Saksi: Eks Dirut Garuda Emirsyah Anggap Gratifikasi Wajar dalam Bisnis

13 Februari 2020 19:24 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (30/12).  Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (30/12). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Sidang kasus dugaan suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat di Garuda Indonesia kurun 2009-2014 kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta.
ADVERTISEMENT
Dalam sidang kali ini, jaksa penuntut umum KPK menghadirkan mantan Direktur Strategi Pengembangan Bisnis dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia, Achirina Soetjipto, sebagai saksi.
Saat bersaksi, Achirina mengatakan eks Dirut Garuda, Emirsyah Satar, pernah berujar bahwa gratifikasi dalam bisnis sebagai hal yang wajar.
"Benar, Pak Emirsyah pernah mengatakan bahwa menerima gratifikasi itu suatu hal yang wajar?" tanya jaksa KPK, Nanang Suryadi, kepada Achirina, seperti dilansir Antara, Kamis (13/2).
"Waktu dalam diskusi, terdakwa (Emirsyah) mengatakan whistleblower bisa membahayakan karena kita dalam bisnis. Dalam bisnis itu (gratifikasi) hal yang biasa. Saya lalu debat kalau gratifikasi itu tidak bisa diterapkan karena tidak ada yang free pasti akan menambah (biaya) dalam faktor harga," jawab Achirina saat bersaksi untuk terdakwa Emirsyah dan pemilik PT Mugi Rekso Abadi (MRA), Soetikno Soedarjo.
ADVERTISEMENT
Achirina mengatakan pernah berinisiatif untuk mengimplementasikan sistem whistleblowing di Garuda. Sistem itu bertujuan agar seseorang bisa melaporkan perbuatan yang terindikasi pelanggaran di lingkungan Garuda. Namun, sistem tersebut, kata Achirina, ditolak Emirsyah.
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, menjalani sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (13/2). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
"'Kan tatanan dalam pengadaan harus dilakukan kalau GCG (good corporate governance). Saya mau implementasi sistem baru yaitu whistleblower system, dan sistem baru itu harus disepakati seluruh direksi. Dalam diskusi, (Emirsyah) mengatakan whistleblower akan menjadi bumerang karena memang dalam best practices proses bisnis, gratifikasi itu (menurut Emirsyah) common (biasa)," ungkap Achirina.
Padahal, kata Achirina, dalam tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), tidak boleh ada pemberian maupun penerimaan gratifikasi.
"Apa pun pemberian tidak boleh, di GCG diatur pemberian harus dilaporkan dan apa pun dalam prosedur pengadaan tidak boleh menerima apa pun. Akan tetapi, dalam implementasi GCG, kami akan menerapkan whistleblowing system yang artinya kalau ada orang yang menemukan ada penerimaan gratifikasi bisa melaporkan," kata Achirina.
ADVERTISEMENT
Achirina mengatakan, usulan sistem whistleblowing di Garuda itu ditolak Emirsyah dalam rapat direksi.
"Keberatan dari Pak Emir untuk ada sistem whistleblower itu ada karena terdakwa menganggap gratifikasi sebagai common practice?" tanya jaksa Nanang.
"Kalau whistleblower, (kata Emirsyah) bahaya bisa bumerang karena tanda terima kasih itu common best practices. Akan tetapi, dalam diskusi saya mengatakan kami bisa (memberikan gratifikasi) karena jadi tidak independen terhadap suatu proses, gratifikasi tidak diperkenankan di mana pun," jawab Achirina.
Terdakwa Emirsyah Satar menjalani sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (30/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Pak Emir ngomong di mana?" tanya jaksa Ariawan.
"Pas mau bikin sistem baru selalu disampaikan di rapat direksi dan saya sampaikan mau menerapkan whistleblower system," jawab Achirina.
"Bukan saat rapat pengadaan?" tanya jaksa Ariawan.
"Bukan," jawab Achirina.
ADVERTISEMENT
"Tahun berapa?" tanya jaksa Ariawan.
"Dalam agenda rapat direksi saya mau implementasikan sistem whistleblowing. Kapannya saya lupa, tapi masih dipimpin Pak Emir," jawab Achirina.
Dalam kasusnya, Emirsyah didakwa menerima suap mencapai Rp 46,3 miliar terkait pengadaan proyek di Garuda Indonesia. Suap berasal dari pihak Rolls-Royce Plc, Airbus, Avions de Transport Régional (ATR) melalui PT Ardyaparamita Ayuprakarsa milik Soetikno Soedarjo, dan Bombardier Kanada.
Menurut jaksa, suap diberikan karena Emirsyah memilih pesawat dari 3 pabrikan dan mesin pesawat dari Rolls Royce untuk Garuda Indonesia dalam kurun 2009-2014, yakni:
ADVERTISEMENT