Saldi Isra: Pemilu Orba pun Sesuai Prosedur, Tapi Dinilai Curang karena Tak Fair

23 April 2024 11:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim Saldi Isra tunjukkan peta perjalanan Presiden Joko Widodo, Jumat (5/4/2024).  Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Saldi Isra tunjukkan peta perjalanan Presiden Joko Widodo, Jumat (5/4/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hakim Konstitusi Saldi Isra bicara konsep soal keadilan pemilu dalam dissenting opinionnya terkait perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024. Dia mengutip International IDEA dalam “Electoral Justice: The International IDEA Handbook”.
ADVERTISEMENT
Saldi menyebut, International IDEA meletakkan konsep keadilan pemilu dalam ukuran tersedianya mekanisme guna memastikan agar prosedur pemilu dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan tersedianya mekanisme untuk melindungi hak pilih warga negara.
"Dalam konteks itu, jujur dan adilnya suatu pemilu akan tergantung pada apakah proses pemilu telah sesuai dengan aturan yang ditetapkan dan apakah ketentuan pemilu telah menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa serta pelanggaran pemilu sesuai waktu yang ditentukan atau tidak," bunyi pertimbangan dissenting opinion Saldi Isra dikutip dari situs MK pada Selasa (23/4).
International IDEA merinci mekanisme keadilan pemilu mencakup sarana dan mekanisme serta mengandung tiga elemen, yaitu: pencegahan terhadap sengketa pemilu, penyelesaian sengketa pemilu, dan alternatif penyelesaian sengketa pemilu di luar mekanisme yang ada.
ADVERTISEMENT
Saldi menyebut, konsepsi keadilan pemilu yang dikemukakan International IDEA merupakan sebuah kerangka keadilan pemilu dalam batas ukuran formil atau prosedural.
Dengan adanya atau terlaksananya sistem keadilan pemilu sebagaimana dikemukakan, hal tersebut sudah dikatakan sebagai pemilu yang berkeadilan. Padahal, ketersediaan mekanisme penyelesaian masalah hukum pemilu tidak serta merta dapat menjamin pemilu akan berjalan dengan adil dan jujur.
Awasi Kecurangan (Ilustrasi) Foto: Aprillio Akbar/Antara
Saldi mengatakan, ketersediaan mekanisme pencegahan dan penyelesaian masalah hukum pemilu baru sebatas menyediakan ruang komplain bagi pihak-pihak yang dirugikan atau dicurangi dalam pemilu.
Menurutnya, sekalipun sistem keadilan pemilu yang demikian dapat mengurangi praktik curang dalam pemilu, tetapi ia tidak dapat memberikan garansi bahwa pemilu telah berjalan jujur dan adil. Sebab, mekanisme penegakan hukum pemilu bukan satu-satunya faktor atau faktor tunggal yang menentukan pemilu berjalan jujur dan adil.
ADVERTISEMENT
"Terdapat banyak faktor yang menentukan pemilu berjalan jujur dan adil seperti faktor desain sistem pemilu yang seberapa pun baiknya akan tetap menyediakan celah terjadinya praktik curang, atau perilaku aktor politik yang seberapa pun baiknya sistem, juga akan selalu terdapat oknum pelaku politik yang bertindak curang dalam keikutsertaan kontestasi pemilu," kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, ini.
"Artinya, ketersediaan mekanisme untuk mencegah dan menangani pelanggaran atau sengketa yang terjadi dalam pemilu tidak menjamin bahwa pemilu akan berjalan jujur dan adil," sambungnya.
Suhartoyo dan Saldi Isra resmi terpilih menjadi Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menggantikan Anwar Usman, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (9/11/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Dengan demikian, lanjutnya, konsep keadilan pemilu berangkat dari paradigma yang sangat prosedural-formalistik. Dengan kata lain, sepanjang pelaksanaan pemilu sudah berjalan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, di mana apabila terjadi pelanggaran dan ditangani sesuai dengan mekanisme yang tersedia, maka sudah terkategori sebagai pemilu yang jujur dan adil.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, kata Saldi, melampaui batas keadilan prosedural itu, asas jujur dan adil dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tidak hendak berhenti pada batas keadilan prosedur semata.
"Jujur dan adil dalam norma konstitusi tersebut menghendaki sebuah keadilan substantif. Bilamana hanya sebatas keadilan prosedural, asas pemilu jujur dan adil dalam UUD 1945 tersebut tidak akan pernah hadir," kata dia.
Ilustrasi tinta di jari usai ikut Pemilu 2024. Foto: Shutterstock
Oleh karena itu, kata Saldi, asas jujur dan adil dalam norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menghendaki sebuah keadilan dan kejujuran pemilu yang lebih materil. Jujur dan adil yang dikehendaki bukan hanya sekadar sikap patuh pada aturan, melainkan sikap tidak berlaku curang, tidak berbohong dan tidak memanipulasi atau memanfaatkan celah hukum/kelemahan aturan hukum pemilu yang ada untuk melakukan tindakan yang secara esensial merupakan praktik curang dalam sebuah kontestasi.
ADVERTISEMENT
"Artinya, jujur dan adil dalam pemilu yang diinginkan konstitusi mencapai sesuatu yang bersifat hakiki dari arti kejujuran dan keadilan itu sendiri. Dalam arti, ukuran jujur dan adil bukan sebatas melihat dari sisi formalitas prosedural hukum, melainkan mencakup aspek yang berada di atas hukum, yaitu etika, in casu etika dalam kontestasi pemilu," ucap hakim konstitusi berusia 55 tahun ini.
Momen Hakim Saldi Isra tunjukkan peta perjalanan Presiden Joko Widodo, Jumat (5/4). Foto: Hedi/kumparan
Adapun etika yang dimaksud meliputi aspek bagaimana aturan main pemilu dirumuskan, proses pelaksanaan yang tunduk pada sikap jujur dari semua pihak dan kehendak untuk menahan diri oleh semua pihak untuk tidak memanfaatkan kelemahan hukum pemilu untuk berlaku curang.
"Pemilu jujur dan adil sesuai kehendak konstitusi adalah pemilu yang diikuti dengan sikap penuh ketulusan untuk tidak berbohong, tidak curang, dan tidak memanipulasi dengan jalan apa pun," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Pemilu jujur dan adil adalah pemilu yang diikuti dengan sikap apa adanya, di mana antara pemilih dan calon yang dipilih sama sekali tidak terikat oleh sebuah praktik transaksi politik yang tidak didasarkan atas sikap dan tindakan yang mencederai kejujuran dan keadilan pemilu, sehingga bermuara pada rusaknya pemilu yang berintegritas," pungkasnya.
Paslon nomor urut 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mendengarkan hakim MK membacakan putusan perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
MK menolak gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud dalam PHPU Pilpres 2024. Namun dari total 8 hakim yang memutus permohonan itu, ada 3 hakim yang berbeda pendapat atau dissenting opinion. Salah satunya adalah Saldi Isra.
Dalam memutus batas usia capres-cawapres tahun lalu — yang terkenal dengan nama Putusan 90 — Saldi Isra juga mengajukan pendapat berbeda.
Saldi dalam dissenting opinion-nya kala itu mengakui aneh luar biasa dan menyebut putusan tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar karena mahkamah berubah pendirian dalam sekejap.
ADVERTISEMENT