
Tanggal 17 menjadi hari penuh duka bagi keluarga Briptu Ghalib. Jelang magrib, Senin 17 Maret 2025, tangis Fitri pecah saat menerima kabar bahwa adiknya, Briptu Ghalib Surya Ganta, menjadi satu dari tiga polisi yang tewas ditembak oleh oknum TNI dalam penggerebekan sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan, Lampung, sekitar dua jam sebelumnya.
Kabar duka itu datang lewat pesan WhatsApp salah seorang kerabat. Sang ibunda yang bersama Fitri pun tak menyangka anak bungsunya kini telah tiada. Padahal tahun sebelumnya, 17 Februari 2024, keluarga itu juga kehilangan kepala keluarga. Kala itu, ayah Ghalib, Indra, meninggal karena serangan jantung.
“Kami bingung kenapa kok serba mendadak? Sore dikabari ada adegan ini (penggerekan sabung ayam). Sejam kemudian langsung dapat berita duka (Ghalib meninggal),” kata Fitri kepada kumparan di kediamannya, Kelurahan Way Kandis, Kecamatan Tanjung Senang, Bandar Lampung, Jumat (21/3).
Fitri yang kerap dipanggil “Kak Tata” oleh Ghalib bercerita bahwa beberapa hari sebelum tragedi di arena sabung ayam, sang adik sempat singgah sebentar ke rumah, hanya 30–40 menit, sebelum kembali bertugas.
“Tumben banget dia pulang siang-siang, padahal sudah telat untuk acara di Polda. Tapi dia tetap maksain mampir. Temannya bahkan bilang, ‘Itu kita sebenarnya sudah telat, tapi Ghalib bilang mau ke rumah dulu,’” kata Fitri ihwal pertemuan terakhir dengan sang adik.
Briptu Ghalib yang bertugas di Polres Way Kanan memang tidak bisa sering-sering menemui keluarganya di Bandar Lampung. Jarak Kabupaten Way Kanan ke Kota Bandar Lampung sekitar 4–5 jam perjalanan darat sehingga Ghalib harus indekos di Way Kanan.
Bukan Sabung Ayam Biasa
Sabung ayam yang berujung peristiwa berdarah di Lampung itu bukan sembarang sabung. Menurut Kapolda Lampung Irjen Pol Helmy Santika, dari arena sabung telah disita uang Rp 21 juta yang disinyalir merupakan duit taruhan dari para pejudi.
Menurut para penyabung yang ditemui kumparan, sabung ayam di Lampung itu tergolong elite, dengan perputaran uang taruhan mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Ini pula alasan sabung ayam kini dilarang di Indonesia, karena terkait erat dengan perjudian.
Sosiolog UGM Prof. Dr. Sunyoto Usman menuturkan, terjadi pergeseran makna pada sabung ayam yang semula identik dengan tradisi menjadi kental nuansa judi. Disebut judi karena melibatkan uang sebagai taruhan.
Para pejudi menebak ayam mana yang akan menang dalam pertarungan. Siapa yang tebakannya benar, dialah yang memenangkan duit taruhan. Alhasil, ujar Sunyoto, judi sabung ayam jadi bisnis menggiurkan dan membuka celah bagi oknum TNI/Polri untuk turut terlibat sebagai beking dari praktik ilegal tersebut.
“Sekarang [persaingan] menjadi lebih keras ketika perjudian [sabung ayam] tidak hanya melibatkan lapisan menengah bawah, tapi juga menengah atas. Dulu mungkin kelompok menengah bawah itu kalau sudah digeruduk polisi ya lari, bubar. Nah, sekarang bergeser jadi komoditas, punya beking,” jelas Sunyoto.
“Karena judi sabung ayam itu ilegal, bekingnya juga informal. Dan beking itu bisa aparat, preman, macam-macam. Pokoknya yang kira-kira bisa mengamankan arena [sabung ayam] itu,” imbuh Sunyoto.
Pengamat kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, judi konvensional seperti sabung ayam tidak hanya terjadi di satu wilayah, melainkan hampir merata di berbagai daerah.
