Saat Sunda Kelapa Jadi Ladang Rezeki bagi Buruh Angkut dari Daerah

6 Maret 2018 16:46 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buruh Angkut Pelabuhan Sunda Kelapa (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Buruh Angkut Pelabuhan Sunda Kelapa (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sunda Kelapa adalah nama pelabuhan yang berada di ujung utara Jakarta. Pelabuhan ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Pada zaman kerajaan, Sunda Kelapa adalah pusat perdagangan. Kini, meski telah dimakan usia, pelabuhan ini masih tetap ramai.
ADVERTISEMENT
Banyak orang mengais rezeki di Pelabuhan Sunda Kelapa. Ada pedagang, nelayan, Anak Buah Kapal (ABK), pemberi jasa sampan, hingga buruh angkut. Semua tumpah ruah menjadi satu.
Mereka memenuhi segala sudut Pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka hadir dari berbagai daerah di Indonesia. Keragaman adalah pemandangan sehari-hari di Sunda Kelapa.
Soal buruh angkut, mereka adalah jenis pekerja yang banyak hadir di Sunda Kelapa. Para buruh angkut hadir dan bekerja memikul beratnya barang-barang yang berlabuh.
Tak peduli panas terik menyengat, berbagai barang tetap mereka angkut demi mendapat keping-keping rupiah.
Dari penuturan Karwin, seorang buruh angkut tertua di Sunda Kelapa, kebanyakan buruh angkut di lingkungan kerjanya berasal dari daerah. Ada dari Purwokerto, kampung halamannnya, dan juga dari Pekalongan.
Karwin, Buruh Angkut Pelabuhan Sunda Kelapa (Foto: Satrio Rifqi Firmansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Karwin, Buruh Angkut Pelabuhan Sunda Kelapa (Foto: Satrio Rifqi Firmansyah/kumparan)
Paling banyak buruh angkut menurut Karwin adalah asal Pekalongan. Katanya, mandor di pelabuhan juga banyak yang berasal dari Pekalongan. Oleh karena itu, wajar saja jika para mandor itu menarik para warga Pekalongan untuk menjadi buruh angkut di Sunda Kelapa.
ADVERTISEMENT
Di daerah, pekerjaan masih sulit didapat. Pergi ke kota adalah adalah pilihan lantaran tak ada keahlian khusus yang dikuasai
"Alasannya di kampung itu pencahariannya susah. Mau nyadap kelapa enggak bisa. Akhirnya ikut-ikut saja sama teman-teman di sini. Banyak temannya. Kalau saya sendirian itu saya enggak ada peluangnya. Namanya orang bodoh itu enggak bisa," cerita Karwin buruh angkut tertua di Sunda Kelapa kepada kumparan (kumparan.com), Minggu (4/3).
Bekerja di Sunda Kelapa juga menjadi ajang pembuktian bagi sebagian buruh angkut, Karwin salah satunya. Di kampung halamannya dulu, ada berita bila bekerja sebagai buruh angkut di Sunda Kelapa begitu menguntungkan.
"Ya saya dulunya kan ikut teman. Ada berita kalau kerja di sini menguntungkan ya jadi saya membuktikan," kata Karwin.
Buruh Angkut Pelabuhan Sunda Kelapa (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Buruh Angkut Pelabuhan Sunda Kelapa (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Lantas apakah kerja sebagai buruh angkut di Jakarta memang menguntungkan?
ADVERTISEMENT
Jawabannya bisa iya dan bisa tidak. Iya karena selama 30 tahun Karwin menjalani pekerjaan itu, ia, istri dan ketiga anaknya masih tercukupi kebutuhannya. Ia juga bisa memiliki rumah sendiri.
Meskipun, penghasilannya itu tak mampu membuat ketiga anaknya mendapat pendidikan yang tinggi. Tapi setidaknya, dengan hanya lulus SMP, anak-anak Karwin nantinya bisa bekerja yang lebih layak darinya.
Sementara, tidak untungnya adalah soal kondisi fisik dan perasaan hati. Kondisi fisik buruh angkut haruslah kuat memikul beban ratusan ton barang. Pegal dan linu adalah rasa sakit yang menjadi ganjaran. Sementara, perasaan hati adalah soal kerinduan dengan keluarga yang jauh di mata.
Lebih sial lagi bila tertimpa barang yang diangkut. Tak ada perawatan khusus yang akan diterima dari mandor ataupun tempat bekerja.
ADVERTISEMENT
Memang, semua pekerjaan ada nilai plus dan minusnya, tinggal bagaimana manusia mensyukurinya.