Saat Petang Kisah-kisah di Lapak Cuanki Pusdai Bandung Dimulai

27 April 2025 20:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana lapak cuanki di kawasan Pusdai Bandung, Minggu (27/4/2025).  Foto: Robby Bouceu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana lapak cuanki di kawasan Pusdai Bandung, Minggu (27/4/2025). Foto: Robby Bouceu/kumparan
ADVERTISEMENT
Langit mulai berubah gelap saat Andri menyiapkan lapak dagangannya. Panci dan centong yang beradu mengeluarkan suara nyaring, ditandu oleh pria berusia 29 tahun itu.
ADVERTISEMENT
Satu per satu komponen dagangan ia susun rapi. Bumbu dan mi di sebelah kanan gerobak, dan panci besar berisi cuanki di sebelah kirinya.
Tak lupa, terpal oranye andalan pun digelar untuk tempat duduk para pemburu kuah hangat melawan dinginnya Kota Bandung.
Di pinggir Jalan Surapati atau kawasan Pusdai, lapak Andri remang belaka. Hanya diterangi lampu-lampu kecil yang mengambil daya dari aki tua, cahaya redup terbantu lampu jalanan.
Meski begitu, aroma cuanki yang dijualnya yang sesekali terendus ke jalan, mampu mengundang siapa saja yang lewat ke lapaknya.
Pria asli Bandung itu telah berjualan cuanki di sana lebih dari 5 tahun, sejak sebelum wabah COVID merebak. Duka berjualan di tepi jalan tak luput ia rasakan. Termasuk saat hujan mengguyur.
ADVERTISEMENT
"Kalau hujan, misal gerimis ya bubar. Jadi misbar (gerimis bubar). Kalau enggak mau begitu ya mungkin mesti kuat modal ya,” ucapnya saat tengah mencari potongan tahu di dalam panci besarnya, Minggu (27/4).
“Misal beli kursi dan meja payung,” ungkapnya.
Suasana lapak cuanki di kawasan Pusdai Bandung, Minggu (27/4/2025). Foto: Robby Bouceu/kumparan
Malam Sabtu dan Minggu adalah momen yang paling dinantinya, karena lebih banyak orang yang mampir ke lapak.
Untuk satu porsi cuanki komplet, Andri mematok harga Rp 15 ribu. Ia sendiri berdagang biasanya hingga pukul 02.00 WIB alias dini hari.
Meski saban harinya mesti melawan kantuk, dengan pola waktu jualan itu jugalah dia kerap memperoleh kisah-kisah berbeda dari pembelinya. Termasuk hal jenaka.
Dia bercerita, bila telah lewat tengah malam, lapaknya kerap disambangi konsumen tak biasa, seperti pemabuk misalnya.
ADVERTISEMENT
"Jelas ada. Tapi enggak rese. Mereka yang habis mabuk biasanya cari yang pedes, biar segar, ketawa-ketawa aja di sini," tuturnya.
"Karena mereka juga udah paham sih, kalau kita kan jualan di sini," ucapnya.
Selain orang mabuk, lapak Andri juga kerap jadi pilihan muda-mudi buat berkencan. Sembari menyantap cuanki, mereka nikmati suasana Kota Bandung dari pinggir jalan bersama pasangannya.
Suasana lapak cuanki di kawasan Pusdai Bandung, Minggu (27/4/2025). Foto: Robby Bouceu/kumparan
Andri memilih menetap di satu titik ketimbang berkeliling. Lebih untung katanya. Sebab, dunia tukang cuanki keliling sudah banyak berubah.
Modal bahan naik, tenaga yang dikeluarkan lebih besar, tetapi pembeli di perumahan kadang hanya beli Rp 3 ribu, Rp 4 ribu. Daya jual macam itu tak bisa menutup modal.
Di lapaknya kini, pendapatannya lebih menentu. Dia pun punya beberapa pelanggan tetap. Salah satunya adalah Rama yang mengaku cukup sering singgah di lapakan cuanki kawasan Pusdai ini.
ADVERTISEMENT
Malam ini, Rama menyantap cuanki sekalian istirahat sejenak sebelum pulang ke rumahnya di Ciumbuleuit.
“Iya lumayan sering, karena enakeun aja di sini. Sekarang sekalian istirahat mau pulang. Tadi habis ketemu pacar,” katanya dengan senyum terpacar di wajah.
Rama tak sendiri, terlihat juga beberapa ibu-ibu, pasangan kekasih, hingga bapak-bapak yang menggendong bayinya turut menikmati suasana di sana.
Lapakan cuanki di Pusdai pun kini menjadi salah satu street food yang memeriahkan kuliner di Kota Kembang. Andri pun tak berjualan sendiri, ada beberapa lapak yang turut berdiri di lokasi ini.