Saat Merdeka Terlambat Menggema di Bali dan Nusa Tenggara

17 Agustus 2018 12:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi rumah penculikan Sukarno-Hatta di Rengasdengklok. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi rumah penculikan Sukarno-Hatta di Rengasdengklok. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
ADVERTISEMENT
Jauhnya jarak Jakarta dengan wilayah-wilayah di Bali dan Nusa Tenggara Barat, menjadi satu dari sekian hambatan tersiarnya berita proklamasi. Alhasil kabar kemerdekaan Indonesia tersebar bak desas-desus, dari satu mulut ke mulut yang lain.
ADVERTISEMENT
Kondisi Bali menjelang revolusi dipenuhi dengan kebimbangan. Teriakan merdeka belum terdengar. Radio umum dan alat komunikasi dirusak oleh Jepang yang berusaha menghalangi tersiarnya berita proklamasi dari Jakarta.
Selang beberapa hari setelah 17 Agustus 1945, keadaan belum banyak berubah di Bali. Serdadu Jepang masih terlihat angkuh. Radio yang mengudara pun hanya boleh menyiarkan propaganda Jepang. Padahal kala itu kaisar mereka sudah menyatakan kalah perang dan menyerah kepada sekutu.
Presiden Sukarno (tengah) didampingi Wapres Mohammad Hatta (kanan) membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1945. (Foto: ANTARA FOTO/IPPHOS)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Sukarno (tengah) didampingi Wapres Mohammad Hatta (kanan) membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1945. (Foto: ANTARA FOTO/IPPHOS)
Desas-desus proklamasi
Kendati begitu, sejumlah pemuda-pemudi Bali sudah mengetahui kabar proklamasi melalui komunikasi diam-diam dengan rekannya di Pulau Jawa. Mereka lantas meneruskan kabar itu secara bisik-bisik kepada rakyat di desa.
Sayangnya, kabar yang seharusnya membahagiakan ini tak begitu saja mereka yakini. Mereka masih menunggu kepastian kabar dari seorang utusan Bali yang melawat ke Jakarta, yakni I Gusti Ketut Pudja.
ADVERTISEMENT
Ketut Pudja ialah satu dari sekian orang yang menghadiri proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Pria kelahiran 19 Mei 1908 itu ikut serta dalam perumusan dasar-dasar negara melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai wakil dari Sunda Kecil.
Ketut Pudja juga hadir dalam perumusan naskah teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Oleh karenanya, kabar proklamasi dari mulut Ketut Pudja sangat dinantikan oleh rakyat Bali.
Seraya menunggu kedatangan Ketut Pudja, pada 21 Agustus 1945 pemerintah Jepang di Bali akhirnya mengumumkan bahwa mereka telah menyerah kepada sekutu dalam Perang Dunia II. Mereka juga mengabarkan adanya peristiwa proklamasi Indonesia merdeka di Jakarta.
Dua hari kemudian yakni 23 Agustus 1945, Ketut Pudja akhirnya tiba. Sebelum menuju Singaraja, Ketut Pudja terlebih dahulu singgah di Kota Negara untuk menyampaikan kabar kemerdekaan kepada para pemuda di sana. Berita dari Pudja disambut dengan pengibaran bendera Merah Putih yang untuk pertama kalinya berkibar di Bali.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan warga Negara yang sudah merayakan kemerdekaan, pemuda revolusioner lainnya belum mengetahui kepastian tersebut. Setelah didesak, barulah pada 24 Agustus 1945, Ketut Pudja menyampaikan perihal status Indonesia sebagai negara yang sudah terbebas dari penjajah. Ia sekaligus mengumumkan pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda Kecil serta memberi mandat kepada Ida Bagus Putu Manuaba sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia di Provinsi Sunda Kecil.
Namun, kabar resmi ini tak dapat dengan cepat menyebar luas ke pelosok wilayah di Bali. Sebab hambatannya tak hanya dari pihak Jepang, tapi juga jarak berkilo-kilometer yang mesti ditempuh melalui jalur darat, demi menyiarkan berita proklamasi.
Alhasil, penduduk Tabanan yang berdekatan dengan Denpasar, baru mendengar gema kemerdekaan pada 1 September 1945. Sedangkan di Bangli, Klungkung, dan Karangasem, baru mengetahui berita proklamasi sebulan setelahnya yakni pada Oktober 1945.
Sejumlah warga berkumpul di tugu proklamasi saat Perayaan Hari Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1947.  (Foto: ANTARA FOTO/IPPHOS)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah warga berkumpul di tugu proklamasi saat Perayaan Hari Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1947. (Foto: ANTARA FOTO/IPPHOS)
Mempertanyakan kemerdekaan
ADVERTISEMENT
Meski demikian, gaung proklamasi dari Ketut Pudja tak serta merta menimbulkan suasana gegap-gempita di tengah masyarakat Bali. Banyak dari mereka, baik dari kalangan elite maupun rakyat, yang masih belum memahami apa yang sebetulnya terjadi. Bahkan sejumlah pihak yang sudah memahami keadaan, masih diliputi beragam tanya.
“Bagaimana peralihan kekuasaan akan dilakukan?” dan “Bagaimana bila situasi akan semakin kacau balau?” ialah salah dua pertanyaan terkait kecemasan masyarakat dalam merespons kemerdekaan kala itu.
Kenyataannya, langkah Ketut Pudja, Manuaba, dan para pemuda pejuang untuk menegakkan kemerdekaan di Bali penuh tantangan. Tidak semua orang bisa memahami makna kemerdekaan serta hubungan Bali dengan pemerintah pusat di Jakarta.
Sejarah kemudian mencatat, perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Bali, adalah juga perjuangan membangun kesadaran rakyat tentang makna kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Gema diredam di Mataram
Lain di Bali, lain juga di Nusa Tenggara Barat. Jaraknya yang lebih jauh membuat kabar proklamasi lebih lama diketahui. Selain itu, komunikasi dengan Pulau Jawa hampir sepenuhnya terputus sejak Perang Dunia II pecah. Kondisi ini menyebabkan tak ada seorang pun yang tahu tentang berita kekalahan Jepang, apalagi proklamasi 17 Agustus tepat pada waktunya.
Mataram misalnya. Berita penyerahan Jepang kepada sekutu sama sekali tidak diketahui oleh rakyat. Radio mereka sejak lama dirampas oleh Jepang. Informasi lisan dari beberapa Heiho dan Sainendan yang baru pulang dari garis depan tak dapat dengan mudah dipercaya.
Jepang memang berusaha merahasiakan keadaan yang sebenarnya untuk menghindari pembalasan rakyat. Mereka baru secara resmi mengumumkan penyerahannya pada 27 September 1945.
ADVERTISEMENT
Lantas pada 15 Oktober 1945, Jepang secara resmi mengoper pemerintahan kepada Indonesia yang dilaksanakan di Gedung Mardi Bekso Mataram. Kala itu bendera Merah Putih berkibar menggantikan bendera Jepang, dan Lombok menyatakan diri masuk ke wilayah Republik Indonesia.
Sementara itu, sejumlah tawanan asal Lombok yang telah dibebaskan dari tahanan di Surabaya, kembali ke kampung halamannya dan membawa surat kabar soal situasi politik Indonesia yang sebenarnya.
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi yang sama dari Presiden Sukarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI Tahun 1945. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan dan ANTARA FOTO/IPPHOS)
zoom-in-whitePerbesar
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi yang sama dari Presiden Sukarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI Tahun 1945. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan dan ANTARA FOTO/IPPHOS)
Pelajar pembawa kabar
Begitu pula di Sumbawa. Pada 31 Agustus 1945, Ken Kanrikan --petugas manajemen provinsi-- memberi jabatan kepada orang Indonesia tanpa menyinggung soal proklamasi di Jakarta. Ia hanya menjelaskan sedikit tentang perdamaian antara Jepang dan sekutu. Jepang juga masih menampakkan kewenangan dalam urusan keamanan yang membuat rakyat masih takut terhadapnya.
ADVERTISEMENT
Hingga pada September 1945, para pelajar Bima yakni M. Nur Husain dan kawan-kawannya datang membawa kabar gembira dari Singaraja. Utusan Manuaba itu ditugasi menyebarkan berita proklamasi dan membawa surat-surat untuk pemerintah setempat yang berisi instruksi agar segera dibentuk KNI di NTB, serta pengibaran bendera Merah Putih.
Tepat pada 17 September 1945, Ishak Abdullah dan Amin Saleh membentuk Panitia Pembentukan KNI cabang Bima demi mengobarkan semangat perjuangan dan kecintaan kepada Tanah Air. Sang Saka Merah Putih pun berkibar dari bumi Sumbawa pada 31 Oktober 1945.
-----------------------
Simak ulasan lengkap Gaung Proklamasi dengan follow topik Penyelamat Proklamasi. Story-story akan kami sajikan pada Kamis (16/8) hingga Sabtu (18/8).