Menurutnya, perjudian yang terus terjadi mengindikasikan adanya pembiaran atau keterlibatan pihak berwenang.
“Kalau ada kegiatan ilegal di tengah masyarakat dan berlangsung lama, ada 3 kemungkinan: pertama, aparat tidak bekerja; kedua, aparat tutup mata; atau ketiga, aparat ada di baliknya,” terang Bambang.
Sabung ayam dipilih sebagai sarana judi karena dianggap lebih aman dibanding bentuk judi lain seperti kartu atau togel. Penelitian soal ini dijelaskan Abdul Munir dan Sobri dari Jurusan Kriminologi Universitas Islam Riau dalam artikel berjudul “Rasionalitas Tindakan Sabung Ayam di Kalangan Penggemar” yang dimuat di jurnal ilmiah Indonesia, Syntax Literate, 2 Februari 2023.
Riset Abdul dan Sobri menunjukkan bahwa masyarakat cenderung menerima sabung ayam karena melihatnya sebagai tradisi atau hiburan. Tak ada reaksi sosial negatif yang signifikan terhadap para pemainnya. Ini berbeda dengan bentuk perjudian lain yang lebih sering dikecam dan dilaporkan ke aparat kepolisian.
Padahal, kata seorang penggemar sabung ayam, dalam sekali tarung, para pemainnya bisa meraup keuntungan sampai Rp 2,5 juta sampai 3,5 juta dari grup pemenang.
Bermula dari Tradisi
Sabung ayam memang punya sejarah panjang di Indonesia, bahkan menjadi bagian dari budaya negeri ini. Dalam esai “Deep Play: Notes on The Balinese Cockfight” yang dimuat jurnal ilmiah Daedalus terbitan The MIT Press, antropolog AS Clifford Geertz menuliskan saat ia dan istrinya melakukan penelitian di Bali pada 1958 dan menemukan bahwa sabung ayam di sana bukan sekadar hiburan, tapi juga bagian dari struktur sosial karena menjadi simbol atas status sosial dan pengaruh seseorang.
Selain itu, tulis Geertz, ayam yang bertarung menjadi simbol maskulinitas dan kehormatan kaum lelaki. Temuan serupa juga dituliskan Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1811–1816) dalam bukunya, The History of Java.
Dalam buku itu, Raffles antara lain membahas soal sabung ayam yang dianggap sebagai tanda keberanian orang Bugis. Lelaki Bugis belum dianggap tobarani atau pemberani jika belum pernah menyabung ayam.
Jejak sejarah sabung ayam di Nusantara terekam dalam berbagai sumber, mulai dari prasasti di Bali pada abad ke-10 sampai Kitab Pararaton di Jawa yang menyebut bahwa Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari, adalah penyabung ayam sebelum menjadi raja.
Cerita rakyat seperti Cindelaras (Jawa Timur) dan La Galigo (Bugis) juga menunjukkan sabung ayam memiliki makna simbolik dalam ragam budaya Nusantara. Sabung ayam bahkan pernah memicu perang antara Kerajaan Gowa dan Bone di Sulawesi pada 1562.
Di Bali, sabung ayam memiliki dua makna, yakni tetajen sebagai ajang hiburan dan perjudian, serta tabuh rah yang bersifat ritual sakral. Dalam tabuh rah, darah ayam yang tertumpah dianggap sebagai persembahan bagi para dewa melalui upacara penyucian dan kesuburan.
Tradisi itu berlangsung sejak abad ke-10, sebagaimana tertulis dalam prasasti kuno di Bali seperti Prasasti Sukawana dan Prasasti Batur Pura Abang.
Berkembang jadi Judi
Sampai saat ini, sabung ayam ada di berbagai daerah, namun bukan lagi sekadar tradisi atau hiburan, melainkan kental dengan perjudian. Untuk melihat dari dekat, kumparan mendatangi salah satu lokasi sabung ayam berskala kecil di Jabodetabek.
