Saat KPK Perlahan Menyingkirkan Novel Baswedan dan 74 Pegawai Berintegritas

12 Mei 2021 8:34 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
KPK kembali menjadi sorotan. 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan dinonaktifkan berdasarkan SK tertanggal 7 Mei.
ADVERTISEMENT
Awalnya, muncul kabar bahwa 75 ASN yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan dalam seleksi alih status pegawai KPK jadi ASN akan dipecat. Namun, kabar itu terus-terusan dibantah oleh pimpinan KPK.
Namun berdasarkan SK terbaru, sepertinya KPK benar-benar akan menyingkirkan pegawai berintegritas, salah satunya Novel Baswedan.
SK itu ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri. Sementara salinan yang sah ditandatangani Plh Kabiro SDM Yonathan Demme Tangdilintin.
Pelaksana Harian (Plh) Juru Bicara KPK Ali Fikri. Foto: Humas KPK
Dalam SK tersebut, salah satu poin menyatakan pegawai yang tak memenuhi syarat TWK menyerahkan tugas kepada atasannya sambil menunggu keputusan lebih lanjut.
KPK kemudian bersurat kepada KemenPANRB terkait dengan usulan formasi PNS. Hal ini kemudian dibenarkan Plt Jubir KPK Ali Fikri.
"Surat tersebut memang benar surat KPK yang dikirimkan kepada KemenPANRB sebagai salah satu proses dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi pegawai ASN," kata Ali.
ADVERTISEMENT
Ali menyatakan, KPK berharap dukungan positif dari media dan masyarakat agar semua proses alih status pegawai KPK menjadi ASN dan pemenuhan persyaratan struktur dan birokrasi kelembagaan bisa berjalan lancar dan tepat waktu.

Tes Wawasan Kebangsaan KPK yang Menjadi Masalah

Salah satu orang yang tak sepakat tes wawasan kebangsaan menjadi syarat seleksi pegawai KPK menjadi ASN adalah Novel Baswedan. Penyidik senior KPK itu menilai materi pertanyaan di dalam tes tersebut banyak yang bermasalah.
Ia mengaku masih ingat beberapa pertanyaan yang diajukan kepadanya dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Termasuk soal kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) hingga apakah ada kebijakan pemerintah yang merugikan.
"Saya ingin tegaskan bahwa tes TWK bukan seperti tes masuk seleksi tertentu yang itu bisa dipandang sebagai standar baku. Terlebih, ternyata pertanyaan-pertanyaan dalam tes TWK banyak yang bermasalah," ungkap Novel.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada contoh pertanyaan tersebut, Novel Baswedan berpendapat bahwa TWK tidak tepat bila digunakan untuk menjadi alat seleksi.
"TWK seperti itu tidak cocok digunakan untuk menyeleksi pegawai negara/aparatur yang telah bekerja lama terutama yang bertugas bidang pengawasan terhadap aparatur atau penegak hukum, apalagi terhadap pegawai KPK," tuturnya.
Penyidik Senior KPK Novel Baswedan meninggalkan ruang penyidikan usai menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (6/1). Foto: ANTARA FOTO/Gaih Pradipta
"Pegawai-pegawai KPK tersebut telah menunjukkan kesungguhannya dalam bekerja menangani kasus-kasus korupsi besar yang menggerogoti negara, baik keuangan negara, kekayaan negara, dan hak masyarakat. Hal itu semua merugikan negara dan masyarakat," imbuh dia.
Tes yang baru muncul dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 yang diteken Firli Bahuri itu berisi sejumlah pertanyaan yang tak ada hubungannya dengan tupoksi KPK. Seperti 'kapan menikah?' hingga 'bersedia lepas jilbab?'.
ADVERTISEMENT
Novel menilai, TWK tidak cocok dipakai menyeleksi pegawai KPK yang selama ini telah bertugas menangani kasus-kasus korupsi besar. Tes tersebut baru relevan jika menyeleksi calon pegawai dari sumber fresh graduate atau lulusan baru, dan tidak boleh dibumbui pertanyaan yang menyerang privasi, kehormatan, dan kebebasan beragama.
"Dengan demikian menyatakan tidak lulus TWK terhadap 75 pegawai KPK yang kritis adalah kesimpulan yang sembrono dan sulit untuk dipahami sebagai kepentingan negara," tuturnya.
"Sekali lagi, saya ingin tegaskan bahwa tes TWK bukan seperti tes masuk seleksi tertentu yang itu bisa dipandang sebagai standar baku. Terlebih, ternyata pertanyaan-pertanyaan dalam tes TWK banyak yang bermasalah," sambungnya.
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Selain pertanyaan yang dinilai privasi, kehormatan, dan kebebasan beragama, kenaikan tarif dasar listrik juga ditanyakan dalam TWK. Pertanyaan lengkapnya: 'Apakah Saudara setuju dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan tarif dasar listrik (TDL)?'.
ADVERTISEMENT
Novel pun menjawabnya seperti ini:
Saya merasa tidak ahli bidang politik dan ekonomi, dan tentunya karena adalah penyidik Tindak Pidana Korupsi, saya lebih tertarik untuk melihat tentang banyaknya dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan listrik negara, dan inefisiensi yang menjadi beban bagi tarif listrik.
Pertanyaan lain yang ditanyakan adalah 'apakah ada kebijakan pemerintah yang merugikan Anda?.
Ketika itu, Novel menyatakan secara pribadi tidak ada kebijakan pemerintah yang merugikan. Meski demikian, sebagai warga negara, ia dirugikan dengan beberapa kebijakan pemerintah seperti revisi UU KPK yang kini menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019.
"Hal itu saya sampaikan karena dalam pelaksanaan tugas di KPK saya mengetahui beberapa fakta terkait dengan adanya permainan/pengaturan dengan melibatkan pemodal (orang yang berkepentingan), yang memberikan sejumlah uang kepada pejabat tertentu untuk bisa meloloskan kebijakan tertentu," ujar Novel.
Ilustrasi KPK. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
"Walau pun ketika itu belum ditemukan bukti yang memenuhi standar pembuktian untuk dilakukan penangkapan. Tetapi fakta-fakta tersebut cukup untuk menjadi keyakinan sebagai sebuah pengetahuan," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Novel menegaskan, apabila dalam tes itu ia menjawab seluruh kebijakan pemerintah baik, hal tersebut merupakan sebuah ketidakjujuran yang bertentangan dengan norma integritas.
"Kita tentu memahami bahwa pemerintah selalu bermaksud baik, tetapi faktanya dalam proses pembuatan kebijakan atau UU seringkali ada pihak tertentu yang memanfaatkan dan menyusupkan kepentingan sendiri atau orang lain hal itu dilakukan dengan sejumlah imbalan (praktik suap), yang akhirnya kebijakan atau output UU tersebut merugikan kepentingan negara dan menguntungkan pihak pemodal (pemberi uang yang berkepentingan)," pungkasnya.
***
Saksikan video menarik di bawah ini: