Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Saranjana: Kota Hilang yang Tak Hilang dari Ingatan
27 Januari 2019 10:36 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:06 WIB
ADVERTISEMENT
Alkisah ada sebuah kota besar yang terletak di Pulau Laut, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Penduduknya ramai dan peradabannya disebut-sebut maju. Namun, kota bernama Saranjana itu tidak ditemukan dalam berbagai peta modern Indonesia.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, sejak lama, sebagian masyarakat lokal Kotabaru percaya akan keberadaan Saranjana. Tidak diketahui pasti, dari mana awal mula cerita soal Saranjana berasal.
Mereka menyebutnya sebagai Kota Gaib, Kota yang Hilang, Kota Supranatural, dan sebagainya.
"Kalau ditanya ke orang Kotabaru, pasti mereka tahu soal Saranjana. Atau paling enggak mereka pernah dengar," ungkap sejarawan dari Universitas Lambung Mangkurat Masyhur dalam perbincangannya dengan kumparan, Jumat (25/1).
Saranjana di Peta Naturalis Jerman
Mansyur menjelaskan, memang bahasan soal Saranjana tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah lisan. Alasannya, kemungkinan keberadaan kota tersebut sangat tipis, antara fakta atau mitos.
Namun, keberadaan Saranjana tetap bisa dilihat dari aspek historis melalui metode penelitian sejarah. Mulai dari metode heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
ADVERTISEMENT
Dalam catatan Masyhur, Saranjana sebagai kota dapat dilacak melalui peta berjudul 'Kaart van de Kust-en Binnenlanden van Banjermasing behoorende tot de Reize in het zuidelijke gedelte van Borneo' atau yang bisa diartikan sebagai “peta wilayah pesisir dan pedalaman Borneo”. Peta itu dibuat naturalis Jerman Salomon Muller, 1845 silam.
Muller menuliskan sebuah wilayah bernama Tandjong Sarandjana dalam petanya. Wilayah itu terletak di sebelah selatan Pulau Laut. Peta itu diterbitkan oleh Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen dalam Reizen en onderzoekingen in den Indischen Archipel (Lembaga Penerbitan Peta Nusantara).
“Tepatnya berbatasan dengan wilayah Poeloe Kroempoetan (Pulau Kerumputan) dan Poeloe Kidjang (Pulau Kijang)," ungkap Masyhur.
Dalam peta modern Indonesia, Pulau Laut hampir tidak terlihat karena ukurannya yang kecil. Secara administratif, ada 6 kecamatan yang terdiri dari 74 desa dan 4 kelurahan dalam pulau itu. Semuanya masuk dalam Kabupaten Kotabaru yang ibu kotanya berada di bagian utara pulau. Tak ada nama Saranjana maupun Tandjong Sara.
ADVERTISEMENT
Kapasitas Muller dalam membuat peta tentunya tak diragukan. Dia merupakan anggota des Genootschaps en Natuurkundige Komissie in Nederlands Indie atau Dinas Kehutanan Hindia Belanda. Dia pun sudah mendapatkan pelatihan membuat peta dari Museum Leiden, Belanda.
Saat membuat peta itu, Muller sedang dalam penelitian flora dan fauna di kepulauan Nusantara.
"Namun belum bisa dipastikan apakah Salomon Muller pernah berkunjung ke Tandjong (hoek) Serandjana sebelum memetakannya," tutur Masyhur.
Saranjana di Kamus Belanda
Sumber lainnya yang memuat tentang Seranjana yakni kamus 'Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch Indie: Bewerkt Naar de Jongste en Beste Berigten' karya Pieter Johannes Veth. Kamus ini diterbitkan di Amsterdam oleh P.N. van Kampen (Lembaga Penerbitan di Amsterdam) pada 1869.
ADVERTISEMENT
Veth menuliskan, Sarandjana kaap aan de Zuid- Oostzijde van Poeloe Laut, welk eiland aan Borneo s Zuid-Oost punt is gelegen. Artinya, Sarandjana, tanjung di sisi selatan Poeloe Laut yang merupakan pulau yang terletak di bagian tenggara Kalimantan.
