Saat Sungkono Ingin Potong Jari Bung Tomo karena Siaran Radio

10 November 2018 13:45 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bung Tomo. (Foto: Wikipedia)
zoom-in-whitePerbesar
Bung Tomo. (Foto: Wikipedia)
ADVERTISEMENT
Sutomo atau lebih dikenal sebagai Bung Tomo adalah orator ulung. Suaranya khas, menggelegar, membuat siapa pun yang mendengarnya ingin berkelahi dengan para kolonialis.
ADVERTISEMENT
Selama pertempuran di Surabaya, Bung Tomo mengambil peran untuk itu. Ia tak henti menyemangati Arek Suroboyo untuk melawan sekutu. Semua itu disampaikannya melalui stasiun radio miliknya, Radio Pemberontak.
“Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap ‘Merdeka atau mati’. Allahuakbar!” ujar Bung Tomo dalam salah satu pidatonya.
Pertempuran Surabaya 10 November 1945. (Foto: Wikimedia)
zoom-in-whitePerbesar
Pertempuran Surabaya 10 November 1945. (Foto: Wikimedia)
Di satu sisi, Radio Pemberontak yang mengudara di kala pertempuran memang menjadi ‘hiburan’ tersendiri bagi para pejuang. Namun di sisi lain, informasi yang kadung diucap Bung Tomo menjadi simalakama. Lebih dari sekali ia membocorkan informasi yang justru menguntungkan pihak Sekutu.
Salah seorang pemimpin Arek Suroboyo, Isa Edris, bahkan pernah memperingati Bung Tomo agar tak banyak mencampuri urusan militer. Tanpa basa-basi, Edris menyebut apa yang dilakukan Bung Tomo membahayakan pasukannya.
ADVERTISEMENT
“Bung Tomo sering menamakan satuan secara rinci dan posisi mereka, bahkan melontarkan saran-saran yang seringkali merupakan taktik militer yang sangat buruk dan mungkin malah membahayakan,” kata Edris dalam sebuah wawancara dengan ABRI yang dikutip dari Surabaya 1945: Sakral Tanahku.
Edris menjelaskan, Inggris yang memonitor siaran Radio Pemberontak jadi tahu bahwa ada meriam di sekitar viaduct (konstruksi jalan rel kereta). Lantaran informasi itu bocor karena ulah Bung Tomo, penggunaan meriam itu pun dibatalkan. Meriam itu lalu disembunyikan di sekolah Muhammadiyah di Kampung Genteng.
Pertempuran Surabaya 10 November 1945. (Foto: Dok. iwm.org.uk)
zoom-in-whitePerbesar
Pertempuran Surabaya 10 November 1945. (Foto: Dok. iwm.org.uk)
Keluhan Edris itu jelas bukan apa-apa. Komandan Pertahanan Kota Surabaya Kolonel Sungkono bahkan sempat berpikir untuk memotong jari Bung Tomo. Hal itu lantaran dirinya tak kuasa menahan kekesalannya terhadap kecerobohan penyiar radio tersebut.
ADVERTISEMENT
Sikap Sungkono yang marah besar kepada Bung Tomo dituturkan oleh kawannya, dr Williater Hutagalung Putra. Kala itu, Williater menyebut sikap Sungkono ini terbilang tak biasa. Sebabnya, selama ini Sungkono dikenal jarang marah dan selalu bersikap tenang dan sabar.
“Kirim Bung Tomo ke sini! Kita akan potong jarinya untuk dijadikan peluru!” kata Sungkono dalam Autobiografi Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa.
Kolonel Sungkono. (Foto: Dok. gahetna.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Kolonel Sungkono. (Foto: Dok. gahetna.nl)
Menunurut kesaksian Williater, kemarahan Sungkono dipicu seruan Bung Tomo di radio. Saat itu Bung Tomo membeberkan keberadaan pasukan yang kekurangan makanan. Ia bahkan meminta bagian perbekalan dapur umum untuk mengantarkan makanan ke pasukan tersebut.
Namun niat baik itu justru berbuah malapetaka. Informasi itu didengar pihak musuh. Hasilnya, pasukan yang kekurangan makanan itu pun diberondong peluru.
ADVERTISEMENT
Sungkono sendiri bukan orang sembarangan. Pada pertempuran Surabaya, ia didapuk menjadi Komandan Pertahanan Kota Surabaya. Selama 21 hari perang berkecamuk, ia turun di medan laga. Ini berbeda dengan Bung Tomo yang menghindari pertempuran dan memilih berjuang melalui radio.
Pertempuran Surabaya 10 November 1945. (Foto: Facebook/Handogo Sukarno)
zoom-in-whitePerbesar
Pertempuran Surabaya 10 November 1945. (Foto: Facebook/Handogo Sukarno)
Menanggapi banyaknya komentar tak sedap yang mengarah kepadanya, Bung Tomo tak pernah merasa bersalah. Dengan sangat percaya diri, ia menyebut bahwa tindakannya itu demi perjuangan warga Surabaya.
Moso Inggris percaya sama aku (Masa Inggris percaya sama saya),” kilah Bung Tomo dalam Memoar Hario Kecik.
Sikap keras kepala Bung Tomo ini yang selanjutnya juga membuat Presiden Sukarno geram. Pada 17 September 1947, pemerintah pusat melarangnya berbicara. Sejak saat itu Radio Pemberontak berhenti mengudara. Siaran Bung Tomo dinilai bising dan menganggu jalannya diplomasi Indonesia.
ADVERTISEMENT
---------------------------------------
Simak story menarik lainnya mengenai Pertempuran Surabaya dalam topik 10 November 1945 .