Tempat sabung ayam tersebut terletak di dalam peternakan ayam dekat permukiman warga. Dari luar, peternakan itu tampak beroperasi seperti biasa. Namun, saat melangkah masuk, terlihat arena sabung sederhana berbentuk bulat di tengah deretan kandang berisi ayam jantan.
Tiap sabung ayam berlangsung di situ, siapa pun bisa ikut bertanding atau bertaruh dengan hanya bermodalkan Rp 10 ribu. Mereka yang datang ke tempat itu biasanya warga sekitar yang hobi sabung ayam untuk sekadar ikut taruhan.
Seperti ditulis Tri Lestari dari Universitas Negeri Jakarta dalam skripsinya tahun 2016, “Fenomena Judi Sabung Ayam pada Masyarakat Pedesaan”, meski banyak warga menganggap sabung ayam sebagai hiburan, namun pelakunya melihat hobi ini sebagai cara mudah untuk mendapatkan uang tambahan, terutama pada musim paceklik.
Dan walau sekarang praktik sabung ayam dilarang karena jadi ajang berjudi, penegakan hukum sering kali lemah. Dalam beberapa kasus, terjadi pembiaran atau kompromi oleh pihak berwenang.
Dari hasil observasi Tri di Desa Wingkotinumpuk, Purworejo, Jawa Tengah, judi sabung ayam dilakukan secara sistematis, dari tahap persiapan, pemilihan ayam aduan, pengaturan taruhan, hingga pembagian hasil.
Beberapa pemain memakai sejumlah strategi seperti memilih ayam dengan karakteristik tertentu, memberikan perawatan khusus, hingga menerapkan perhitungan hari baik untuk meningkatkan peluang kemenangan. Sementara lokasi judi sering berpindah-pindah untuk menghindari razia polisi.
Karena sabung ayam hanya butuh arena melingkar yang sering disebut “geber”, maka permainannya mudah berpindah karena bisa dilakukan di tempat-tempat tertutup atau berukuran kecil.
Seorang pesabung ayam di Jabodetabek yang minta namanya disamarkan, Ucok, mengatakan bahwa arena sabung ayam kelas atas biasanya nominal taruhanya tidak main-main.
“Duit [kecil] tuh enggak laku. Duitnya segini,” kata Ucok sambil memperagakan tangan seperti memeluk koper.
Ucok dan kawannya yang mantan penyabung ayam di Banten, Indra, kemudian menyebut satu lokasi sabung ayam elite di Jabodetabek. Di tempat itu, sabung ayam digelar nasional bagi para penyabung jagoan dari seluruh Indonesia. Menurut mereka, ada pula beberapa oknum aparat yang ikut bermain.
Adu ayam itu berlangsung sebulan sekali dengan duit taruhan puluhan juta rupiah. Undangannya disebar melalui grup WhatsApp, dan ada biaya masuk (semacam tiket masuk) sekitar Rp 100 ribu. Biaya tersebut beda lagi dengan duit taruhan yang jumlahnya berbeda-beda untuk tiap orang.
Sabung ayam bisa berlangsung hingga empat ronde sesuai kesepakatan penjudi. Tiap ronde berdurasi 15–20 menit.
“[Setelah satu ronde] nanti istirahat sekitar 5 atau 10 menit. Sesudah ayam dirawat dan siap lagi, diadu lagi. Setelah 20 menit, istirahat lagi,” ujar Indra.
Ayam yang kerap jadi jagoan di arena sabung ayam lantas diburu. Indra menyebut ayam itu bisa dihargai Rp 5 juta. Pehobi lain yang bermodal cekak bahkan acap menanyai keturunan ayam tersebut untuk dibeli dengan harga lebih murah.
“Kalau ayam saya bagus, seluruh Indonesia ngerebutin. Nelepon enggak berhenti. Misal ada yang nelepon, dia nanya penawaran tertinggi. Misal [tawaran tertinggi] Rp 20 juta, dia nawar [lebih tinggi lagi] Rp 23–25 juta,” papar Ucok.
