news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Sajen untuk Dewa Matahari Jadi Ritual Terakhir Penobatan Kaisar Jepang

14 November 2019 10:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kaisar Jepang Naruhito meninggalkan aula upacara setelah menyatakan penobatannya di Istana Kekaisaran di Tokyo, Jepang, 22 Oktober 2019. Foto: Kimimasa Mayama/Pool via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Kaisar Jepang Naruhito meninggalkan aula upacara setelah menyatakan penobatannya di Istana Kekaisaran di Tokyo, Jepang, 22 Oktober 2019. Foto: Kimimasa Mayama/Pool via REUTERS
ADVERTISEMENT
Ritual penobatan Naruhito sebagai Kaisar Jepang yang baru menggantikan ayahnya, Akihito, ternyata belum rampung. Sebagai prosesi terakhir, Naruhito harus memberikan sesajen khusus untuk Dewa Matahari.
ADVERTISEMENT
Dalam ritual bernama "Daijosai" ini, Naruhito akan bermalam di sebuah ruangan sendirian untuk menyajikan sesajen langsung bagi Amaterasu Omikami, dewa matahari. Kaisar Jepang sendiri diyakini dalam kepercayaan Shinto sebagai titisan Amaterasu.
Dikutip dari Reuters, ritual ini akan dimulai pada pukul 19.00, Kamis (14/11). Naruhito yang memakai jubah putih akan memasuki ruangan remang-remang bernama Daijokyu yang dibangun khusus di istana kaisar.
Daijokyu di Istana Kekaisaran di Tokyo. Foto: AFp/JIJI PRESS
Naruhito akan masuk sendirian membawa obor, diantarkan sampai depan pintu ruangan oleh Ratu Masako.
Di dalamnya, Naruhito akan menyerahkan sesaji bagi Dewa Matahari berupa 32 makanan di atas piring daun pohon ek. Di antaranya sesajinya adalah nasi, gandum, dan arak beras. Dia lalu akan berdoa untuk kemajuan Jepang.
ADVERTISEMENT
Prosesi ini berlangsung selama 2,5 jam. Kemudian, Naruhito keluar untuk melakukan prosesi yang sama di Daijokyu lainnya. Diperkirakan ritual akan berakhir pada pukul 3 dini hari, Jumat (15/11).
Utusan Kekaisaran berjalan di kuil bagian dalam Ise untuk melaporkan tanggal Upacara Penegasan dan Daijosai di Ise, Jepang. Foto: AFp/JIJI PRESS
Menurut sejarah Jepang, ritual ini dimulai lebih dari 1.000 tahun lalu namun disempurnakan pada akhir 1800-an. Namun ritual ini menuai kritikan karena memakan banyak uang negara, mencapai 2,7 miliar yen, atau hampir Rp 350 miliar.
Salah satu yang mengkritik justru datang dari kalangan kerajaan, yaitu adik Kaisar, Putra Mahkota Akishino. Dia mengatakan prosesi ini seharusnya menggunakan dana kekaisaran, bukan uang pembayar pajak. Akishino juga menyarankan melakukan ritual yang lebih sederhana.