Saat Putusan MK Hanya Jadi Pepesan Kosong di Mata DPR

22 Agustus 2024 9:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menkumham Supratman Andi Agtas dan Mendari Tito Karnavian dan perwakilan fraksi yang menyetujui RUU Pilkada melambaikan tangan usai menandatangani naksah persetujuan dalam rapat pengambilan keputusan pembahasan RUU Pilkada di DPR RI, Rabu (21/8/2024) Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Menkumham Supratman Andi Agtas dan Mendari Tito Karnavian dan perwakilan fraksi yang menyetujui RUU Pilkada melambaikan tangan usai menandatangani naksah persetujuan dalam rapat pengambilan keputusan pembahasan RUU Pilkada di DPR RI, Rabu (21/8/2024) Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Baleg DPR melakukan manuver kilat merevisi UU Pilkada. Waktunya, tak sampai satu hari sudah disepakati untuk disahkan di paripurna DPR hari ini, Kamis (22/8).
ADVERTISEMENT
Sayangnya, DPR yang dianggap jadi harapan rakyat malah bertindak sebaliknya. Mereka mengabaikan 2 putusan MK soal Pilkada. 9 Dari 10 fraksi di DPR menganggap putusan MK seperti pepesan kosong.
Mahkamah Konstitusi sempat memutuskan 2 gugatan terkait Pilkada. Pertama, soal syarat usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan calon. Ini sekaligus menganulir putusan MA yang menyebut syarat usia calon kepala daerah dihitung saat pelantikan.
Putusan itu berimplikasi salah satunya pada gagalnya anak Presiden Jokowi yang juga Ketum PSI Kaesang Pangarep. Sebab, Kaesang baru 30 tahun pada 25 Desember 2024, sedangkan penetapan calon oleh KPU digelar pada 22 September 2024.
Kedua, putusan soal syarat partai politik mengajukan calon di Pilkada. Putusan MK membuka lebar semua partai politik bisa mengajukan calon karena syaratnya bukan jumlah kursi di DPRD, tapi syarat minimal suara dengan klasifikasi jumlah DPT di daerah itu.
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Shutterstock
DPR memang berwenang penuh dalam menyusun undang-undang. Tapi, dalam menyusun undang-undang, DPR harusnya memperhatikan putusan MK sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan tepatnya di Pasal 10.
ADVERTISEMENT
Jauh panggang dari api, DPR malah mengabaikan bahkan memodifikasi putusan MK lalu memasukkan dalam revisi UU Pilkada.
Untuk syarat usia, DPR memilih menggunakan putusan MA, bukan putusan MK. Mereka beralasan, klausul syarat usia hanya ada di pertimbangan, bukan di bagian putusan MK. Padahal, pertimbangan merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah putusan.
Lebih mengherankan lagi, Baleg DPR memodifikasi putusan MK soal syarat partai politik mengajukan calon lalu memasukkan ke revisi UU Pilkada.
Dalam pasal 40, DPR mempertahankan ayat 1, yakni jumlah minimal kursi di DPRD 20% dan syarat minimal 25% suara di Pileg sebagai syarat mengajukan.
Lalu, putusan MK, diakali DPR dengan menambah Pasal 40 ayat 2. Tapi, ini bukan berlaku untuk semua partai politik. Baleg mengklasifikasikan, syarat minimal suara berdasarkan DPT tiap daerah hanya berlaku bagi partai politik yang tidak memiliki kursi.
Suasana rapat pengambilan keputusan pembahasan RUU Pilkada antara Baleg DPR dengan Pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Inilah yang mengundang kemarahan publik. Tapi, Baleg DPR bergeming. Mereka malah menyebut ini sebagai terobosan hukum dalam penyusunan undang-undang.
ADVERTISEMENT
"Kita mengakomodir hak saudara-saudara kita dari partai-partai yang tidak mempunyai kursi di DPRD. Kita restorasi akibat kegaduhan politik akibat penyamarataan membabi buta partai peraih kursi dan tidak," kata Waketum Gerindra Habiburokhman.
PDIP sebagai satu-satunya fraksi juga mengingatkan akan ada konsekuensi hukum bila ini terus bergulir.
"Apa yang dibacakan TA tadi Pasal 40 Ayat 1 UU Nomor 10 tahun 2016 itu telah dinyatakan MK inkonstitusional, tolong itu dicatat baik-baik. Artinya dalam hal ini ada pemerintah lengkap dan kita semuanya yang dibacakan tadi itu adalah inkonstitusional," ujar Putra Nababan dalam rapat tersebut.