Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Terdapat 11 poin aturan larangan dalam telegram tersebut, salah satunya meminta media tak menayangkan atau menampilkan aksi kekerasan saat polisi melakukan penindakan.
Berikut isi lengkap telegram tersebut:
- Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.
- Tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.
- Tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.
- Tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan atau fakta pengadilan.
- Tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan
- Menyamarkan gambar dan identitas korban kejahatan seksual, keluarganya, serta pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.
ADVERTISEMENT
- Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual, keluarganya, serta orang diduga pelaku dan keluarganya yaitu korban di bawah umur.
- Tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan reka ulang bunuh diri dan identitas pelaku.
- Tidak menayangkan tawuran atau perkelahian secara detail.
- Dalam upaya penangkapan pelaku tidak membawa media, dan tak boleh disiarkan secara live.
- Tidak menampilkan gambar secara eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.
Kabagpenum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Ahmad Ramadhan, mengatakan telegram ditujukan untuk bagian Humas Polri. Alasannya untuk menunjukkan kinerja Polri yang semakin baik dan humanis.
Ahmad Ramadhan menyatakan media yang dimaksud di telegram tersebut merupakan media internal Polri. Hal itu tak berlaku untuk media pada umumnya.
ADVERTISEMENT
“Ini ditujukan untuk internal bukan untuk media (umum). Artinya media yang dimaksud pun media internal,” ujar Ahmad.
Polri Dikritik
Penerbitan telegram tersebut kemudian memantik kritik dari sejumlah pihak. Ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan meski aturan tersebut niatnya hanya untuk media internal Polri, bukan tidak mungkin menyasar media secara umum.
"Itu sangat mungkin dikenakan ke media massa. Sebab humaskan berelasi dengan media massa," ujar Feri.
Ia menganggap bentuk telegram seperti itu sangat tidak demokratis. Sebagai institusi negara, Polri seharusnya memberikan informasi yang terbuka dan transparan kepada publik.
"Kepolisian modern itu sangat terbuka. Sebagai manusia, polisi juga punya kelemahan manusiawi. Dan semakin terbuka kian membuat polisi profesional," jelas Feri.
Lebih lanjut, Feri menyatakan surat itu tidak bisa disebut sebagai telegram karena ditembuskan ke Kapolri. Sementara peraturan yang ada di dalamnya juga berasal dari Kapolri.
ADVERTISEMENT
"Teknis administrasinya itu telegram Kapolri. Tugas humas menyebarluaskannya saja. Jika ditembuskan ke Kapolri berarti bukan telegram Kapolri dong," ujar Feri.
Ia menyebut, keliru bila surat itu disebut sebagai telegram Kapolri kalau masih ditembuskan ke yang bersangkutan.
Surat telegram sendiri dapat diartikan sebagai pemberitahuan secara resmi di dalam instansi, lembaga, dan organisasi.
"Kealpaan administrasi seperti ini terjadi di berbagai lembaga," ucapnya.
Polri Cabut Telegram dan Minta Maaf
Setelah menuai kritik, Polri langsung mencabut surat tersebut. Pembatalan telegram tersebut tertuang pada telegram baru bernomor ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 yang juga diteken Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono.
Berikut bunyi telegram pembatalan tersebut:
Sehubungan dengan referensi di atas kemudian disampaikan kepada kasatwil bahwa ST Kapolri sebagaimana nomor empat di atas dinyatakan dicabut atau dibatalkan.
ADVERTISEMENT
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahkan langsung meminta maaf mengenai polemik yang ditimbulkan atas telegram yang melarang media menampilkan arogansi polisi.
"Mohon maaf atas terjadinya salah penafsiran yang membuat ketidaknyamanan teman-teman media. Sekali lagi kami selalu butuh koreksi dari teman-teman media dan eksternal untuk perbaikan institusi Polri agar bisa jadi lebih baik," kata Sigit.
Ia menyatakan pada dasarnya ingin anggota Polri di lapangan bisa tampil secara tegas dan humanis.
"Arahan saya adalah masyarakat ingin Polri bisa tampil tegas namun humanis. Namun kita lihat di tayangan media masih banyak terlihat tampilan anggota yang arogan, oleh karena (itu) tolong anggota untuk lebih berhati-hati dalam bersikap di lapangan karena semua perilaku anggota pasti akan disorot," ucap Sigit.
ADVERTISEMENT
Eks Kabareskrim itu awalnya berharap munculnya telegram ini dapat memperbaiki sikap anggota di lapangan. Namun rupanya terjadi salah penafsiran isi dari telegram itu.
"Mungkin di penjabaran STR tersebut anggota salah menuliskan sehingga menimbulkan beda penafsiran di mana STR yang dibuat tersebut keliru sehingga malah media yang dilarang merekam anggota yang berbuat arogan di lapangan," ucap Sigit.
Meski telegram tersebut dicabut, Sigit tetap memerintahkan kepada seluruh anggota Polri di lapangan agar tidak lagi bersikap arogan.
"Jangan sampai ada beberapa perbuatan oknum yang arogan, merusak satu institusi, karena itu saya minta agar membuat arahan agar anggota lebih hati-hati saat tampil di lapangan, jangan suka pamer tindakan yang kebablasan dan malah jadi terlihat arogan," kata Sigit.
ADVERTISEMENT
"Jadi, dalam kesempatan ini saya luruskan, anggotanya yang saya minta untuk memperbaiki diri untuk tidak tampil arogan namun memperbaiki diri sehingga tampil tegas. Namun tetap terlihat humanis. Bukan melarang media untuk tidak boleh merekam atau ambil gambar anggota yang arogan atau melakukan pelanggaran," ucap Sigit.