Said Tak Mau Calon PDIP Dinilai Berhadapan dengan Calon KIM: Bukan Musuh Politik

23 September 2024 20:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua DPP PDIP Said Abdullah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (17/7/2024).  Foto: Haya Syahira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua DPP PDIP Said Abdullah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (17/7/2024). Foto: Haya Syahira/kumparan
ADVERTISEMENT
Gelaran Pilkada Serentak akan masuk babak baru. Setelah pengundian nomor urut hari ini, para calon akan langsung berkampanye pada 25 September 2024.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang jadi perhatian, yakni maraknya calon-calon yang diusung oleh PDIP setelah adanya putusan MK. Ini juga memunculkan stigma pertarungan calon yang diusung PDIP akan terus berhadapan dengan calon yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Namun, Ketua DPP PDIP Said Abdullah tak mau stigma itu terus melekat sepanjang perjalanan Pilkada 2024. Sebab, konstelasi Pilkada dengan Pilpres sangat berbeda.
"Kita harus melihat bahwa kerja sama politik dalam Pilkada harus kita maknai sebagai kontestasi demokratis, bukan sebuah permusuhan politik. Cara pandang ini harus klir lebih dulu. Sebab kontestasi Pilkada adalah jalan demokratis dan konstitusional kita mendapatkan pemimpin di daerah," kata Said dalam keterangannya, Senin (23/9).
"Setelah Pilkada, semua pihak yang tadinya berkontestasi hendaknya rukun kembali bersama-sama membangun daerah dengan perannya masing-masing," tambah dia.
Warga menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2024 di TPS 60, Lebak bulus, Jakarta, Rabu (14/2/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Ketua Banggar DPR itu menjelaskan, kandidat yang muncul saat ini tidak lepas dari 'peran' Putusan MK 60/2024. Putusan ini membuka seluas-luasnya partai politik untuk mengusung calon karena syarat lebih mudah.
ADVERTISEMENT
Tak bisa dipungkiri, ada anggaran sejumlah elite politik ingin mengulang kesuksesan Pilpres diterapkan di Pilkada. Tapi, putusan MK mengubah peta politik dengan begitu cepat.
Said mencontohnya, di Jakarta. Ridwan Kamil maju di Pilgub Jakarta seakan untuk mengadang Anies Baswedan. Tapi, nyatanya, Anies tidak maju, PDIP mengajukan Pramono Anung.
"Saya kira peta juga berubah. Figur Mas Pram menjadi titik temu antara Pak Jokowi, Pak Prabowo dan Ibu Mega. Fakta politik baru inilah yang harus kita cermati, agar tidak semata mata terpaku pada kerja sama politik formalistik," jelas dia.
Warga menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2024 di TPS 60, Lebak bulus, Jakarta, Rabu (14/2/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Begitu juga dengan sosok eks Panglima TNI Andika Perkasa di Jawa Tengah. Di sana, KIM sudah lama menjagokan eks Kapolda Jateng Ahmad Lutfhi di Pilgub Jateng.
ADVERTISEMENT
"Apalagi Pak Andika juga berhubungan baik dengan Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Bahkan Pak Andika pernah menjadi pembantu Pak Jokowi saat menjabat Komandan Paspampres yang menjaga 24 jam Pak Jokowi saat bertugas ataupun tidak bertugas," tutur dia.
Said mengingatkan, Pilkada itu bicara sosok atau figur. Sosok yang maju akan dilihat begitu bagaimana rekam jejaknya selama ini.
"Dalam survei kita sering mendengar split ticket voting, yaitu pendukung partai A, di mana Partai A mendukung kandidat yang tidak dinginkan oleh pendukung Partai A tersebut, sehingga mereka memilih mendukung figur dalam Pilkada yang di usung Partai B karena dianggap lebih memenuhi harapannya," tutur dia.
"Faktor split ticket voting dalam pilkada ini cukup besar. Sebab belum tentu arah elite sejalan dengan aspirasi grassrootnya, mempertimbangkan situasi seperti ini, saya kira pilkada akan semakin dinamis. Dengan demikian kita tidak bisa terpaku hanya formalitas kerja sama politik," ucap dia.
ADVERTISEMENT