ke meja makan untuk mencari makanan. Parimin berusaha sebisa mungkin memberi makan Cindy. Apalagi di malam hari Cindy sering menangis karena kelaparan.
“Itu (Cindy merangkak mencari makan) kalau ketahuan mamaknya, enggak boleh,” ucapnya.
Pada pagi hari biasanya Parimin membawa Cindy untuk jalan-jalan. Saat sedang tak bersama ibunya itulah Parimin memberi makan Cindy. Dia rutin membelikan Cindy jajan dan dua buah pisang.
ADVERTISEMENT
“Kalau saya berikan suapin sudah habis saya baru pulang,” ujarnya.
Singkat cerita, Risimiyati kemudian diketahui mengidap depresi. Sempat dibawa ke sejumlah rumah sakit, termasuk rumah sakit jiwa di Magelang, Jawa Tengah. Hingga akhirnya kini Rismiyati direhabilitasi di sebuah panti rehab di Purwodadi, Purworejo. Praktis, Cindy hanya tinggal bersama kakek neneknya.
Parimin sadar profesinya sebagai buruh potong gabah padi tidak mencukupi kebutuhan Cindy. Kepada cucunya itu, Parimin punya harapan besar agar Cindy bisa bersekolah setinggi mungkin, setidaknya lulus SMA. Alasannya sederhana, Parimin ingin Cindy kelak bisa hidup dengan nyaman dengan pekerjaan mapan.
Nek kulo pripun nggih, orang Islam pingin dongake (Cindy) mugi-mugi saget nyambut damel sik maton, mboten pindah-pindah (kalau saya gimana ya, orang Islam ingin mendoakan semoga bisa bekeja yang mapan, tidak pindah-pindah),” harapnya.
ADVERTISEMENT
Tukiyem, nenek Cindy ketika ditemui di rumahnya di Purworejo, Rabu (13/3/2019). Foto: Tugu Jogja/Galih WIjaya
Sementara itu, Tukiyem bercerita kehadiran Cindy membuat kehidupannya tak lagi sepi. Dia merasa Cindy kini menjadi pelengkap hidupnya selain bersama Pariman, lelaki yang pertama dia kenal saat tengah menggembala bebek di sebuah ladang pada medio 1970.
“Seneng (jadi) ramai, enggak sepi. Kalau enggak ada Cindy ya sepi. Saya ya sedih kalau enggak ada Cindy, sayang sama Cindy,” kata Tukiyem.
Tukiyem mengatakan mengasuh Cindy bukan merupakan hal yang sulit. Terlebih, saat ini Cindy sudah beranjak besar dan bisa mengerjakan banyak hal sendiri, seperti mandi. Tiap sore Cindy juga rutin mengaji.
“Cindy kalau nakal itu enggak, dulu cuma minta jajan itu pakai nangis. Saya enggak kerja. Mbahnya (Parimin) yang ngasih uang. Kadang-kadang ada (uang), kadang-kadang enggak ada uang, paling Rp 5 ribu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Cindy juga tak pernah mempersoalkan makanan yang sederhana. Tukiyem sudah bersyukur ketika Cindy sudah bisa makan sehari tiga kali. “Masak sup bobor oblok-oblok,” katanya.
Sama seperti harapan Pariman, Tukiyem ingin Cindy dapat terus bersekolah. Inginnya pun sederhana, agar Cindy mendapat pekerjaan yang baik, hidupnya lebih baik dari dirinya.
“Kalau SMP repot mbahnya, kerjanya (biaya sekolah). Ini masih bisa kerja kalu besok enggak kerja ya gimana. Kalau bisa sampai tamat atau paling SMP. Cita-cita saya Cindy sekolah yang bisa pintar dan bisa kerja,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua RT setempat Karjono (62) mengatakan kondisi rumah Parimin sudah lebih baik dari yang dulu. Beberapa waktu lalu beberapa purnawirawan polisi memberi bantuan senilai Rp 5.700.000.
ADVERTISEMENT
Bantuan tersebut lantas digunakan untuk memplester lantai rumah yang sebelumnya tanah. Rumah yang dahulu kumuh dan berbau, kini setidaknya sudah mulai rapi, meski tampak belum layak.
“Yang bantu mulai banyak dapat bantuan Rp 5.700.000 dari alumni polisi dibelikan material dan diplester tadinya tanah bergelombang. Hitam dan bau,” ujarnya.
Karjono mengatakan profesi Parimin memang buruh tani. Sepengetahuannya, Parimin tidak mempunyai sawah pribadi.
“Untuk kehidupan sehari-hari Cindy dari mbahnya yang bertani. Pak Cokro buruh tani, buruh tanah kelurahan setahu saya dia tidak punya sawah,” ujarnya.
Selain rumah dan pendidikan, menurutnya hal yang terpenting bagi Cindy saat ini adalah pakaian, makanan bergizi, dan vitamin.