Mengenai lokasi persis Saranjana, Masyhur membeberkan beberapa kemungkinan. Sebab, butuh penelitian lebih lanjut agar bisa menentukan di mana lokasi pasti kota itu.
Berdasarkan penelitiannya, versi pertama hanya menuliskan bahwa konon letak Saranjana di Kotabaru, Kalimantan Selatan. Versi kedua, lanjut dia, Saranjana terletak di Teluk Tamiang, Pulau Laut.
Versi ketiga lebih tegas. Dia menyebut, lokasi Saranjana ada di sebuah bukit kecil yang terletak di Desa Oka-Oka, Kecamatan Pulau Laut Kelautan, Kalimantan Selatan. Bukit yang berbatasan langsung dengan laut ini indah dan cocok dijadikan destinasi wisata.
ADVERTISEMENT
"Namun, tempat ini dianggap angker oleh penduduk sekitar," katanya.
Saranjana Berdasarkan Sejarah Lisan
Masyhur menyebut, penelitiannya tentang Saranjana didasarkan dengan pendekatan metode sejarah. Salah satu di antara tahapannya adalah interpretasi. Kesulitannya dalam mengungkap data tertulis, mendorong dia untuk menggunakan dasar lain. Yakni meninjau Saranjana berdasarkan sumber lisan.
"Salah satu hipotesanya, Saranjana adalah wilayah kekuasaan dari Suku Dayak yang bermukim di Pulau Laut. Suku Dayak dengan kehidupan semi nomaden," ujar dia.
Suku Dayak yang dimaksud Masyhur adalah Dayak Samihim. Sub-etnis suku Dayak yang mendiami daerah timur laut Kalimantan Selatan. Ia menjelaskan, berdasarkan penelitian antropolog Noerid Haloei Radam, orang Dayak Samihim diperkirakan termasuk rumpun Maanyan.
Namun, Dayak Samihim tercerai berai hingga ke Pulau Laut. Penyebabnya, penaklukan daerah-daerah saat pembentukan kerajaan Negara Dipa. Dalam sumber lisan melalui nyanyian atau wadian 'Orang Maanyan', kerajaan mereka yang dikenal dengan Nan Sarunai dirusak oleh pasukan dari Jawa yakni Majapahit.
ADVERTISEMENT
"Kemungkinan besar Empu Jatmika memerintahkan hulubalangnya, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa bersama pasukannya menaklukkan orang Maanyan, yang tidak mau menjadi rakyat Kerajaan Negara Dipa," tutur dia.
Sebagian kelompok Orang Maanyan terusir. Kemudian, mereka mengungsi di berbagai penjuru di Kalimantan. Termasuk orang Dayak Samihim yang menetap di kawasan Pamukan, Cengal, Manunggul, Bangkalan, hingga Pulau Laut.
Pendapat lain, dalam buku Sejarah Kotabaru (2008) tertulis, sebelum masuknya agama Islam, daerah Kotabaru didiami penduduk dari suku Dayak yang menganut kepercayaan Animisme. Baik di Kotabaru (Pulau Laut), Cengal, Cantung, Sampanahan, dan lainnya masih hidup berkelompok.
"Kapan kurun waktu keberadaan wilayah Saranjana yang diperkirakan wilayah dari Suku Dayak Samihim? diduga sebelum tahun 1660 an Masehi," ucap dia.
ADVERTISEMENT
Angka tahun 1660 itu berdasarkan catatan Goh Yoon Fong , Pulau Laut sudah menjadi tanah apanage atau hadiah yang diterima Pangeran Purabaya dari Kesultanan Banjar. Goh Yoon Fong menulis, bangsawan Banjar memutuskan, Raden Bagus diangkat sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Amarullah Bagus Kusuma (1660-1663).
Kemudian sebagai penghormatan dan imbalan perdamaian, Pangeran Purabaya diberikan daerah Pulau Laut sebagai tanah apanagenya.
"Secara terminologi, kalau dikomparasikan dengan kosa kata India (saranjana) berarti tanah yang diberikan," ungkap Masyhur.