Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
KPK menemukan praktik menyontek di sekolah maupun kampus masih terjadi. Bahkan angkanya cukup tinggi. Hal itu terpotret dari Survei Penilaian Integritas Pendidikan Nasional 2024 yang dilakukan oleh KPK.
ADVERTISEMENT
Survei dilakukan dalam rentang 22 Agustus 2024-30 September 2024. Melibatkan 449.865 responden yang termasuk peserta didik (murid-mahasiwa), tenaga pendidik (guru-dosen), orang tua-wali, serta pimpinan satuan pendidikan.
Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana menyebut bahwa ada sejumlah temuan menarik dari hasil survei tersebut. Salah satunya, kasus menyontek.
"Dalam kejujuran akademik. Kasus menyontek masih ditemukan pada 78% sekolah dan 98% kampus," ujar Wawan dalam acara Peluncuran Indeks Integritas Pendidikan 2024 di Gedung ACLC KPK, Kamis (24/4).
"Dengan kata lain, menyontek masih terjadi pada mayoritas sekolah maupun kampus," sambung Wawan.
Temuan menarik lain yang dipaparkan Wawan adalah terkait plagiarisme. Menurut dia, kasus plagiat masih terjadi pada 43% kampus serta 6% sekolah.
Selain itu, temuan lainnya adalah terkait gratifikasi. Menurut Wawan, sebanyak 30% guru-dosen dan 18% kepala sekolah-rektor masih menganggap pemberian hadiah dari siswa atau wali murid adalah sesuatu hal yang wajar diterima
ADVERTISEMENT
Pada 65% sekolah juga ditemukan bahwa orang tua terbiasa memberikan bingkisan/hadiah kepada guru pada saat hari raya atau kenaikan kelas
"Bahkan menurut orang tua di 22% sekolah, masih ada guru yang menerima bingkisan agar nilai siswa menjadi bagus atau agar siswa bisa lulus," ucap dia.
Dalam survei, KPK juga menemukan ada beberapa hal yang terkait penyimpangan dana bantuan operasional sekolah. Menurut dia, ada 12% sekolah yang menggunakan dana bos tidak sesuai peruntukannya atau aturan-aturan yang terkait.
KPK Ungkap SPI Pendidikan Nasional 2024 Dapat Skor 69-50
KPK mengungkap skor Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan tahun 2024 berada di angka 69,50. Hasil ini turun dari skor SPI Pendidikan tahun 2023 yang mencapai 73,7.
ADVERTISEMENT
Skor ini diumumkan dalam Peluncuran Indeks Integritas Pendidikan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta Selatan pada Kamis (24/4). Peluncuran skor SPI ini turut dihadiri Mendikdasmen Abdul Mu'ti, Menag Nasaruddin Umar, serta Wamendiktisaintek Stella Christie.
Adapun angka 69,50 memiliki arti: integritas pendidikan secara nasional berada pada level korektif. Mempunyai makna bahwa upaya perbaikan integritas melalui internalisasi nilai-nilai integritas sudah dilakukan meskipun implementasi serta pengawasan belum merata, konsisten, dan optimal.
"Ini hanya sebuah angka, tapi angka ini kalau kemudian kita acuhkan, kita biarkan begitu saja, angka ini bisa menjadi sebuah malapetaka, sebuah masalah," kata Ketua KPK Setyo Budiyanto.
Menag Kaget Praktik Menyontek di Sekolah Masih Tinggi
Menteri Agama Nasaruddin Umar mengaku kaget saat mengetahui praktik menyontek di sekolah hingga perguruan tinggi masih tinggi. Hal ini terungkap dari Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dibuat KPK.
ADVERTISEMENT
Di dalam SPI Pendidikan, praktik menyontek masih dilakukan di 78 persen sekolah dan 98 persen perguruan tinggi. Jika dilihat dari tingkat individu, menyontek masih dilakukan 43 persen siswa sekolah dan 58 persen mahasiswa.
“Sangat mengagetkan justru para penyontek itu 78 persen angkanya bahkan 90 persen di kampus itu kaget juga saya ini,” kata Nasaruddin di Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta Selatan, Kamis (24/4).
“Jadi, ada sesuatu yang harus kita perbaiki,” sambungnya.
Nasaruddin menilai, harus ada langkah-langkah dalam menanggulangi masalah menyontek yang menurutnya masuk kategori korupsi. Salah satunya adalah membangun persepsi korupsi itu adalah pamali.
“Mungkin dunia kependidikan dalam perspektif kami sebagai Kementerian Agama ini harus melakukan sakralisasi pelanggaran korupsi ini,” ujar dia.
ADVERTISEMENT
“Jadi maksud saya sakral ini bukan melihat korupsi itu sebagai sesuatu yang haram, yang sanksinya hanya lebih banyak di akhirat. Tapi bagaimana mengangkat mengsakralkan pelanggaran korupsi ini menjadi pamali, jadi haram, itu hukumannya nanti di sana,” sambungnya.
Menurut dia, kalau korupsi jadi pamali dan haram, orang-orang akan menganggap hukuman yang diterima akan segera didapatkan, tidak di akhirat, namun di dunia.
“Jadi sanksi diyakini diganjar dengan secepatnya,” ujar dia.