Hobi yang Jadi Jalan Hidup
Bagi mereka yang rela merogoh kocek hingga puluhan juta itu, sabung ayam ialah hobi yang menjadi hidup mereka. Ucok, misalnya, sampai-sampai tak beristri saking kecintaannya kepada ayam.
“Kalau sudah demen ayam, [misalnya saya] punya tiga istri, tiga-tiganya enggak bakal diladenin,” ucap Ucok sambil mengisap sebatang rokok.
Menurut Ucok, memelihara dan menyabung ayam memiliki seni tersendiri, mulai dari memilih bibit unggul, merawat ayam dengan pola makan khusus, hingga melatih mental bertarung. Semua itu membutuhkan perhatian dan keahlian. Ucok sendiri butuh waktu sekitar 10 tahun untuk memahami seluk beluk ayam.
“Ayam jalu, misalnya, itu bagus. Musuhnya bisa lari sendiri. Dan seperti main dolar (saham), harga ayam bisa naik turun. Kita harus tahu kapan waktu yang tepat buat ambil untung,” ujarnya.
Kualitas ayam juga jadi indikator utama kemenangan dalam sabung. Ayam bangkok, misal, sering dijagokan. Menurut Ucok, ayam dari Thailand tergolong kelas atas. Ayam bangkok hasil persilangan, contohnya, bisa dihargai puluhan juta.
Ayam bangkok lokal dari Indonesia saja, yang bukan hasil persilangan, bisa ditawar mahal. Masalahnya, ujar Ucok, ayam lokal itu kalau tanding cuma kuat 8–10 menit sehingga dicap sebagai ayam cengeng.
Semakin bagus ayam, makin malah harga jualnya.
Selain itu, lanjut Ucok, ayam petarung harus punya chemistry dengan pemiliknya. Ayam perlu disayang sehingga tampil prima ketika diadu.
Tak Semua Pehobi Ayam Ikut Judi
Mantan peternak dan penyabung ayam di Sumsel, Agus, menegaskan bahwa tak semua orang yang memelihara ayam tangkas merupakan penjudi.
Menurutnya, “Dari 100 persen orang yang main ayam, cuma sekitar 40 persen yang judi. Sementara 60 persen lainnya rata-rata hobi aja. [Memelihara] ayam buat dipajang-pajang. Kalau yang judi sih itu-itu saja orang-orangnya.”
Saat masih aktif di jagat ayam, Agus lebih suka mengikuti kontes yang mengantongi surat izin dari Kemenkumham. “Ada SK-nya, jadi bukan judi. Tapi kalau yang judi, yang bayaran ilegal, enggak berani. Takut kena penggerebekan.”
Dalam kontes ayam yang dulu diikuti Agus, sistem pertandingan diatur sedemikian rupa agar aman dan adil. Sebelum bertanding, setiap ayam harus melalui proses pendaftaran dan penimbangan. Ayam-ayam yang memiliki berat sama akan dikelompokkan dalam satu kelas agar pertarungan seimbang.
“Setelah ditimbang, baru dipertemukan lewat undian. Jadi nggak sembarangan. Lalu ayam akan bertanding dalam ring selama 15 menit per ronde. Ada yang tiga ronde, ada yang full, tergantung panitia,” kata Agus.
Arena kontes juga memiliki juri, wasit, hingga pencatat waktu sehingga ayam yang berada di arena tidak terluka parah dan pemiliknya merasa nyaman dengan kondisi hewan peliharaan mereka.
Menurut Agus, kontes ayam legal tersebut diminati banyak peserta. Jumlah peserta dalam satu event bisa mencapai 100 orang atau lebih.
Sosiolog Sunyoto berpendapat, kontes sabung ayam legal perlu diperbanyak untuk menekan praktik judi sabung ayam ilegal. Dengan adanya wadah resmi, para pghobi bisa tetap menjalankan kegemaran mereka tanpa terjerat unsur perjudian.
Sunyoto juga menekankan pentingnya memahami perikehewanan. “Sebab kalau hewan diadu, ada yang terluka, bahkan mungkin yang jadi sakit dan mati, dan sebagainya. Jadi edukasi soal itu penting.”